BTS (Between Two Sides)

Kami sekeluarga sedang menikmati santap sahur. Masakan Ambu memang terlihat sederhana ala kampung tetapi jangan tanyakan bagaimana rasanya. Kata Abah, Ambu bisa mengalahkan para koki yang ada di acara Master Chef. Satu hal yang aku kagum dari Abah adalah misalnya hari ini Ambu masak tapi ada undangan kepada Abah dan di dalamnya ada jamuan makan maka Abah tidak akan makan di sana. Paling cuma ngemil. Kalaupun harus membawa pulang, Abah akan membawa bungkusan makanan itu lalu memberikannya kepada keluarga, tetangga, pegawai atau siapa saja yang ia temui. Abah selalu ingin makan dari masakan Ambu.

Selesai makan aku mengikuti Abah ke teras. Udara di luar sedang tidak terlalu dingin. Mungkin karena aku baru makan, minum teh hangat dan memakai dua lapis sweater.

Langit dini hari selalu memikatku. Bahkan sejak aku masih kanak-kanak. Bintang yang berkilauan di mataku tampak seumpama mata ribuan malaikat yang mengintip penduduk bumi. Bulan terasa begitu anggun menciptakan kedamaian di dalam hati. Aku tak bisa melewatkan pesona tanda-tanda kebesaran Allah yang maha indah ini begitu saja.

Dan tatkala fajar merekah kemerahan di sebelah timur, Abah bertasbih dan mengajakku menikmati keindahan yang menggetarkan itu. Lalu azan Subuh pun berkumandang.

Azan subuh selalu menggetarkan kalbuku. Alam seperti bersahut-sahutan mengagungkan asma Allah. Fajar yang merekah selalu mengalirkan ke dalam hatiku rasa takjub luar biasa kepada Dzat yang menciptakanku.

Aku kembali ke kamar, berwudhu dan bersiap-siap untuk shalat. Sambil menunggu iqomat, aku berdiri di depan jendela kamar. Aku memandangi langit. Menghayati tasbih alam desa di pagi ini. Dengan dibalut mukena putih, aku menikmati keindahannya dari jendela kamar. Aku hirup dalam-dalam aromanya yang khas. Aroma yang sama dengan aroma yang aku rasakan setiap kali aku berlibur ke sini. Tidak jauh berbeda. Aroma daun padi dari persawahan di selatan desa. Goresan yang indah bernuansa surgawi. Angin pagi yang mengalir sejuk menyapa rerumputan yang bergoyang-goyang seolah bersembahyang.

Seusai shalat Subuh Abah memanggilku.

“Neng, Abah ingin bicara sebentar denganmu. Bisa?” Kata Abah dengan wajah serius.

“Iya, Bah.” Jawabku sambil menghadapkan seluruh wajahku pada Abah.

“Begini, Neng. Seperti yang pernah Abah bilang, Abah rasa Neneng harus segera menikah. Neneng harus segera memutuskan siapa yang Neneng pilih untuk menjadi pendamping hidup. Abah sudah tidak sanggup lagi untuk terus mendengar omongan warga tentang Neneng.

Ustadz Asep Koswara baru saja mengirim SMS, katanya beliau ingin berkunjung ke rumah Abah. Beliau akan ditemani oleh anaknya, Miftah. Abah tak bisa menolaknya, Ini kan acara silaturahim. Waktu Abah tahu kalau Neneng putus sama si Daniel itu, Abah curhat sama Ustadz Asep. Kata Ustadz, Abah tak perlu cari calon suami jauh-jauh, anaknya yaitu Miftah juga belum menikah. Abah juga  tidak tahu kalau Neneng mau ngenalin Jang Rama kepada Abah. Dan kita sebagai keluarga belum memutuskan apa-apa soal hubunganmu karena Jang Rama tidak membahas tentang niatannya untuk menikahi Neneng. Jang Rama ke sini bisa saja karena ingin main ke Garut.”

Abah menghela nafasnya. Sepertinya Abah berusaha memilih kata-kata apa yang harus ia ucapkan.

