
Profesor yang satu ini memang ada kesan tersendiri bagiku. Bagi teman-teman adalah adanya kemiripan nama yang tak jarang memanggilku dengan nama beliau. Untung tidak ada yang berani memanggil beliau dengan namaku. Ketika itupun aku enjoy saja, tidak protes tapi juga tidak secara langsung mengiyakan. Biarlah berjalan alamiah saja.
Aku memang dekat dengan profesor. Bukan karena kemiripan nama. Aku mahasiswanya yang terakhir. Benar-benar terakhir, karena tidak ada lagi mahasiswa yang menjadi bimbingan beliau hingga akhir hayat.
Ketika aku berencana mengajukan topik penelitian skripsi, teman-teman banyak yang menyayangkan. Satu alasan yang justru membuatku bertanya-tanya dan sekaligus ingin segera membuktikan. Beberapa tidak yakin kalau profesor masih mau menerima mahasiswa untuk dibimbing skripsinya, ini argumen dari adik angkatan yang kebetulan ditolak usulannya dan disarankan untuk dibimbing oleh dosen lain. Teman seangkatan ada yang bercerita sangat panjang prosedurnya untuk disetujui oleh profesor, dan kita harus siap dengan segala macam pertanyaan.
Saat aku sendiri menghadap profesor, ternyata tidak ada satupun pertanyaan yang dilontarkan. Hanya berbekal sebuah jurnal penelitian dan cerita mengapa mengajukan topik tersebut. Memang, aku mengenal dengan baik lokasi yang kurancang untuk penelitian karena pernah tinggal selama dua bulan menjalani kuliah kerja nyata. Tinggal di rumah Pak Kadus, akrab dengan seluruh anggota keluarganya. Bahkan tak jarang diminta pemilik rumah untuk menemani ngobrol di depan perapian, tak peduli teman-teman sedang ngumpul di depan televisi.
Dan juga kusampaikan keterbatasan literatur yang menjadi hambatan utama.
Beliau tidak bertanya juga tidak berkomentar. Kalimat berikutnya benar-benar membuatku semakin tak mengerti. Beliau menyarankan untuk segera mengajukan secara resmi ke komisi skripsi. Dalam ketidakmengertian, kutanyakan siapa nanti yang akan jadi pembimbing. Subhanallah, beliau sendirilah yang akan membimbingnya, meskipun secara teknis pembimbing kedualah yang lebih banyak berperan.
Tidak banyak teman-temanku yang tahu mengapa, profesor mau memjadi pembimbingku. Hanya sedikit yang tahu kalau sebenarnya aku pernah menjadi mahasiswa tunggal bagi profesor. Kuliah di kantornya, sambil mengobrolkan apa saja, sesuatu yang tidak pernah terjadi dengan teman-temanku. Memang sangat sedikit mahasiswa yang bisa dekat dengan beliau, seperti apa yang pernah profesor tanyakan padaku: ”mengapa tidak ada mahasiswa yang mau dekat denganku”. Menurutku, mereka segan sama profesor.
Hubungan mahasiswa dosen yang cukup unik. Kalau aku tidak bisa hadir maka semaksimal mungkin meminta ijin untuk tidak hadir. Hal yang sebaliknya jika profesor ada keperluan maka sehari sebelumnya memberitahukan bahwa kuliah ditiadakan.
Aku benar-benar menjadi mahasiswanya yang terakhir. Sebelum skripsi disetujui oleh profesor untuk seminar, beliau benar-benar telah meninggalkan kami semua. Ada serangan komplikasi yang berakhir dengan meninggalnya beliau. Meninggalkan beberapa mahasiswa yang belum kelar skripsinya.
Simpati banyak mengalir kepada kami mahasiswa bimbingannya. Komisi skripsi segera merekomendasikan pelimpahan tugas. Sayangnya ada satu kakak angkatan yang ketika aku disuruh melacaknya, agar bisa segera selesai tidak mendapatkan jejaknya. Satu lagi teman akrab teman seangkatan sekarang menjadi dosen di luar Jawa.
Kemiripan nama teryata memiliki berkah juga. Dipampang di papan pengumuman mahasiswa bimbingan profesor untuk segera mengurus administrasi pengalihan bimbingan. Sudah pasti mahasiswa angkatan lain lebih mudah mengingat namaku daripada teman-teman sepembimbingan. Simpati mengalir bahkan dari angkatan yang cukup jauh, yang tidak banyak kukenal.
Simpati pun sangat terasa ketika mempresentasikan hasil penelitian dalam seminar. Ruangan hampir penuh oleh mahasiswa. Lintas angkatan. Di samping faktor judul yang kutawarkan sangat asing dan merangsang rasa penasaran terutama angkatan yang lebih muda.
Dalam postingan ini kuucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada profesor, Bapak Imam Widiono, pembimbing berikutnya yang juga pergi sebelum aku menyelesaikan skripsi karena harus segera berangkat ke Jerman untuk kuliah lagi. Tak lupa pula rasa terima kasihku kepada Bapak Heri Pratiknyo yang meminta waktu semalam, untuk melihat-lihat skripsiku sebelum maju seminar. Untuk Pak Darsono yang banyak membimbingku sejak kerja praktek hingga menjadi sarjana. Dan tak lupa ibuku (pembimbing akademik) Ibu Hexa yang dengan banyak bicaranya memacu semangat untuk segera menyelesaikan studi.
Untuk sahabatku Muhamat, selamat dan sukses selalu jangan lupa kembali ke kampus, mahasiswanya sudah menunggu. Jangan lama-lama di Yogya.
lanjut S3, mas
LikeLike
dah mentok sepertinya, ga sanggup biayanya
LikeLike
Semangat, Pak Narno! Semangat menyambung S3.
LikeLike
hehehehe, belum kepikiran, anak tiga tahun lagi juga kuliah
LikeLiked by 1 person
Wah, benar juga Pak. Kalau anak persiapan akan kuliah, orang tua biasanya akan mengurungkan niat untuk melanjutkan lagi. Anak yang menjadi prioritas di sini.
Sehat terus, Pak.
LikeLiked by 1 person
betul
LikeLiked by 1 person