Tugas pada KETIK15 kali ini adalah wawancara mengenai dampak pandemi COVID19 terhadap pekerjaan seseorang. Menarik. Saya berpikir untuk memutar satu persatu file rekaman di gawai saya, berharap ada kabar baik yang bisa saya temukan. Nihil. Rupanya, sekitar 10 bulan yang lalu, ketika saya merekam wawancara dengan para pemilik UMKM untuk keperluan video profil desa, saya tidak merekam bagian keluh-kesah mereka akibat adanya pandemi ini. Hadeuh. Saya jadi menyesal kenapa tidak membuat pencapaian bagus sehingga KETIK ini dapat diselesaikan lebih awal.
Kebetulan sekali, sekitar 8 jam sebelum saya mulai mengetikkan kalimat-kalimat ini, saya berdiskusi tentang sesuatu hal dengan Mbak Welly melalui pesan WhatsApp. Perempuan satu ini bekerja sebagai pendamping desa budaya yang ditempatkan di Gilangharjo, desa saya tercinta, tepat ketika pandemi COVID19 mulai bergentayangan di mana-mana. Mbak Welly orangnya supel dan easygoing, bahkan kami bisa langsung akrab semenjak pertama kali bertemu. Kami juga sering berdiskusi tentang kegiatan ataupun informasi-informasi desa yang ia perlukan. Oleh sebab itu, selepas diskusi rampung, secara spontanitas saya mengutarakan maksud untuk mengajukan beberapa pertanyaan terkait dampak pandemi terhadap pekerjaannya. Dan ia pun langsung merespon, “Oalah siap! Gimana gimana, Dek?” Hahaha. Obrolan baru pun dimulai. Inilah yang dinamakan sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui, teman-teman!

Welly Oktasari, pendamping Desa Budaya Gilangharjo, bertutur dalam wawancaranya (baca: obrolan santuy) dengan saya.
Saya : “Mbak Welly, sekalian aku perlu bantuan nih, Mbak. Kalo Mbak Welly nggak keberatan, sih.”
Mbak Welly : “Oalah siap! Gimana gimana, Dek? Siapa tau aku bisa bantu.”
Saya : “Jadi, aku tuh ada tugas dari komunitas menulisku, Mbak, buat wawancara tentang dampak pandemi terhadap pekerjaan seseorang, gitu. Kebetulan nih kita habis diskusi, jadi sekalian aja aku pilih Mbak Welly jadi target aku.” (Pakai emoji senyum lebar, gitu.)
Mbak Welly : “Wkwkwk. OK bisa, Dek. Sebagai apa ini, pendamping desa budaya, ya?”
Saya : “Iya, Mbak.”
Mbak Welly : “Boleh, deh. Apa aja pertanyaannya? Sini aku jawab.”
Saya : “Mbak Welly, boleh dong diceritain dulu tugas pendamping desa budaya itu apa aja. Biar pembacaku punya gambaran. 😁”
Mbak Welly : “Secara garis besar, tugas pendamping desa budaya itu mendampingi kegiatan yang dilakukan di masyarakat yang berkaitan dengan unsur kebudayaan, seperti adat tradisi, bahasa sastra dan aksara, kesenian, kerajinan, permainan tradisional, kuliner, pengobatan tradisional, dan penataan warisan budaya. Selain itu, kita juga mendata jenis kegiatan di masyarakat dan juga menjalankan tugas dari Dinas Kebudayaan DIY yang menggunakan dana fasilitas dari Danais, seperti acara upacara adat, pentas di Selasa Wagen, pentas bandara, dan pentas gelar potensi.”
Saya : “Ah, I see. Kalau untuk yang menaungi pendamping desa budaya ini siapa, Mbak?”
Mbak Welly : “Dinas Kebudayaan DIY, Dek. Pakai sistem kontrak 2 tahun. Nanti ada pendaftaran lagi setiap 2 tahun sekali, pendamping lama atau calon pendamping baru harus mengulang dari awal.”
Saya : “Setelah aku cermati, pekerjaan ini lebih sering terjun ke lapangan ya Mbak?”
Mbak Welly : “Bener, Dek. Kita tenaga teknisnya yang di lapangan.”
Saya : “Menarik banget pekerjaan ini. Terus, gimana dampak pandemi ini terhadap pekerjaan Mbak Welly?”
