
BUM!
Hala menutup telinganya rapat-rapat. Kening gadis kecil itu mengerut, matanya memejam. Tubuhnya sudah merapat pada ayahnya yang kini memeluknya erat.
BUM! BUM!
Tampak kilatan cahaya yang muncul sekilas dari jendela setelah suara barusan. Bumi sedikit terguncang karenanya. Yang barusan itu rasanya dekat sekali. Lebih dekat dari yang sebelumnya. Suara jeritan penghuni kamar lain menembus tembok unit kamar mereka.
“Baba….” Hala memanggil ayahnya dengan suara tertahan. Sang ayah langsung merespons dengan pelukan yang lebih erat.
“Tidak apa-apa, Sayang.” Sang ayah mengelus rambut putrinya sambil memeluk erat, berusaha mengatakan kalimat barusan untuk menenangkan anaknya. Di dalam pelukan itu, Hala dapat mendengar suara detak jantung ayahnya yang begitu cepat. Kengerian itu tidak memandang usia.
Gadis kecil itu menutup rapat telinganya. Ia tidak ingin mendengar dentuman ataupun jeritan orang lain. Ia hanya ingin tidur malam ini. Tanpa suara dentuman. Tanpa suara jeritan penghuni kamar sebelah….
***
Wungg―
Drone pengintai baru saja lewat, terbang di dekat jendela kamar Hala. Suara dengung menyebalkan itu yang membuatnya terbangun. Ia bangkit dari tidur, mengerjapkan mata. Rasanya ia hanya terlelap sebentar saja. Waktu berjalan lambat sekali semalam. Ia kesulitan tidur walau sudah memejamkan mata erat-erat dan menutup telinga rapat-rapat. Ia baru bisa terlelap pukul dua pagi, itu pun setelah suara dentuman dan jeritan sedikit mereda.
Gadis kecil berusia lima tahun itu beranjak dari tempat tidur, berjalan ke ruang tengah. Di sana sudah ada ayahnya yang sedang duduk di sofa, dan segera menyadari kehadiran putri kecilnya.
“Sudah bangun?” tanya sang ayah yang duduk di sofa ruang tengah, menyapanya sambil menyunggingkan senyum. “Tidur nyenyak?”
Hala menggeleng, tapi ia membalas senyuman ayahnya. Saat melihat wajah sang ayah, mimpi buruk semalam seakan langsung sirna. Ia lekas menghampiri ayahnya dengan langkah gontai sambil mengucek mata.
“Sini, sini. Rambutnya berantakan sekali, hahaha.”
“Itu karena aku baru bangun tidur,” jawabnya, tersenyum. Sang ayah mengusap rambutnya dengan lembut, lalu mencium keningnya.
“Ayo bersenang-senang hari ini. Ayah berencana pergi untuk membelikan Hala mainan. Mau dibelikan apa?”
Mata Hala membelalak, senyumnya melebar. “Sungguh?” tanyanya, sang ayah mengangguk sambil tersenyum. “Hmm… mainan pancing ikan, boleh?”
Sang ayah kembali mengusap rambut anaknya dan mengecup kepalanya. “Baiklah, nanti kita beli ya.”
***
Pukul 11 siang. Hala dan ayahnya baru saja tiba di unit kamarnya. Gadis kecil itu menarik tangan ayahnya untuk segera masuk ke dalam rumah.
“Baba, cepat, Baba!” seru Hala, tidak sabar. Sang ayah hanya tertawa, sedikit merasa tenang juga. Syukurlah, sepertinya putri kecilnya itu sudah lupa dengan kengerian semalam. Dentuman-dentuman bom serta jeritan tetangga yang ketakutan dan terdengar jelas di keheningan semalam itu tampaknya sudah sirna dari pikirannya. Walaupun sang ayah tahu yang semalam bukanlah yang terakhir, dan mungkin keceriaan itu hanya untuk saat ini saja, itu sungguh tidak mengapa. Asal putrinya masih bisa tersenyum.
