
Ketika kali pertama istri kuajak ke kampung halaman di Wonogiri ia sangat senang. Maklum ia jarang sekali menginjakkan kaki di desa. Ia terlahir dari keluarga Betawi atau kelahiran Jakarta. Kota Jakarta sebagaimana kita tahu sudah tak banyak memiliki area persawahan, hutan dan sungai. Jakarta kini dipenuhi dengan beton-beton, aspal dan gedung-gedung bertingkat. Lapangan, rawa-rawa, kebon-kebon sudah banyak disulap menjadi perkantoran, perumahan dan real estate.
Maka saat ia aku bawa ke kampung, istriku seolah terkenang dengan masa-masa kecilnya dahulu. Saat itu perkampungan Betawi masih banyak tanah-tanah kosong, pohon-pohon yang tinggi, rawa-rawa, empang dan area bermain.
Di Wonogiri ia begitu menikmati pemandangan sepanjang jalan. Melewati Waduk Gajah Mungkur yang terkenal itu ia terpesona. Kuceritakan asal mula waduk yang dulunya adalah puluhan desa yang penduduknya diberangkatkan ke area transmigrasi di Sumatera dan Kalimantan. Aku tunjukkan sekolah-sekolahku yang dulu. Mulai dari SD, SMP dan SMA yang semuanya di Wonogiri. Sambil sesekali aku menyelipkan kalimat-kalimat berbahasa Jawa saat menceritakannya dengan harapan istri mulai biasa mendengar perbendaharaan bahasa Jawa.
***
Suatu kali saat berjalan-jalan di seputaran desa, kami berhenti sejenak di rumah tetangga. Kami berpapasan dengan pemilik rumah di halaman yang biasa orang-orang lewati. Halaman rumah di kampung memang seperti itu. Orang-orang biasa melewatinya karena halaman itu juga berfungsi sebagai jalanan umum.
“Iki Mas Heri, yo?” sapa temanku yang dulu pernah duduk di sekolah SD yang sama. Istriku yang belum banyak memahami bahasa Jawa hanya senyum-senyum saja. Sebenarnya sedikit-sedikit paham hanya saja belum bisa membalas ucapan lawan bicara. Aku juga tersenyum gembira saat bertemu dengan temanku itu.
“Pripun, kabare?” sambungnya lagi. Sesekali temanku menatap istriku sembari tersenyum ramah.
“Alhamdulillah, sae, Mas,” Jawabku. Sebelum melanjutkan pembicaraan lain, aku memperkenalkan mas Tono ke istri.
“Ini temen SD Ayah dulu, Ma,” kataku memperkenalkan. “Namanya mas Tono. Tadi dia nanya Ayah, bagaimana kabarnya. Ayah bilang, kabarku baik-baik saja.”
“Iya, Yah. Mama ngerti.”
“Iki bojoku, Mas Tono,” lanjutku.
“Oh iyo,” jawab mas Tono. Lalu mas Tono mengalihkan pandang ke istri sambil bertanya. “Asmanipun sinten?” Istriku agak bingung ditanya dengan bahasa Jawa yang sedikit halus.
“Ma, Mas Tono ini bertanya, Mama namanya siapa?”
“Oh, Fitri,” jawab istriku.
“Piyantun pundi, Mbak Fitri niki?” tanya mas Tono lagi.
Aku jelasin ke istri. “Mas Tono tanya, Mama orang mana atau dari mana asalnya?”
“Dari Betawi,” jawab istriku singkat.
“Ooo… wong Betawi, to,” mas Tono menanggapi sambil manggut-manggut. Mungkin karena ia biasa mendengar kata Betawi karena banyak orang-orang di desaku berjodoh dengan orang Betawi.
“Lha, mbok monggo pinarak rumiyin, Mas Heri dan Mbak Fitri,” ucap mas Tono. Aku menoleh ke istriku.