Mbak Welly : “Secara pekerjaan memang sangat berdampak, karena sebagai pendamping seni budaya ngerasain banget kalo kegiatan kebudayaan di awal pandemi seperti mati.”
Mbak Welly : “Eh Dek untuk dampak ke penghasilan iya nggak ini? Hahaha.”
Saya : “Iya dong, Mbak. Diceritain ya… 😅”
Mbak Welly : “Untuk penghasilan, karena pendamping desa budaya merupakan tenaga teknis yang bekerja di lapangan, pernah mengalamai keterlambatan pembayaran karena Danais dialokasikan untuk penanganan COVID19.”
Saya : “Wah berapa lama Mbak nungguin cairnya?”
Mbak Welly : “Nggak lama kok, Dek. Setelah itu terus dibayarkan sesuai dengan gaji biasanya.”
Saya : “Hmm syukur Alhamdulillah deh. Emang pas awal-awal itu kebanyakan dana/RAB baru difokuskan buat penanganan COVID. Organisasiku juga ngerasain, Mbak.”
Saya : “Nah, kalo pas pandemi gini kan acara-acara budaya banyak yang mandeg ya, seperti yang Mbak Welly jelasin tadi. Terus seperti apa kegiatan pendampingan desa saat ini, Mbak?”
Mbak Welly : “Ya itu, Dek! Tahun 2020 karena awal pandemi, pendamping desa budaya jarang ada kerja lapangan atau mendampingi kegiatan langsung. Tetapi kita mengupdate data ataupun profil budaya dari desa dampingan. Setelah adanya pelonggaran kegiatan, kegiatan berjalan kembali dengan sistem daring/virtual. Buat tahun 2021 ini pendampingan berjalan jauh lebih normal, kita bisa menginput data kesenian di web desa budaya, pembaharuan data dan profil desa budaya, sama persiapan beberapa event daring yang sudah diagendakan di 2021 ini.”
Saya : “Oh pembaruan profil desa budaya kayak yang kemarin Mbak Welly kerjain itu ya? Itu udah selesai kah, Mbak? Hehe…”
Mbak Welly : “Iya, Dek. Tinggal ngisi suara buat video yang kemarin. Lha wong si Fian baru bikin yang buat promosi wisata.” (Fian, salah satu pemuda kami yang sangat berpengaruh di desa.)
Saya : “Iya, ya Mbak. Wah aku udah nggak bisa bantu lagi, itu. Kan finalnya ada di Mbak Welly.”
Mbak Welly : “ Gapapa, Dek. Udah banyak bantu juga kamu. Wkwk. Mudah-mudahan nanti cepetan selesai.”
Saya : “Amin deh Mbak. Oiya, kemarin pas terakhir ketemu di balai, Mas Rio sempet cerita kalo Mbak Welly yang tugas upload info-info potensi desa di Instagram, apa itu termasuk kegiatan pendamping desa budaya pas pandemi saat ini, Mbak?” (FYI, Mas Rio adalah pendamping desa budaya kami selain Mbak Welly, sekaligus merupakan seniman dan abdi dalem Keraton Yogyakarta)
Mbak Welly : “Iya itu termasuk, Dek. Tapi ini belum upload lagi.. Wkwk.. Soalnya baru sibuk input data ke web desa budaya.”
Saya : “Aaah pantesan, aku lihat belum ada pos terbaru lagi. Omong-omong, Mbak Welly jadi pendamping desa budaya sejak kapan, sih? Terus selama ditempatkan di Gilangharjo, menurut Mbak Welly desa kami ini gimana, Mbak? 😆”
Mbak Welly : “Aku sejak 2017 jadi pendamping desa budaya, Dek. Tahun 2020 di Gilangharjo dan tahun ke-2 ini juga di Gilangharjo lagi. Untuk Desa Gilangharjo ini termasuk desa yang lengkap kebudayaannya. Masyarakatnya aktif, pengurus juga aktif jadi ketika ada kegiatan tidak begitu sulit untuk mengkoordinasikan. Jarak tempat pendampingan juga sekarang lebih dekat, beda dengan dulu.”
