
Judul dari pos ini saya ambil dari judul bab pertama di buku Ayah... karangan Irfan Hamka. Buku ini berisi kisah seorang Buya Hamka sedari masa muda, dewasa, menjadi ulama, sastrawan, politisi, kepala rumah tangga sampai ajal menjemputnya. Menariknya buku ini ditulis oleh anak kandungnya sendiri, Irfan Hamka. Irfan Hamka adalah anak kelima dari Buya Hamka, atau yang bernama lengkap H. Abdul Malik Karim Amrullah. Beliau adalah seorang novelis-ulama yang hingga saat ini terkenal karena karya dan kisahnya.
Judul : Ayah…
Penulis : Irfan Hamka
Penerbit : Republika
Tahun Terbit : Mei 2013
ISBN : 978-602-8997-71-3
Jumlah Halaman : 324 Halaman
Sebenarnya KETIK ke-9 ini ditugaskan untuk membaca dan menuliskan review dari buku dengan judul yang sama, karangan Andrea Hirata. Tetapi karena saya tidak memiliki buku tersebut dan disediakan pilihan untuk membaca buku lainnya, maka saya carilah buku dengan judul sama di perpustakaan pribadi milih ayah. Bertemulah saya dengan buku ini. Tanpa banyak pikir dan membaca blurbnya saya putuskan untuk memilihnya. Setelah membaca singkat beberapa halaman, saya dengan cepat memutuskan buku ini bukan bacaan favorit saya. Tapi namanya juga komitmen, favorit atau bukan tetap harus dikerjakan, bukan?
Saya pikir ini adalah sebuah buku biografi yang membosankan. Eh buku ‘membosankan’ ini dalam waktu setengah jam saja malah sudah saya habiskan sampai dengan bab ketiga. Nama seorang Buya Hamka yang besar, dengan berbagai status yang dimiliki beliau membuat saya melihat menilai buku ini berat untuk dibaca. Alhamduilillah sang penulis, Irfan Hamka sudah memikirkan hal ini dan menyiapkan strategi serangan tulisannya dengan apik. Ia menceritakan kalimat-per-kalimat dengan mudah untuk dipahami pembaca malas seperti saya. Membacanya seperti mendengarkan seorang guru yang tengah bercerita santai tentang ayahnya di depan kelas. Singkat, mudah dan membuat pembaca tertarik untuk melanjutkan ceritanya. Sebelum masuk ke bab pertama buku ini, terdapat enam halaman pengantar yang ditulis oleh Dr. Taufik Ismail. Beliau menceritakan secara singkat isi dari buku, serta beberapa kisah singkat tentang sosok Buya Hamka dari sudut pandangnya. Enam halaman pengantar tersebut cukup memancing ketertarikan saya untuk memulai membaca buku ini secara keseluruhan.
Bab yang saya pilih adalah bab pertama, berjudul Sejenak Mengenang Nasihat Ayah. Pada bab ini penulis mengenalkan sosok Buya Hamka dari sudut pandang seorang anak. Sehingga pembaca dibuat akrab dengan ayahnya. Ia membagi bab ini menjadi tiga bagian, yang ia sebut sebagai tiga nasihat dari ayahnya.
Nasihat yang pertama, nasihat tentang rumah tangga. Yang kedua, tentang nasihat bagi tetangga. Yang ketiga, sekaligus terakhir adalah nasihat untuk pembohong.
Nasihat pertama dan kedua, ditulis dari obrolan ayahnya yang memberi nasihat kepada beberapa orang yang meminta pendapat beliau sebagai alim ulama. Sedangkan nasihat yang ketiga merupakan nasihat pribadi seorang ayah kepada anaknya, Irfan Hamka. Bagian inilah yang paling menarik bagi saya.
“Ada tiga syarat yang harus dimiliki oleh orang yang suka berbohong. Pertama, orang itu harus memiliki mental baja. Kedua, tidak pelupaa akan kebohongan yang diucapkan. Ketiga, harus menyiapkan bahan-bahan perkataan bohong untuk melindungi kebenaran bohongnya yang pertama. ” (Irfan Hamka, 2013 : 11).
Nasihat yang gampang untuk dicerna dan dipahami. Sebelumnya saya hanya tahu seorang Buya Hamka sebagai seorang novelis-ulama terkenal. Namun dari tulisan di bab pertamanya, saya dibuat menjadi tertarik oleh sosok ulama ini. Apa yang beliau ajarkan, berdasarkan dari bab pertama, adalah sesuatu yang mudah dipraktikan dalam keseharian. Kesimpulannya, saya akan menghabiskan bacaan ini hingga selesai. Ehehehehe.
Reblogged this on Ppora-pi-ppam.
LikeLiked by 1 person