Rasa rindu itu tak terbatas. Seseorang bisa merindukan orang lain, bahkan kepada orang yang bukan keluarga atau kekasihnya. Kini rindu itu membesar ibarat gulungan bola salju yang turun dari puncak hingga kaki gunung. Wak Kecik adalah orang yang bertanggung jawab atas semua ini.
Sudah tiga bulan aku tidak mengunjungi warung kopi miliknya. Memang kalau belum ditakdirkan bertemu, manusia tak akan bisa saling bertemu. Seperti sekarang, ketika aku dan kawan-kawan dari komunitas bloger berencana pergi ke sana, basecamp favorit dan ternyaman kami. Namun rencana itu sirna ketika dering ponsel terdengar dari kamar. Aku bergegas mengambilnya. Wak Kecik mengabariku soal rencana perjalanannya menuju Tarakan. Adiknya, Hilman akan melangsungkan pernikahan di sana.
“Hanya dua hari, boi,” ucapnya pendek.
Usai menutup sambungan telepon, langsung kubuka aplikasi chat dan memberikan pesan kepada semua member komunitas tentang tutupnya Warung Kopi Wak Kecik. Sebagian ada yang menyayangkan hal ini. Sebagian lagi memandang maklum. Kemudian setelah diskusi kecil, kami sepakat untuk tetap bertemu secara virtual. Pukul setengah sembilan malam nanti kami akan melakukan video conference.
###
Waktu yang dinanti tiba. Malam itu tak semua member bisa hadir. Sibuk menjadi alasan nomor satu. Hanya ada 7 orang yang bisa berkumpul secara daring (online). Ada Mommy Sondang yang sedang memegang ponselnya di sofa. Bak ratu Inggris, ada dua orang dayang di sampingnya. Tak lain dan tak bukan adalah anaknya. Mereka bergantian mengambil perhatian kami. Ada yang memainkan bibirnya dan menimbulkan suara. Mungkin idenya biar mirip seperti beatbox. Yang satu lagi memain-mainkan rambut sang ratu.
Lalu ada Mas Narno yang memasang wajah datar setelah menyapa ‘halo’. Ia memakai kaus putih berkerah dengan lambang ceklis di dada kanannya. Di layar sebelahnya ada Frida yang belum mengaktifkan video. Hanya ada suaranya. “Bentar, Kak. Aku pakai kerudung dulu,” teriaknya polos.
Kemudian ada Bu Dian yang sudah stand by di meja kerjanya. Dia bilang sedang membaca buku karya Agatha Christie selepas Isya. Di sebelahnya ada Rifi yang terlihat sumringah sebab di bulan kemarin sudah lulus kuliah. Semoga dia tetap semangat walau dihadapkan pada kenyataan bahwa mencari kerja itu tidaklah mudah.
Terakhir ada Imas sebagai narasumber malam itu. Dia member baru yang akan berkenalan dengan kami. Sebelum acara ini dimulai Imas memberitahu betapa gugupnya dia malam itu. Dan setelah semuanya siap, acara malam itu dimulai.
###
“Nama saya Imas Tuti, biasanya dipanggil im atau imas atau mas. Lahir di Subang dan sudah menetap lama di Batam sejak 2004. Dulu hobi saya menggambar dan membaca, sekarang lebih kepada membangun diri kembali melalui membaca dan menulis. Dan kesibukan sekarang mengajar, ikut organisasi, dan berusaha memproduktifkan diri,” tutur Imas mengawali obrolan.
“Mengajar di sekolah mana?” tanyaku penasaran.
“Sekolah Animasi Bina Nusantara Batam. Khusus SMK, pelajaran Animasi.”
“Pintar buat animasi dong. Keren! Aplikasi software apa saja sih yang biasa Imas gunakan untuk membuat animasi?”
“Saya masih dasar, Kak. Belum expert. Aplikasi yang digunakan Adobe Flash dan Blender.”
“Oh iya, gimana ceritanya dari mojang Subang tiba-tiba terbang lintas pulau? Pernah nyeberang ke Singapura?”
“Saya ikut orang tua dari kecil. Mencari kehidupan baru istilahnya. Saya belum pernah ke Singapura. Semoga suatu saat bisa ya.”
“Imas sebagai mojang Sunda, tiasa nyarios basa Sunda?”
“Ngerti sedikit wae, Kang. Saalit-saalit. Udah kebiasaan pakai bahasa Batam sekarang. Dari umur 9 tahun sudah tinggal di sini.”