“Mas Tono ngajak kita mampir, Ma. Monggo pinarak rumiyin itu artinya, ayolah mampir dulu,” kataku pada istri, menuntunnya memahami bahasa Jawa.
“Oh, terima kasih. Mungkin lain waktu saja, Yah. Kita jalan-jalan dulu,” kata istriku.
“Lha, bade tindak pundi to niki?” tanya mas Tono lagi.
Aku kembali mengajari istriku. “Ma, ditanya tuh, bade tindak pundi. mau pergi ke mana?”
“Jalan-jalan, Mas,” jawab istriku.
Istriku lalu berbisik kepadaku. “Yah, kalau terima kasih apa bahasa Jawanya? Kita lanjut jalan saja dulu, ya?”
“Matur nuwun. Kalau terima kasih banyak, matur nuwun sanget,” jawabku dengan berbisik pula dan mendekatkan ucapanku ke telingannya. Mas Tono senyum-senyum saja melihat kami sedang kursus kilat bahasa Jawa.
“Matur nuwun sanget, Mas Tono,” jawab istriku sembari menangkupkan kedua telapak tangannya dan mendekatkannya di depan dada. Maksud kami menghargai ajakan mas Tono mampir. Tetapi kami masih ingin melanjutkan jalan-jalan terlebih dahulu.
“Ngapunten, nggih Mas Tono. Dinten sanes kemawon kulo mampir,” sambungku. Aku kembali membisikkan ke telinga istriku. “Ayah tadi bilang, maaf belum bisa mampir. Lain waktu saja ya, Mas Tono?”
Oh, begitu, gumam istriku sambil manggut-manggut.
“Oh, nggih Mas Heri menawi mekaten. Sugeng tindak,” ucap mas Tono.
Kami pun akhirnya melanjutkan perjalanan. Di perjalanan istri masih antusias menanyakan percakapan terakhir. “Yang terakhir tadi apa maksudnya, Yah?”
“Maksudnya, Oh ya gak apa-apa kalau begitu , Mas Heri. Selamat menikmati jalan-jalannya.”
Hari itu menjadi sesi kursus bahasa Inggris perdana buat istriku. Kursus langsung praktek ke nativenya. Setelah itu, perbendaharaan bahasa Jawa istri kian hari kian bertambah. Dan selama satu minggu di Jawa, ia sudah mulai pede bercakap-cakap bahasa Jawa dengan eyang putri.
***
Kalau ingat Wonogiri saya ingat Mie Ayam, MasHP. Hehe
Btw, pada pos ini penulisan ‘mas atau mbak’ banyak yang ditulis kecil pada huruf M. Seharusnya ‘Mas dan Mbak’. Ada juga satu ‘ayah’ yang seharusnya ditulis ‘Ayah’ karena menunjukkan kata panggilan kekerabatan.
“Sae,” alhamdulillah, sae, Mas. Jawabku. (pada kalimat ini tanda bacanya ada yang keliru penempatannya)
real estate dicetak miring ya
LikeLike
Ok Kang. Thx, nanti kuperbaiki.😁
LikeLike
jadi kangen kampung halaman
LikeLike
Kursus gratis nih di sini,😀
LikeLiked by 1 person
Yes, Ito. hehe.
LikeLike
Waah, wonogirinya mana nih? Saya juga sekarang jadi warga Wonogiri dan tinggal lumayan dekat dengan Waduk Gajah Mungkur. 😀
LikeLiked by 1 person
Wah, jadi warga Wonogiri. Dekat Kabupaten ya Kak?
Aku di Manyaran, tepatnya kelurahan Kepuhsari Kak.
Tapi sekarang tinggal di Depok, Jawa Barat. 😀
LikeLike
Enggaa, saya jauh dr kabupatennya. Saya di Wuryantoro 😅
LikeLiked by 1 person
Kalau pulang saya lewatin. Sudah pernah ke Manyaran? Udah masuk perbatasan Jogja dan Klaten kalau sampai ujung.
LikeLike