“Abah kenal Jang Miftah. Dan Abah percaya padanya. Ambu, Papa dan Mamamu juga. Dia dulu pernah mengajar di masjid kampung kita. Tapi keputusan ada di tanganmu, Neng. Sebab Neneng sudah besar. Sudah sangat berpendidikan.”

Aku sedikit terperanjat.

“Jujur Via kaget mendengar perkataan Abah, tetapi apa yang diucapkan itu benar. A Rama belum memberikan sinyal apakah dia punya niat dan keseriusan untuk melamar Via sebagai calon istrinya. Tapi kan Via dan A Rama baru juga kenal. Kita pasti butuh waktu untuk saling mengenal lebih dalam.”

Ambu ikut berkomentar, “Nah, itu ada persamaannya. Neneng baru kenal sama Jang Rama dan kita sekeluarga sudah bertemu dengannya. Neneng juga mesti adil, karena Abah punya calon yang ingin dikenalkannya sama Neneng. Setidaknya temui saja dulu keluarga Ustadz Asep. Malu atuh kalau kita menolak kunjungannya.”

Abah menambahkan, “Setelah Neneng ketemu sama Jang Miftah, Neneng boleh memilih di antara keduanya nanti. Cukup adil kan?”

Papa dan Mama yang sedari tadi mengintip dari ruang tengah lantas keluar.

“Papa dan Mama setuju,” ujar Papa. “Nanti kita sama-sama nilai, mana calon suami yang pantas dan cocok untukmu.”

Mama mengangguk. Ambu juga.

Diam-diam dari hati yang paling dalam aku merasa sangat bersyukur memiliki orang tua dan kakek nenek yang demokratis dan sangat terbuka.

Sekarang aku sedang berada di antara dua pilihan. Kepada sisi yang mana harus kulabuhkan hatiku ini?

###

(Sebuah adegan atau potongan dari cerita yang kutulis di Ishfah Seven. Aku mengambil Sudut Pandang Orang Pertama Tunggal untuk mengerjakan KETIK#10)

Advertisement

12 thoughts on “BTS (Between Two Sides)

      1. pertama kali dengar kata ambu, saya bingung. kebetulan teman ngajak main ke rumah neneknya sebelum ngajak mancing di kolam. Bingungnya yang teman panggil sebagai ambu ternyata jauh lebih muda dari pada ibuku

        Like

      2. Kadang sebutan Ambu, Teteh atau apapun di lingkungan Sunda terlihat spt itu.

        Pernah denger gak ada orang tua yang punya 2 anak. Misal si sulung bernama Diki dan adiknya bernama Rama.

        Untuk mengajari anak bungsu supaya manggil kakaknya dengan sebutan kakak, abang atau aa, maka si ibu akan memanggil anak pertama dengan sebutan misal Aa.

        “Dede Rama, cepet ke sini. Mamah sama Aa Diki punya makanan enak nih.”

        Nah, mungkin temannya Mas Narno itu sudah terbiasa sejak kecil memanggil ibu itu Ambu. Bisa sebagai bentuk penghormatan atau kebiasaan.

        Dalam cerita lengkapnya ini, tokoh Via pun sama. Dia memanggil neneknya dengan sebutan Ambu karena ibunya menyebutnya Ambu sedari kecil.

        Like

      3. waktu itu saya terlalu melihat diriku sendiri Mas, lupa kalau yang lain mungkin saja neneknya memang masih muda.

        akhirnya memang saya paham, temenku itu anak pertama dan juga cucu pertama, sedangkan saya anak terakhir dari lima bersaudara. jadi kadang orang lain memanggil ibu, seperti saya memanggil kakak, orang lain memanggil nenek/ambu seperti saya memanggil ibu
        lama kelamaan terbiasa juga

        Like

  1. Keren. Ceweknya kerasa. Btw, Mas Fahmi, boleh tanya? Untuk hal menulis cerita, lebih suka nulis suara cewek atau suara cowok? 😊😊

    Like

Comments are closed.