Mainan pancing ikan berwarna hijau itu sudah ditaruh Hala di atas meja ruang tengah. Ia antusias sekali. Sudah lama ia melihat mainan ini di toko dekat rumahnya, tetapi tidak berani minta dibelikan. Hari ini, keinginannya terkabul! Sang ayah sendiri hanya tertawa melihat putrinya yang tidak sabaran. Ia duduk di sofa yang paling dekat dengan jendela, mengawasi sambil sesekali memandang langit melalui jendela. Suara dengungan drone terdengar lebih jelas dari sana. Drone-drone pengawas itu, walau suaranya sangat bising dan mengganggu telinga, warga Gaza sudah terbiasa. Alat pengintai dari penjajah itu tak pernah berhenti mengawasi kehidupan mereka. Dua puluh empat jam sehari, tujuh hari sepekan.
Hala tampak tidak terganggu sedikit pun. Mainan pancing itu benar-benar menjadi bintangnya hari ini. Ia segera mengambil pancingan kecil yang memiliki seuntai benang sebagai tali pancingnya. Di ujung benang tersebut terdapat kail magnet yang akan menarik magnet lain di mulut ikan-ikan itu.
Saat sedang melihat Hala yang sedang asyik bermain, tiba-tiba Ayahnya mendengar suara yang tidak asing. Ia refleks menoleh ke jendela, menatap langit. Suara itu; suara pesawat jet yang semalam. Tidak tepat di atas rumah susun mereka memang. Masih jauh, tetapi terdengar samar-samar. Ia kembali melihat Hala ― masih asyik dengan mainan barunya. Sang ayah hanya berharap gadis kecilnya tidak mendengar suara barusan. Tampaknya suara musik yang ceria dari mainan pancing itu berhasil mengalihkan Hala dari suara lain yang masih samar.
Sang ayah turun dari sofa, mendekati putrinya. “Wah, kamu dapat satu!” seru sang ayah, tepat di dekat telinga Hala. “Ayo, Hala pasti bisa.”
Bum!
Tangan Hala berhenti bergerak. Ia mendengar ledakan, nun jauh di sana.
“Kenapa?” tanya ayahnya, buru-buru tersenyum. Hala menggeleng, lalu lanjut bermain. Mungkin ia hanya salah dengar. Namun, sang ayah sebenarnya juga mendengar suara ledakan itu. Samar, tapi terdengar. Siang ini pun penjajah itu sudah mulai lagi rupanya.
Gadis kecil itu berusaha memfokuskan diri pada mainan barunya. Namun, perasaannya tidak bisa berbohong, dan itu membuatnya tidak dapat berkonsentrasi lagi. Suara musik dari mainan yang ceria tadi rasanya perlahan-lahan meredup.
Wuuz!
Tangan Hala berhenti bergerak lagi. Jantungnya berdetak lebih kencang. Suara itu, suara yang semalam ia dengar bersamaan dengan dentuman bom. Sudah tidak ada senyum di wajahnya. Sekarang Hala yakin sekali, suara itu bukan perasaannya semata. Itu suara pesawat yang semalam.
“Ada apa?” tanya sang ayah sambil tersenyum, berusaha menenangkan putrinya. Suara tadi jelas sekali. Ia tidak bisa lagi membohongi Hala. “Ada suara pesawat ya? Tidak apa-apa, mereka hanya lewat saja. Ayo main lagi.”
Hala bungkam. Sebenarnya ia sudah tidak punya keinginan untuk bermain lagi. Tersenyum pun ia tidak sanggup. Namun, gadis itu berusaha mengembalikan atensi pada mainan barunya.
Aku tidak boleh menangis. Nanti baba sedih.
“Wah, kamu dapat ikannya, Sayang!” Ayahnya berseru senang. Mendengar suara sang ayah, Hala sempat ingin tersenyum kembali. Namun, tepat setelah itu, kali ini lebih jelas terdengar; suara pesawat jet pembawa roket semalam.