Saya : “Wah udah lama juga, ya. Okey Mbak, pertanyaan terakhir nih, biar nggak kepanjangan, hehe.. Sebagai pendamping desa budaya pasti ada rasa prihatin ya Mbak untuk para pekerja seni, secara mereka kan yang dulunya pentas dan punya pemasukan, sekarang jadi harus banting stir ke pekerjaan lain karena sepi job. Harapannya apa mba buat mereka selama masa pandemi ini, juga buat pekerjaan Mbak Welly sendiri di Gilangharjo?”
Mbak Welly : “Ya pasti prihatin, Dek. Karena mayoritas teman seprofesiku pun selain jadi pendamping juga jadi seniman. Mereka biasanya tiap hari bisa dapatin minimal 1 job. Terus tiba-tiba sepi begini pasti juga sangat berdampak di finansial keluarga, apalagi kalau pendamping desa budaya itu laki-laki yang sudah menikah. Selain pendamping, seniman yang benar-benar mendedikasikan diri untuk dunia seni pun mengalami penurunan pendapatan, nggak jarang yang banting setir untuk berjualan ataupun usaha lainnya.”
Mbak Welly : “Kalau harapan selama di Gilangharjo, semoga bisa melengkapi apa yang masih kurang, sehingga kelak Desa Gilangharjo ini bisa menjadi sempurna. Duh, bener-bener wagu nih kata-katanya.”
Saya : “Ya ampun enggak ya, Mbak. Detail banget jadi tinggal copy-paste, deh. Hehehe. Aku terima kasih banget lho ini Mbak Welly udah mau direpotin. Thanks, Mbak.”
Mbak Welly : “Sama-sama, Dek. Let me know kalo ada yang kurang, ya.”
Saya : “OK, Mbak.”
(Percakapan pun berakhir dengan stiker Kim Seonho dengan kedua tangannya membentuk K-heart.)
Selama masa pandemi yang sudah berlangsung lebih dari setahun ini, acara-acara budaya memang yang paling saya rindukan adanya kembali. Entah menonton pertunjukan seni ataupun terjun langsung sebagai panitia /volunteer acara. Senang rasanya berada di tengah keramaian, telinga banyak mendengarkan cerita baru dan mata menyaksikan sesuatu yang belum pernah terbayang di kepala. Jujur saja, kerinduan saya melebihi kerinduan akan kegiatan pendidikan dengan sistem tatap muka. Saat ini saya sudah mulai membiasakan diri menerima pelajaran yang disampaikan melalui aplikasi Zoom, namun berbeda dengan acara-acara kesenian tradisional yang divirtualkan. Rasanya aneh dan kurang meriah, walaupun saya mengapresiasi penuh para seniman yang telah bekerja keras menampilkannya. Di samping itu, sedih sekali mendengar kabar bahwa banyak seniman kehilangan job mereka.
Semoga saja pandemi ini lekas usai, sehingga acara-acara seni budaya yang menghibur dan mengedukasi masyarakat dapat dipentaskan kembali.

Istilah:
• Danais : Kependekan dari Dana Keistimewaan. Danais adalah dana khusus yang dialokasikan untuk DIY sesuai status sebagai daerah istimewa merujuk UU Nomor 13 Tahun 2012.
• Selasa Wagen : Atau Selasa Wage, hari di mana pedagang di kawasan Malioboro Yogyakarta libur dan tak ada kendaraan yang lewat. Biasanya Selasa Wage diisi dengan kegiatan kebudayaan atau olahraga.
• Pentas bandara : Pentas seni yang dilakukan oleh desa budaya di bandara.
• Gelar potensi: Maksudnya adalah gelar potensi desa/kalurahan budaya di Yogyakarta. Kegiatan ini adalah wadah bagi desa/kalurahan budaya untuk mengenalkan budaya lokal atau potensi daerah mereka kepada masyarakat luas, seperti produk kesenian, kuliner, hasil pertanian, kerajinan, UMKM unggulan, dan lain-lain.
Saya juga senang kalau melihat pertunjukkan budaya. Seru, meriah, kaya karya.
Menjadi pendamping budaya itu mesti memiliki pengetahuan yang luas juga ya, Salut buat Mbak Welly. Selain ramah, ia juga terkesan cerdas
btw, wagu apa artinya ya?
LikeLiked by 1 person
Iya betul, orang-orang yang mampu berpikir cepat juga karena langsung menangani pekerjaan di lapangan.
wagu di sini artinya aneh karena dinilai ada yang tidak sesuai/janggal.
LikeLike