Turis Asing

Seorang wanita muda tengah berjalan tergesa-gesa. Melewati pedagang kaki lima dan ratusan turis yang memadati trotoar. Dibawah terik matahari siang yang mengguyur tubuh, peluh mengalir dari pelipis. Membentuk aliran sungai kecil yang lekas wanita itu seka dengan punggung tangan. Sesekali dia merapatkan jari-jemari di depan dahi, menghalau sinar matahari yang menusuk mata. Membidik eksistensi sosok di ujung jalan. Memastikan bahwa dia tidak salah mengenali orang.

“Sudah menunggu lama?”

Ucap wanita itu yang sontak membuat pria dihadapannya melirik arloji di pergelangan tangan kiri. Seraya mengangkat wajah dia menjawab kalau sudah sampai di sana dua puluh menit yang lalu. Namun, meski begitu, pria itu tidak lantas membuang waktu begitu saja. Dia sempat membaca dua artikel di portal berita online. Dia juga sempat mengambil beberapa gambar dengan kamera ponsel. Memotret suasana di kawasan sekitar dan sekelompok orang yang melintas dengan sepeda tua, begitu terangnya.

Wanita itu mengangguk-angguk. Mendengarkan setiap frasa yang keluar dari mulut pria itu dengan semangat bergolak. Sesekali juga janggal. Iris mata pria itu tidak biru dan tidak juga hijau seperti kebanyakan turis asing di sana, melainkan coklat-kehitaman. Kulitnya tidak putih atau kuning langsat. Lebih cocok disebut sawo matang. Perawakannya khas orang Indonesia namun aksen pria itu terdengar aneh ketika berbicara dalam Bahasa Indonesia. Dia juga tak memiliki penguasaan kosa kata yang cukup sehingga beberapa kali mensubstitusikan kata ke dalam Bahasa Inggris.

“Apa Ibu ikut kemari?”  

Wanita itu menyela yang segera dibalas sebuah gelengan. Dia menghela napas. Memorinya dibawa pada tiga belas tahun silam ketika ibunya memutuskan pindah ke Cambridge. Membawa serta adiknya yang baru berusia lima tahun. Sedang wanita itu memilih menetap di Jogja bersama kakek-nenek. Melanjutkan kuliah dan bekerja sebagai pemandu wisata. Sejak saat itu dia sudah jarang sekali bertemu ibunya kecuali pada libur tertentu.

Berkarier sebagai praktisi pendidikan di kampus ternama, ibunya cenderung memiliki cara pandang yang modern. Dia suka menghabiskan waktu untuk membaca dan bertandang sebagai turis asing di negeri orang. Mencari inspirasi dan melepas batas dari pola pikir membosankan dan klise. Keingintahuan untuk melihat dunia luar nyaris tak terbendung. Meskipun jauh dari orang-orang sebangsa, dia tak mempermasalahkan itu. Bila ada kendala terhadap bahasa dan budaya, dia selalu optimis mampu mengatasinya dan berbaur dengan kultur masyarakat yang ada.

“Itu apa?” pria itu tiba-tiba bertanya.

“Apanya?” ucap wanita itu tidak mengerti.

“Yang mereka makan.”

Seketika dia mengikuti arah pandang pria itu. Matanya tertuju pada tiga orang gadis berjilbab yang tengah berdiri di pinggir jalan sambil mengudap makanan. Makanan itu berbentuk memanjang dengan ukuran kecil-kecil dan disiram saus berwarna merah. Teksturnya kenyal dengan perpaduan rasa pedas dan manis, wanita itu pernah mencobanya sekali.

“Tteokbokki.”

“Tok?”

“Tteok-bok-ki,” kembali wanita itu berkata dengan mengeja.

“Makanan khas sini?”

Dia menggeleng, “Bukan. Itu makanan khas Korea.”

“Apa makanan Korea populer disini?” tanya pria itu lagi.

“Kurasa begitu. Efek Korean Wave,” wanita itu melanjutkan, “Kamu ingin makan itu?”

Pria itu menggeleng, “Karena aku turis lokal jadi aku ingin menyantap makanan lokal saja.”

Sekonyong-konyong wanita itu jadi tertawa dan disambut ekspresi heran lawan bicaranya.

“Kenapa?”

“Tidak. Kamu turis asing,” wanita itu menyangkal.

“Huh?” pria itu jadi semakin heran.

“Orang lokal selalu ingin mencoba hal-hal baru. Seperti makanan orang asing misalnya,” ujar wanita itu pada adiknya.

Advertisement

2 thoughts on “Turis Asing

    1. Siap, Kak. Memang sering sekali aku kurang teliti dalam penulisan preposisi wkwk…

      Like

Comments are closed.