Keindahan itu tidak jauh
Dia ada di dalam hati

Sama seperti keindahan, kebahagiaan itu pun tidak jauh. Dia ada di dasar hati kita, membungah kala kita menengoknya. Sayangnya, seringkali kita justru melongok ke luar, menggapai-gapai ke kejauhan yang sering gagal dijangkau, lalu kecewa dan menyesali diri, merasa tidak bahagia.
Sewaktu membaca buku Ring of Fire – An Indonesian Odyssey tulisan kakak beradik Lawrence dan Lorne Blair (terjemahan bahasa Indonesia, 2012), saya menemukan pernyataan yang senada dengan baris-baris kalimat di atas.
Kita bisa saja berkeliling dunia namun tidak melihat apa-apa, atau berkeliaran di taman kita sendiri dan dipenuhi kekaguman akan hal-hal yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Sulit untuk tidak kagum dengan kekayaan alam Indonesia, baik hutan, gunung, laut, sampai pada suku dan adat istiadatnya setelah membaca buku ini. Sama seperti ketika membaca Krakatoa, The Day The World Exploded (Simon Winchester, 2003) atau The Malay Archipelago: The Land of Orang Utan and the Greater Bird of Paradise karya Alfred Russel Wallace. Semua menulis dengan detil peristiwa yang terjadi, kondisi alam yang menyelimuti peristiwa itu, dan bagaimana masyarakat bergumul dengan peristiwa, alam, dan tentu saja diri mereka sendiri. Ring of Fire menggugah rasa paling liar dalam diri untuk mendatangi Pantai Bira di Bulukumba Sulawesi tempat kapal pinisi selama turun temurun dibuat, kepulauan Banda yang indah dan sangat bersejarah, pulau Aru yang terkenal dengan cendrawasih si Burung Surga, serta perkampungan suku-suku pedalaman di Papua yang sanggup membuat bulu kuduk berdiri. Mengalami sensasi petualangan yang muncul membuat saya memahami semangat yang meluap-luap dari dua bersaudara Blair yang mendasari dimulainya perjalanan luar biasa mereka setelah membaca berbagai literatur yang bercerita tentang keajaiban alam yang membentang dari Sabang sampai Merauke, meniti khatulistiwa sepanjang Perancis-Pakistan.
Saya agak “diuntungkan” dengan kenyataan bahwa perjalanan Blair bersaudara di Indonesia Timur berada di tahun 1970-an, tahun di mana saya baru melihat dunia (tepatnya dunia dalam skala Rukun Tetangga!). Ini membantu saya ketika membayangkan teknologi yang digunakan oleh Blair dalam perjalanan mereka: kamera, alat selam, alat komunikasi, kendaraan darat, semua sangat familiar buat saya yang hidup di jaman itu, membuat saya langsung lengket dengan buku ini. Beberapa kisah yang dituturkan sudah saya pahami dengan baik, seperti duo Darwin-Wallace, letusan Krakatau, atau pembuatan pinisi. Tapi, ada banyak kisah yang baru saya ketahui dan membuat saya mengejek diri sendiri, “Halooo, ke mana saja kamu selama ini???” Tradisi pembakaran mayat di Toraja atau asal usul nama ilmiah cendrawasih yang diberikan Carolus Linnaeus: Paradisaea apoda “burung tak berkaki dari surga”. Kisah lain yang membuat saya kemudian berselancar di dunia maya (untuk memastikan kebenarannya) adalah misteri hilangnya Michael Rockefeller (putra mantan Wakil Presiden Amerika Nelson Rockefeller) di pesisir Asmat, Papua, pada tahun 1961. Waktu itu usianya 22 tahun. Walaupun kedatangan dua bersaudara Blair ke suku Asmat di Desa Otjanep (tertulis Otsjanep di Wikipedia) tidak diniatkan untuk menyelidiki kejadian tersebut, pada akhirnya mereka berhasil mendapat jawaban apa yang terjadi pada anak muda yang menyukai ilmu etnologi itu. Tentu saja saya tidak akan menjadi spoiler di sini, cukup mengatakan bahwa kisahnya sungguh mengharu biru.
Dulu mungkin saya menanyakan mengapa eksplorasi/penelitian keanekaragaman hayati (dan geologi dan suku dan budaya) Indonesia justru sering dilakukan oleh orang asing. Namun, seiring waktu, pertanyaan itu tidak lagi penting buat saya. Terlebih ketika mulai banyak peneliti dan naturalis Indonesia benar-benar turun ke lapangan, entah untuk kegiatan eksplorasi, konservasi, ataupun sekedar menambah kebanggaan sebagai anak negeri.
Jadi teringat buku yang kugunakan untuk referensi skripsi Crop Pest In Java isinya tentang pulau jawa ditulis oleh orang Belanda (Kalshoven) berbahasa inggris
LikeLiked by 1 person