Belajar Sastra dari Boen S. Oemarjati

Salah satu dari Trilogi buku Dr. Boen S. Oemarjati: Melakoni Sastra, Mengakrabkan Sastra, dan Memaknai Kembara Bahasa dan Budaya (Docpri)

Almarhumah Dr. Boen S Oemarjati adalah pakar sastra, mengajar di Departemen Biologi sebagai dosen bahasa Indonesia. Yang pernah diajar beliau pasti tahu bahwa dia juga suka ilmu biologi, makanya kemudian beliau mendaftar dan diterima sebagai mahasiswa biologi. Jadi, pernah ada kejadian di awal beliau menjadi mahasiswa. Tiba saatnya kuliah bahasa Indonesia, Boen bangkit dari kursi mahasiswa dan maju ke depan. “Saudara-saudara, mari kita mulai kuliah bahasa Indonesia.” Teman-temannya berpikir dia bercanda dan mulai tertawa. Tawa mereka berhenti waktu Boen sungguh-sungguh berkata bahwa dialah dosen Bahasa Indonesia untuk mahasiswa biologi.

Saya masih ingat koreksi pertama Bu Boen untuk tugas saya. Ibu meminta kami menuliskan kegiatan yang kami lakukan sejak bangun tidur sampai menjelang tidur malam. Saya menulis, “Saya bangun tidur mulai dari pukul setengah lima sampai setengah enam.” Maksud saya adalah di antara pukul 04.30 dan 05.30 saya bangun tidur. Komentar Bu Boen, “Proses bangun tidurnya lama banget, ya.” Tugas-tugas saya selalu penuh dengan coretan beliau. Begitulah, sedikit-sedikit saya mulai belajar membaca apa yang saya tulis. Beliau dengan cerdas meramu materi Bahasa Indonesia ke dalam narasi-narasi biologi. Jadi, belajar bahasa Indonesia sekaligus biologi. Sekali tepuk dua lalat mati. Cerita sebenarnya justru saya yang mati kena tepuk karena nilai bahasa mentok di C. Kalau mengingat terus nilai itu rasanya mau berhenti menulis saja.

Secara tidak sadar saya belajar bahasa Indonesia dan (sedikit) sastra dari Boen S. Oemarjati. Sepeninggal beliau, ada tiga terbitan buku beliau yang kami terima. Di sana saya temui puisi-puisi luar biasa. Di sana juga saya dikenalkan dengan karya-karya pengarang yang beliau kritisi, seperti N.H. Dini, Titie Said, Chairil Anwar, dan Amir Hamzah. Membaca analisis Bu Boen membuat saya memahami karya-karya si pengarang dengan lebih baik. Ternyata memang berbeda cara ahli sastra menikmati suatu karya dibandingkan dengan orang biasa. Bukan berarti kemudian saya jadi ahli sastra, ya! Yang cukup mengagetkan saya rupanya Bu Boen sudah sejak awal menerima konsep “Student Centered Learning” yang baru sekitar tahun 2008 didengungkan. Suatu konsep yang menitikberatkan pada kemandirian siswa untuk belajar (sekarang istilahnya merdeka belajar yang menurut saya masih slogan saja).

Sebagai penutup Ketik 11 ini, saya kutipkan di sini tulisan beliau tentang pemelajar aktif.

“Mengajar merupakan seni. Di semua tingkat pendidikan, yaitu SD, SMP, SMA, dan PT, proses belajar mengajar merupakan proses organik, konstruktif, dan dinamis yang memberikan peluang kepada anak didik untuk menggali makna melalui proses mengalami, mengandaikan, menjelajahi, dan menyintesis. Pemelajaran sastra yang diselenggarakan dalam keterbukaan, kejujuran, dan saling menghargai antara guru dan anak didik akan mewujudkan proses-proses tersebut. Anak didik akan terdorong untuk menyadari bahwa mereka dapat memaknai teks bacaan mereka dalam kebebasan yang tekstual. Suasana belajar mengajar demikian akan membantu mereka untuk berusaha memahami latar budaya orang lain. Dengan kata lain, anak didik menjadi pemelajar yang aktif.” [Oemarjati, B.S. 2009. Pemelajaran Sastra Meningkatkan Pembinaan Watak. Jembatan Merah. Jurnal Ilmiah Pengajaran Bahasa dan Sastra. Vol. 3. Edisi Januari-Juni 2009: 1-8.]

Sumber: Oemarjati, B.S. 2012. Mengakrabkan Sastra. UI Press.

5 thoughts on “Belajar Sastra dari Boen S. Oemarjati

Comments are closed.