Kaktus, Sebuah Lambang Juang

Saya dan keluarga adalah pencinta tanaman. Bagi kami, terutama saya, memelihara tanaman bukan sekadar hobi yang dapat membangkitkan perasaan jatuh cinta dengan alam. Lebih dari itu. Merawat kehidupan sebagian kecil tanaman di dunia ini, serasa menjalani hidup yang seimbang. Sadar bahwa hidup tidak hanya berdampingan dengan sesama manusia dan tugas yang bejibun saban hari, tetapi juga dengan makhluk Tuhan lainnya, salah satunya adalah tanaman atau tetumbuhan.

Rumah kami memang tidak besar, tetapi cukup untuk kami berbagi dengan ‘anggota keluarga’ yang lain. Siapa pun yang main ke rumah, pasti akan dengan mudah menemukan berpot-pot tanaman hias yang berjajar rapi, baik di halaman luar maupun di dalam ruangan. Sebagian besar tanaman yang berada di luar rumah tergolong sebagai tanaman yang mudah tumbuh dan berkembang biak. Ada kuping gajah (Anthurium), sri rejeki (Aglaonema), lidah mertua (Sansevieria), peace lily (Spathiphyllum cochlearispathum), kamboja (Adenium), dan bugenvil (Bougainvillea glabra). Sementara tanaman indoor, ada kaktus berjenis Gymno, Haworthia, dan Opuntia, sukulen (Echeveria), English ivy (Hedera helix), sirih gading (Epipremnum aureum) yang tumbuh di rumah botol ikan cupang, dan lidah mertua yang tingginya hampir satu meter.

Kaktus yang saya pelihara itu, tanaman yang hadir belakangan. Bisa dibilang, saya membelinya karena pengaruh tren tanaman kaktus yang semakin booming di masa pandemi Covid-19. Sebelumnya, saya sempat mengira bahwa tanaman yang viral pastilah tidak masuk akal maharnya, seperti halnya janda bolong (Monstera adansonii). Namun, syukurlah, kaktus punya bermacam-macam jenis, dengan kisaran harga mulai goceng sampai gopekceng.

Kaktus pertama saya, dibeli dari toko tanaman yang berlokasi di daerah Ngaglik, Kabupaten Sleman. Waktu itu, saya belum tahu bagaimana cara memilih dan merawat kaktus, terlebih kaktus mini, yang cocok untuk pemula. Saya hanya melihat sisi ukurannya yang mungil menggemaskan, berekspektasi kalau si cantik berduri tidak perlu overcare, dan bakal enjoy aja hidupnya di meja kerja. Keinginan untuk memiliki kebetulan disambut baik oleh harga yang tidak terlalu tinggi. Akhirnya, dua pot kaktus pun saya beli, semuanya berjenis Mammilaria elongata. Jenis ini berbentuk lonjong dengan duri halus berwarna kuning yang cukup lebat di sekujur batangnya.

Nah, nggak taunya, dia yang membius, dia juga yang mampus. Memelihara kaktus ternyata membuat saya euforia, tetapi justru menyebabkan sesuatu yang fatal terjadi. Hanya selang dua sampai dengan tiga minggu setelah saya adopsi, kedua kaktus itu ternyata berakhir mati. Silih berganti.

Saya sedikit menyesal dan mulai mencari-cari penyebab kematian kaktus di tangan pemula dengan bantuan mesin Google. Hasil menyebutkan, kaktus cepat mati apabila  kelembaban di sekitar akar berlebihan, penanaman terlalu dalam, diletakkan di tempat bersuhu rendah, kehujanan, dijemur di bawah sinar matahari, dan serangan jamur yang dapat membuat kaktus cepat membusuk. Di antara sekian penyebab itu, kemungkinan besar kaktus saya mati karena kelembaban yang berlebihan di sekitar akar. Kaktus yang seharusnya disiram sekali sampai dengan dua kali dalam satu minggu, justru saya siram setiap hari. Anggapan saya rupanya keliru. Saya kira, tidak masalah bagi kaktus jika disiram setiap hari, meskipun karakternya sebagai tanaman yang lazim tumbuh di tempat kering. Di lain sisi, setelah saya pikir-pikir, Mammilaria sepertinya bukan pilihan jenis yang tepat untuk pemula seperti saya. Pun kesalahan saya dari awal karena tidak bertanya mengenai perawatan kaktus kepada sang penjual tanaman.

Dari pengalaman pertama menanam kaktus hias yang berujung pada kegagalan itu, saya pun membuat catatan penting. Meskipun sama-sama diidentikkan sebagai makhluk yang berasal dari gurun, kaktus dan unta adalah dua karakter yang berbeda. Kaktus justru mati jika disiram berlebihan, dia tidak bisa menyimpan sisanya sebagai cadangan di batangnya.

Ilmu merawat tanaman pun benar-benar ada dan diperlukan, sehingga mempelajarinya lebih baik daripada mengandalkan ilmu kira-kira. Membeli atau memiliki tanaman, maknanya selalu terletak pada cara kita merawatnya, karena semahal apa pun tanaman yang kita beli, jika tidak bisa merawatnya, tentu kita tidak bisa melihat mekar bunganya.

Saya perlu memahami cara merawat kaktus hias terlebih dahulu sebelum menanam lagi, sebab, biarpun sering kali disebut sebagai tanaman tangguh, ternyata kaktus butuh perawatan khusus yang telaten. Ini memang sesuatu yang baru buat saya, sebagai seseorang yang terbiasa menyiramkan banyak air ke tanaman-tanamannya.

Pada babak selanjutnya, akhirnya saya bisa tersenyum lega. Kaktus yang saya beli untuk kali kedua, bisa tumbuh dengan baik di dalam ruangan. Jenisnya Gymno dan Opuntia, plus sukulen. Perawatannya, cukup disemprot dua kali dalam seminggu menggunakan sprayer berukuran kecil, tidak perlu sampai airnya merembes ke bawah pot. Kalau sedang libur kerja, kaktus biasa saya letakkan di emperan rumah supaya terkena sinar matahari, meskipun tidak secara langsung.

Kaktus menjadi tanaman yang menarik buat saya (dan mungkin banyak orang) karena beberapa alasan. Lepas dari sedemikian rupa gagasan yang memfilosofikan tanaman gurun itu, saya lebih suka menilai kaktus berdasarkan ‘interaksi’ saya dengannya setiap hari. Pertama, kaktus tanaman yang cantik dan multifungsi. Dia bisa menjadi hiasan ruangan yang mampu menghadirkan perasaan bahagia ketika saya melihatnya, sekaligus sangat mendukung keperluan properti fotografi. Kedua, mengajarkan kita untuk menjadi pribadi yang tidak manja dan terobsesi dengan hasrat duniawi. Ya. Kaktus adalah lambang perjuangan dalam menaklukkan hawa nafsu dan menginsafkan diri dari perilaku foya-foya. Kaktus membuat takaran atau batas kecukupan yang jelas bagi dirinya dan tempat tinggalnya. Sebuah prinsip yang kuat, yaitu tidak mengenal gaya hidup berlebihan.

Saat ini, ada dua belas kaktus dan sukulen yang saya pelihara. Salah satu dari mereka, Gymno, sebentar lagi akan berbunga.

One thought on “Kaktus, Sebuah Lambang Juang

Comments are closed.