Nilai Merah

Aku duduk berlutut di hadapan Ayah dengan kepala menunduk. Nilai-nilai yang kudapat semester ini sedang tak bagus. Bisa dibilang sangat buruk. Ada dua angka tertera dengan tinta merah di sana. Mungkin buat sebagian anak yang terbiasa tak mendapat peringkat di kelas, hal itu akan terasa biasa saja. Tapi buatku yang sebelumnya selalu mendapat peringkat tiga besar, hal ini pasti sangat mengecewakan orang tua. Terutama Ayah. Orang tuaku satu-satunya.

“Nilai apa begini?!” Bentak Ayah sambil melempar buku raporku. Aku melirik nya, buku itu jatuh tepat di sampingku. Kepalaku masih tak sanggup kuangkat. Jantungku berdegup lebih cepat. Aku malu diteriaki seperti itu. Mengapa mendapat nilai merah terasa seperti melakukan sebuah dosa besar?

Kemarin Bibi yang mengantarku ke sekolah. Ayah bilang ia sibuk. Hingga tak punya waktu menemaniku mengambil rapor. Aku memakluminya. Walaupun rasanya ingin sekali-kali aku mengungkap kecewa pada ayah. Tak bisakah sebentar saja ia membagi waktunya untukku? Terkadang, saat menunggu namaku dipanggil, aku suka sekali memperhatikan murid-murid lain yang ditemani orang tuanya.  Seperti si Mira yang kulihat asyik mengobrol dengan Ibunya tadi.

“Lihat, Ma. Aku kalau Bu guru belum datang, biasanya aku dan teman-teman suka mengumpul di depan kelas.” Si Mira menunjuk teras depan kelas kami. Ibunya hanya senyum sambil menganggguk-angguk.

“Terus, kalau suka telat masuk, anak yang telat sering disuruh bersihin kamar mandi.” Timpalnya lagi.

“Oh, ya? Kamu nggak suka telat kan tapi?”

“Aku lebih baik bangun cepat daripada bersihin toilet, Ma. Apalagi biasanya yang dibersihin adalah toilet anak laki-laki. Ih, bau tauk!” jawab Mira sambil menjepit hidungnya sendiri dengan kedua jari.

Terkadang, ingin sekali aku mengajak Ayah melihat-lihat kelas. Tempat ruanganku belajar. Hasil karya yang kupajang. Kantin tempatku mengantri makanan. Berbincang-bincang layaknya temanku si Mira dengan ibunya. Atau sekedar mengajak ayah mencicipi jajanan kesukaanku. Tapi ayah rasanya tak peduli dengan hal-hal seperti itu. Yang ia pedulikan hanya nilai, nilai, dan nilai saja.

“Ayah tidak mau tahu,” Ayah bangun dari tempat duduknya. Mendengus kesal. Tubuhnya yang besar berdiri jelas di depanku yang masih duduk tanpa suara. Tak berkutik.

“Ingat, ya! Semester depan jangan sampai ada nilai merah begini lagi!” Ujar Ayah dengan nada membentak, kali ini jarinya sambil menunjuk-nunjuk ke arahku. Aku mengangguk, pasrah.

Di dunia ini, bolehkan hanya orang tua yang mar..? Ah, bahkan di dalam hati ini saja aku masih tak bisa mengungkap satu kata ini. Satu kata yang mereka bilang tidak diizinkan untuk anak kepada orang tuanya. Aku tidak sebodoh yang ayah pikir. Nilai merah sengaja kubuat supaya ayah lebih peduli padaku. Supaya ia mau mengantarku ke sekolah. Tapi ia tak pernah bertanya, apa alasannya.

Advertisement

2 thoughts on “Nilai Merah

  1. Koreksi:
    – melirik nya (meliriknya) // ingat preposisi
    – ku mengungkap kecewa pada ayah (Ayah)
    – Atau sekedar mengajak ayah (Ayah)
    – Tapi ayah rasanya tak peduli (Ayah)
    – Di dunia ini, bolehkan hanya orang tua (bolehkah)
    – Aku tidak sebodoh yang ayah pikir (Ayah)
    – Nilai merah sengaja kubuat supaya ayah lebih peduli padaku (Ayah)

    Like

Comments are closed.