Pandemi, Cinta dan Alat Pelindung Diri

“Sudah sampai di mana?”

Kevin membaca pesan yang baru masuk ke smartphone-nya dan langsung berhenti sejenak, membalas pesan yang masuk tersebut.

“Belum berangkat…Sorry! Last minutes job sebelum go!”

Kevin mengetik, lalu mengirimkan pesan tersebut dengan sangat tergesa-gesa. Ia tidak sadar menjatuhkan beberapa dokumen yang ada ditangannya, lalu terburu-buru merapikan berkas-berkas yang berhamburan di tangan.

“Hati-hati, Kevin” tegur salah satu temannya dari seberang kubikal tempat kerjanya, Danu. Ia nampaknya memperhatikan apa yang sedang terjadi.

Sambil merapikan berkas-berkas yang berjatuhan di lantai, Kevin memandang sekelilingnya lalu membalas,

“Oke, Bos!”, sambil sedikit berbisik. Ia tidak ingin menjadi pusat perhatian pada saat ini.

“Jadi jalan dengan Cinta?” tanya Danu.

“Jadilah,…tapi ini masih mengerjakan last minutes job! Hufh!” balas Kevin.

“Semangat!” kata Danu menanggapi.

Kevin memang sudah merencanakan untuk bertemu Cinta sejak lama. Sudah tidak terhitung berapa purnama yang harus ia lalui dalam penderitaan penuh rasa rindu. Video call saja tidak cukup, dan ia menunggu penuh harap pertemuan pertamanya dengan Cinta setelah sekian lama.

Pandemik yang tidak tahu ujungnya menyiksanya dengan sangat! Lebih menyiksa dari pada omelan bos-nya setiap hari, yang menurutnya sangat tidak ingin melihatnya bahagia.

Kevin dan Danu sudah menduga bahwa post power syndrome adalah alasan mengapa bos keduanya sangat tidak ingin keduanya bahagia. Maklum, keduanya adalah dua orang di kantor yang tidak terlalu mengikatkan diri dengan permasalahan kantor atau berusaha mati-matian untuk mendapatkan bonus bulanan. Keduanya cukup bahagia dengan apapun yang terjadi pada saat ini, lebih lebih fokus untuk memanjakan hati keduanya dengan hal-hal yang menyenangkan. Salah satunya adalah ini, menemukan cinta di kota Banjarmasin.

Cinta adalah seorang petugas kesehatan. Kevin bertemu pertama kali dengannya saat ia dan teman-temannya memeriksakan diri pertama kalinya sejak pandemic di umumkan. Saat itu, Cinta bertugas untuk melakukan pemeriksaan swab, dilengkapi dengan seperangkat alat perlindungan diri. Meksipun terbungkus dengan alat perlindungan diri yang lengkap, Kevin dapat melihat pancaran keindahan, keteguhan dan keteduhan dari mata sosok yang memeriksanya saat itu. Tulisan yang ada di bajunya bertuliskan, Cinta. Awalnya Kevin mengira itu hanya tulisan tanpa arti, tapi ketika sosok dibalik alat pelindung diri itu berbicara, Kevin akhirnya mengerti.

“Selamat pagi, Pak. Saya, Cinta. Saya akan mulai memeriksa Bapak. Mohon tunggu sebentar ya”. Demikian Cinta memulai percakapan antara keduanya. Pada saat itu, Kevin sudah sangat terpesona. Itu pertemuan pertama keduanya. Sejak saat itu, keduanya bertukar nomor, dan melanjutkan pertemanan keduanya melalui udara.

Kevin sudah menunggu pertemuan ini. Ini adalah yang pertama kalinya bagi keduanya. Cinta, yang karena tugas dan tanggung jawabnya harus membatasi diri dari kerumunan dan hidup lebih banyak dalam keterbatasan atau isolasi. Untung saja, Cinta masih bisa dihubungi melalui telpon.

“Aku go duluan ya!” teriak Kevin sambil terburu-buru. Ia mengambil barang-barangnya dengan segera, dan tidak lupa beberapa alat perlindungan diri seperti masker dan hand sanitizer.

“Salam untuk Cinta, Vin!” teriak Danu, sambil berusaha untuk memelankan suaranya, berharap tidak ada yang mendengar.

Kevin mengangguk dan berjalan terburu-buru ke arah pintu keluar. Ia sudah tidak sabar bertemu dengan Cinta. Ia berhenti sejenak untuk membaca pesan di smartphone-nya, pesan dari Cinta.

“Tempat duduk nomor 24 ya”

Kevin tersenyum di balik masker yang ia gunakan, lalu membalas,

“Siap! Sedang dalam perjalanan menuju ke sana” jawab Kevin. Dalam hatinya, Ia sangat berharap dapat mempercepat perjalananya dan berada di rumah makan yang ada di pikirannya. Ia pun berharap agar Cinta dapat sabar menunggunya di sana.

Tidak beberapa lama, Kevin tiba di depan rumah makan yang menjadi tempat pertemuannya dengan Cinta. Sambil berlari kecil, ia berjalan menuju pintu masuk. Ia dihentikan oleh petugas rumah makan yang secara ramah mengarahkannya ke tempat mencuci tangan. Kevin mencuci tangannya, lalu bergegas ke meja nomor 24.

Dari kejauhan, Kevin melihat Cinta. Persis seperti bayangannya, Cinta berambut pendek sebahu, dengan mata indahnya. Meskipun masker menutupi separuh dari wajahnya, tapi kelembutan masih terpancar dari sana.

“Hai…”sapa Cinta dengan hangat dan penuh antusias.

“Hai..sudah lama?” tanya Kevin penuh penasaran dan was-was.

“Lumayan, but I enjoyed the place, so tidak terasa” jawab Cinta. Cinta melepaskan maskernya, dan rasa hangat lahir dalam dada Kevin. Cinta dan kecantikannya.

Lalu, waktu berjalan dengan penuh kehangatan dan makna sejak saat itu. Cinta, Pandemi dan alat perlindung diri. Tiada yang lebih baik dari hari ini.

Sumber berita: “Mask up, spray down and no toching: Dating in the COVID age”, tulisan Aloysius Efraim, The Jakarta Post.

Advertisement

3 thoughts on “Pandemi, Cinta dan Alat Pelindung Diri

  1. Koreksi :
    1. ditangannya (di tangannya)
    2. “Hati-hati, Kevin” tegur salah satu (“Hati-hati, Kevin,” tegur salah satu)
    3. “Oke, Bos!”, sambil sedikit berbisik (“Oke, Bos!” sambil sedikit berbisik)
    4. dari pada (daripada)
    5. bos-nya (bosnya)
    6. di umumkan (diumumkan)
    7. sosok dibalik alat pelindung diri (sosok di balik alat pelindung diri)
    8. Mohon tunggu sebentar ya”. (Mohon tunggu sebentar ya.”)
    9. telpon (telepon)
    10. “Tempat duduk nomor 24 ya” (“Tempat duduk nomor 24 ya.”)
    11. perjalananya (perjalanannya)
    12. “Lumayan, but I enjoyed the place, so tidak terasa” jawab Cinta (“Lumayan, but I enjoyed the place, so tidak terasa,” jawab Cinta)

    Sepertinya lama tak menulis membuat Ayu lpa soal penempatan tanda baca dan preposisi.

    Liked by 1 person

    1. Terima kasih atas respon-nya, Admin Ikatan Kata.

      Luar biasa sekali ini. Tulisan receh ini bisa mendapatkan input yang keren! Akan saya perbaiki ketika saya ada waktu luang ya. Salam.

      Like

Comments are closed.