Puisi Cerpen: Sunyi

Ini sebuah puisi bernapas cerpen. Kalau di sekolah dulu diajarkan tentang prosa liris ya. Ya semacam itu. Apapun namanya, yang penting ada yang kutulis di Ikatan kata, wadah menulis yang sudah hampir tiga bulan tak kusambangi. Semoga teman-teman berkenan. 😊🙏

SUNYI

Sunyi adalah sahabatku.

Sudah lama aku mengenalnya.  Dia tak terlihat oleh mata, namun terasa hadirnya. Seperti matahari yang selalu menyapa usai fajar menyingsing mengiring pagi. Dia menjemputku sejak lembayung senja bersembunyi di kaki langit.

Dia memang bernama sunyi, tetapi aku tak merasa sepi kala dia menyapaku. Bahkan kami sering berbicara tentang banyak hal. Bersamanya kami berbagi puisi, sebab dia adalah antitesa hari yang berjalan terburu-buru.

Saat kali pertama bertemu di masa remaja dahulu, dia dengan cepat mengenaliku. Dia tak pernah merasa berat menemani hari-hari saat aku membutuhkannya. Ia menerimaku tanpa syarat, tanpa peduli walau aku hanya sebutir pasir yang tak dikenal oleh gunung yang tinggi menjulang. Walau aku tak pernah menjanjikan apapun padanya saat membersamaiku di keterasingan. Itulah mengapa aku selalu ingat sunyi, bahkan mencintainya.

Sunyi selalu datang saat aku lelah. Saat aku ingin mengatakan banyak hal yang tak bisa kukatakan pada orang-orang, bahkan kepada orang dekat sekalipun. Ia seperti bejana yang rela menampung segala peluh, atau air mata yang tak ingin kuperlihatkan pada siapapun. Selain kepada sunyi.

Karena itu aku bisa menerima sunyi sebagaimana dia menerimaku. Apa adanya, bukan adanya apa.

Ketika sunyi menjadi bayangan yang menakutkan, itu tak membuatku menjauhinya. Saat dia memperlihatkan diri di sebuah makam ditemani sedikit cahaya yang menyisakan kegelapan. Ia berbisik, “Kelak kamu akan bersamaku di sini.” Aku bergidik dibuatnya. Jujur kukatakan padanya bahwa aku belum siap untuk bersahabat dengan sunyi semacam itu. Dia berbisik lagi, oh bukan, dia berucap lebih tegas dan terdengar keras. Namun, ucapannya yang membuat tak nyaman itu tak membuatku meninggalkan atau membencinya. “Sunyi akan menjemputmu dengan tanpa memberi kesempatan untukmu memilih. Suka tidak suka. Karena itu persiapkan saja kehadirannya sepanjang waktumu.”

“Ah, Sunyi. Kau berhasil membuatku ngeri. Kadang kau tak bisa berbasa- basi,” sesekali aku mengkritiknya. Namun apalah kritik itu baginya, selain dia tetap angkuh melanjutkan perjalanan waktu. Dan aku memang tak punya pilihan dan alasan untuk mengakhiri persahabatanku dengannya.

Kucoba untuk mengerti dirinya. Aku masih yakin, dialah sahabat terbaikku. Dia mengingatkanku. Dia membuka mataku. Bahwa kelak akan ada sebuah sunyi yang lebih sunyi dari pada kegelapan yang kusaksikan di atas makam. Saat ragaku terbujur di tanah yang dalam, di mana suara-suara jengkerik, burung atau hewan-hewan malam tak sanggup menembus tanah untuk menghiburku. Apalagi suara istriku, atau tawa canda anak-anakku. Mereka hanya akan menemani sunyiku sebentar saja.

Sunyi selalu hadir ketika senja menebas cahaya matahari lalu merambat perlahan hingga embun membangunkan rumput-rumput pagi.

Namun, ada sunyi yang seringkali luput dari hasratku. Sunyi di sepertiga malam. Sunyi yang mengundang malaikat turun ke bumi. Sunyi yang membukakan pintu rahmat,  tetapi aku masih merasa kecil dan malu. Walau sejujurnya hasratku bersunyi-sunyi dengannya selalu ada. Entah suatu hari nanti.

Aku selalu ingin berdekat-dekat dengan sunyi, menepi dan menjauh dari mesin-mesin industri, juga menjadi mesin itu sendiri. Aku selalu ingin memeluknya usai derap langkah ambisi memisahkanku dari ruang sunyi.

Aku selalu ingin mencintai sunyi, menjadikannya sahabat yang membantu melihat dunia apa adanya, walau sekadar untuk menulis puisi.

Depok, 25 Juni 2021

Advertisement

4 thoughts on “Puisi Cerpen: Sunyi

Comments are closed.