Wuuuz!
Terdengar suara jeritan tertahan dari unit kamar sebelah, menembus tembok mereka.
“Baba! Baba!” Gadis kecil itu buru-buru menghampiri sang ayah, meninggalkan mainannya. Ratusan dentuman bom semalam kembali terbayang di benaknya. Kengerian semalam bangkit lagi di dalam memorinya.
Sang ayah segera memeluk putrinya, memberikan perlindungan. “Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Semuanya baik-baik saja. Jangan khawatir, Hala,” ujarnya. Sang ayah tidak tega melihat putrinya ketakutan. Ia lekas merengkuh Hala yang balas memeluknya dengan erat. “Sudah pergi pesawatnya, Sayang. Jangan takut.”
WUUUZ!
“Baba!“
“Tenang… pesawatnya jauh, Sayang,” hibur sang ayah. Hala menggeleng. Tadi itu suaranya dekat sekali, seperti benar-benar di atas kepalanya. Ia menatap mata ayahnya. Ada air mata yang menggenang di pelupuk mata gadis itu, tetapi ia berusaha menahannya. Ia tidak mau menangis di depan sang ayah.
“Jangan takut, ya? Tidak apa-apa, pesawatnya sudah pergi,” ujar sang ayah di tengah pelukannya.
Perlahan, suara pesawat jet itu sudah menjauh. Hala berada dalam pelukan ayahnya selama beberapa menit. Keduanya tidak berhenti memuji Sang Pencipta. Memohon perlindungan.
Sungguh, Hala bersyukur sekali ada ayah yang selalu melindungi dan menenangkannya. Entah bagaimana ia bisa menghadapi kengerian ini jika ayahnya tidak ada lagi dunia.
Selesai
Ini kisah fiksi yang mungkin sekitar 70% disadur dari kisah dan kejadian nyata. Pesawat jet, roket bom, drone pengintai, serangan bom siang hari dan serangan masif pada dini harinya, Hala, serta ayahnya ― semua itu sungguhan ada. Terkhusus serangan bom, berlangsung selama kurang lebih dua pekan saat bulan Mei 2021 kemarin.
Gadis itu bernama lengkap Hala Al Mansi. Ia tinggal bersama dua kakaknya, Sarah dan Malek, serta ayahnya, Ahmad Al Mansi, di Gaza. Kurang tahu apakah ibunya masih ada atau tidak; bisa jadi ada di luar Gaza dan dipersulit untuk mengunjungi keluarganya, atau justru sudah tiada.
Tapi, cerita fiksi memang tidak pernah bisa menyaingi kengerian kisah nyata. Tanggal 14 Mei 2021 kemarin, Ahmad Al Mansi, ayah Hala, syahid. Ia menjadi korban bom roket penjajah ― isr*el ― bersama salah satu adik/kakaknya. Ketiga anaknya selamat, tetapi mereka akan hidup sebagai yatim.
P.S. Teruntuk admin yang selalu teliti memeriksa PUEBI, mohon maklumi dan kecualikan nama negara yang tidak kubesarkan huruf pertamanya itu, ya. Secara sadar dan sengaja memang kuawali dengan huruf kecil ― untuk menunjukkan di mana aku berpihak dan berpijak. Terima kasih! 😁
Nice story, Rifi! Lama sekali tidak berkomunikasi denganmu, ya.
Koreksi:
1. tanya sanv ayah (tanya sang ayah)
2. Walaupun sang ayah tau (tahu)
3. Kurang tau apakah (tahu0
LikeLiked by 1 person
Terima kasih untuk apresiasi dan koreksinya, Mas! Iya nih, buka WA kalau ada keperluan aja, hehe. Jadi jarang nimbrung untuk sekedar ngobrol. 😅
LikeLiked by 1 person