Hujan dan Mereka

Photo by spemone on Pexels.com

Sore ini hujan turun lagi. Dari kamar tidur aku menatap ke luar jendela. Bukan rintik hujan tetapi hujan seperti siraman air shower saat masih subuh, deras. Sayup-sayup terdengar gelak tawa sekumpulan anak kecil. Aku semakin mendekat ke arah jendela, mengintip suasana di luar. Benar saja, ada beberapa anak tetangga sedang asik bermain hujan. Pemandangan itu terlihat manis dan menorehkan senyum di bibirku. Aku si pecinta hujan ini dulu juga senang bermain di bawah langit hujan. Dulu, terdengar sangat lama. Saat ini aku masih senang dengan hujan. Tapi hanya sekedar menontonnya.

Entah bagaimana hujan membawa pemikiranku berlari menuju ke beberapa ingatan dengan adegan hujan di dalamnya.

Ingatan hujan pertama ini belum lama terjadi. Aku dan temanku, Fairuz, sedang berada di dalam mobil. Di luar harinya sedang hujan cukup deras. Kami berdua sebenarnya sudah selesai dengan urusan masing-masing. Tetapi untuk langsung pulang, rasanya hari masih terlalu terang. Fairuz adalah seorang sahabatku dari masa putih abu-abu. Gadis keturunan Sunda dan Sumatera ini biasa aku panggil dengan sebutan Mami. Sesuai panggilan itu, sikapnya terhadapku bak seorang Mami kepada gadis kecilnya. Ia teman yang bisa aku andalkan di banyak situasi. Fairuz juga salah seorang dari sebagian kecil teman yang bisa aku tunjukkan manjaku. Aku biasa mendeskripsikan diriku dengan warna ungu gelap dan merah muda, sedangkan mamiku ini berwarna merah dan hijau. Merah karena ia adalah seorang dengan pembawaan yang ceria dan bersemangat. Hijau karena ia adalah seorang pendengar yang baik. Seorang yang mampu membuat tenang temannya di saat yang dibutuhkan. Aku lupa kapan temanku ini menjadi seorang pendengar yang baik. Bisa jadi karena pendidikan kuliah yang ditempuhnya mempelajari tentang manusia.

Ingatan hujan yang ke-2 mundur ke beberapa tahun yang lalu. Saat aku merantau ke kota Jogjakarta. Aku di waktu itu, masih cukup kuat untuk bermain hujan. Ketika teman-teman kos berlari masuk ke kamar setelah mengambil jemuran, aku malah bergegas bersiap ke luar kos. Tidak lupa aku melengkapi diri dengan jas hujan yang menutup hampir seluruh badan. Aku tidak sendiri. Ada seorang gadis jawa ayu yang sigap menemani hobi unikku, Anggraheni. Biasa aku panggil Anggrek. Dari semua teman dekatku, ia adalah definisi seorang gadis jawa tulen. Paras ayu dengan senyuman manis yang sering kali membuat mas-mas senior di kampus terpana. Aku masih ingat beberapa polah para senior dalam mencuri perhatian Anggrek. Tapi tentu saja bukan sembarang pria yang mampu meluluhkan hatinya. Anggrek kesayanganku ini berwarna biru tinta. Biru warna tinta yang berpendirian cukup kuat. Bisa dibilang keras kepala, tapi ia bertanggung jawab dengan kekerasannya itu. Sama seperti aku yang sekarang, aku ragu apakah badannya masih kuat bermain hujan.

Kenangan hujan berikutnya tidak jauh dari masa perantauanku. Di suatu siang, tiga gadis beriringan naik motor memasuki area masjid untuk berteduh dari hujan. Aku dan Anggrek hari itu memiliki misi untuk menenangkan serta menemani seorang teman yang kami panggil eonnie. Eonnie adalah panggilan dalam bahasa Korea yang bermakna kakak perempuan. Dari kami bertiga, eonnie adalah yang tertua menurut usia. Walaupun yang tertua, ia adalah seorang dengan warna kuning di mataku. Kuning karena eonnie adalah pribadi yang ceria. Ia senang tersenyum dan memiliki tawa yang renyah. Tidak sulit untuk menjadi akrab dengannya. Namun di hari itu, ia sedang tertimpa kesedihan. Mata sipitnya terlihat semakin sipit. Bukan karena ia kebanyakan tersenyum, tapi karena kebanyakan menangis. Hujan di hari itu bukanlah kenangan hujan yang menyenangkan. Tapi tetap saja menjadi hujan yang terkenang.

Hujan ke-4 adalah hujan di masa awal perkuliahanku. Tiga mahasiswa baru asik bercanda di dalam bus Trans Jogja. Mereka belum mengenal jalanan Jogja dengan baik. Sore setelah pulang dari kelas masing-masing, ketiga saudara seperantauan itu berencana berkenalan dengan Malioboro. Hujan di luar sama sekali tidak mengurangi perbincangan Aku, Putra dan Yuni. Ketiga sekawan ini justru makin asik berbincang dalam bahasa daerah Banjar. Aku dan Putra berkuliah di jurusan yang sama, bahkan di kelas sama pula. Putra adalah temanku sedari bangku sekolah menengah atas. Ia berperawakan tinggi dengan postur tubuh ideal. Lelaki tampan kata sebagian besar penggemarnya. Susah menghitung sudah berapa perempuan yang memberikan aku dan Yuni pandangan cemburu. Putra cenderung diam di hadapan orang banyak. Lelaki tampan, pendiam dan terlihat pintar. Tentu saja menarik banyak perhatian perempuan. Andai saja mereka tau betapa cerewet dan konyolnya idola mereka tersebut.

Sama seperti Putra, Yuni juga teman lamaku. Bahkan lebih lama dari Putra. Yuni dan Aku bersekolah di sekolah yang sama dari sekolah menengah pertama. Di perkuliahan, kami tetap berada di gedung fakultas yang sama tapi berbeda jurusan. Hal itu tidak menghalangi jadwal bersama kami. Yuni adalah teman yang membuatku merasa seperti perempuan. Ia pintar berdandan dan memilih pakaian dengan baik. Baju dan perlengkapan dandanku hampir semua adalah pemberian atau pendapat darinya. Yuni berwarna coklat krem, ia sering terlihat sebagai gadis yang cuek. Padahal hatinya lembut. Ia mudah bersimpati dengan cerita sedih maupun senang orang lain. Persamaan Putra dan Yuni ini adalah mereka hampir selalu ada di kesusahan dan kesenanganku. Sampai saat ini mereka masih memegang pemberi kado ulang tahun terbaik untuk ku.

Kenangan hujan berikutnya masih di waktu perkuliahan. Sekelompok mahasiswa baru sedang diospek oleh kakak tingkatnya. Suara hujan deras bercampur dengan teriakan kakak tingkat bergemuruh dari berbagai arah. Aku berdua dengan Lia adalah anggota perempuan di kelompok tiga dengan jumlah anggota lima orang. Lia adalah gadis dari Purwokerto, dengan logat ngapak khasnya. Biasanya aku adalah yang termuda di antara teman sebayaku. Ini adalah pertama kalinya aku berteman dengan seorang yang lebih muda dariku. Lia adalah mahasiswi termuda di angkatan kami. Termuda bukan berarti bertubuh paling kecil. Badannya cukup tinggi untuk seorang gadis. Selama kurang lebih 2×24 jam aku dan Lia selalu bersama. Di akhir ospek, selain keram badan aku juga mendapatkan seorang teman baru. Adik kecil ini memiliki warna biru muda. Melihatnya akan membuatmu bersemangat.

Sampai juga sel otakku mengingat ke kenangan hujan terakhir yang akan aku tuliskan di sini. Hujan yang satu ini adalah salah satu hujan yang paling manis di folder memoriku. Hujan dan romansa pertamaku yang juga terjadi di bangku perkuliahan.

Mas Bintang, nama yang selalu membuat bibir ini otomatis sumringah. Mas Bintang adalah pacar pertamaku. Ia adalah senior di kampus yang aktif dalam berbagai organisasi. Mudah sekali menemukannya di berbagai kegiatan yang diselenggarakan kampus. Teman-teman kebingungan saat pertama aku ceritakan kehebohanku menyukai seorang kakak tingkat. Menurut mereka Mas Bintang berparas biasa saja. Bagiku pun bukan parasnya yang membuatku jatuh hati. Mungkin saja suara bassnya. Mungkin juga karismanya ketika di hadapan orang banyak. Mungkin juga pendiamnya yang membuatnya terlihat keren di mataku. Hujan dan Mas Bintang adalah romantis. Ia yang juga penyuka hujan sering mengajak aku berkeliling Jogja dengan mobilnya. Ia selalu bisa menemukan perbincangan menarik di antara kami. Selain hujan, ia menyukai secangkir kopi panas. Suara rendahnya akan meninggi beberapa tingkat ketika membicarakan kopi. Pengetahuannya tentang kopi melebihi orang pada umumnya. Jika aku memberikan warna untuk Mas Bintang, ia berwarna jingga. Seperti secangkir kopi panas, menghangatkan dan membuat nyaman.

5 thoughts on “Hujan dan Mereka

Comments are closed.