Mommy Sondang turut memberikan pertanyaan, “Ternyata animasi ada bidang studi juga ya. Duh, aku ketinggalan zaman. Omong-omong, aku baru sekali ke Batam. Itu Di Batam di mananya? Sudah berkeluarga, Imas? Sorry, aku nanya hal yang pribadi.”
“Di daerah Sekupang. Di Batam, saya tergolong masih sangat baru, Kak. Saya masih jomblo fi sabilillah, karena produktif saya merasa masih seperti remaja. Hehehe …”
“Saat ini, sebenarnya bisa menguasai animasi ini besar peluangnya ya. Sepertinya di mana-mana sekarang butuh tim kreatif. Apalagi medsos diberdayakan. Bahkan kantor-kantor pemerintahan pun sudah banyak yang mempekerjakan tim kreatif gitu.”
“Iya itulah, kalau memang sudah ahli di bidang animasi bakal diberdayakan dan gaji itu bisa tinggi bukan per bulan lagi hitungannya tapi per job. Sama kayak gaji programmer, dan sederajatnya kayak desain UI/UX,” tuturnya.
Mas Narno melambaikan tangan membuat semua perhatian tertuju kepadanya. Secangkit kopi hitam sudah tersaji di atas meja. Sepertinya dia sedang berada di ruang tengah. Terlihat beberapa anggota keluarganya hilir-mudik melintas di belakang. Lalu Mas Narno bertanya tentang bagaimana cara Imas mengatur aktivitas yang beraneka ragam tapi masih sempat bisa menulis.
Imas mengatakan bahwa sebetulnya ia masih berusaha membagi waktu dengan baik. Bisa dibilang menulis itu adalah self healing bagi diri selepas kesibukannya bekerja seharian.
“Mbak Imas buka jasa bikin animasi gak? Atau desain seperti pamflet dan lain-lain?,” tiba-tiba Frida muncul di layar. Kali ini dia sudah rapi berpakaian.
“Saat ini belum. Saya hanya membuat jasa desain, karena sebetulnya itu passion saya. Menjadi guru animasi termasuk masih baru setahun ini, karena mengambil peluang. Contoh desain karya saya bisa dilihat di Instagram.”
“Wah boleh tuh. Kapan-kapan saya pakai jasa desain Mbak Imas. Saya di organisasi sering ada kegiatan yang butuh pamflet. Tapi teman-teman banyak yang sibuk jadi tak ada yang bisa membuatnya.”


“Saya cek Instagramnya. Karya-karyamu bagus, Imas,” puji Bu Dian.
Aku pun penasaran. Cepat-cepat mengambil ponsel dan membuka Instagram dan mencari akunnya Imas. Dan benar yang dikatakan oleh Bu Dian. Selanjutnya giliran Bu Dian yang bertanya. Sepertinya sedari tadi dia sudah gemas ingin mengajukan pertanyaan. Dia bertanya tentang siapa penulis favorit Imas.
Penulis favoritnya adalah Ahmad Rifa’i Rifan, Solikhin Abu Izzudin dan Salim A Fillah. Dia bercerita pernah mengikuti acara bedah buku Ahmad Rifa’i. Dan Ahmad Rifa’i pernah berkunjung ke kampusnya, Politeknik Negeri Batam, untuk membahas buku kepenulisan seperti buku Generasi Menulis dan Generasi Emas.
Menurutmya, penulisan Ahmad Rifa’i sederhana tetaoi begitu ngena secara halus ke hati sehingga bisa banyak introspeksi diri. Saat ini ia juga sedang membaca buku karya Solikhin Abu Izzudin yang berjudul Spiritual Problem Solving. Meskipun bahasanya kadang-kadang masih ada yang belum dia paham, tapi bukunya bagus untuk membantu seseorang berpikir tentang solusi dalam Islam.
Kedua nama penulis itu belum familiar bagiku. Yang kutahu baru Salim A. Fillah. Buku pertamanya yang kubaca dulu saat SMA yaitu Agar Bidadari Cemburu Padamu. Sepertinya setelah ini akan ada banyak buku baru yang masuk ke dalam daftar bacaan tahun ini.
“Bagaimana awal mulanya tertarik sama menulis?” Rifi angkat bicara. “Boleh ketertarikan secara umum, atau awal mulai ngeblog.”
“Hobi menulis itu sebenarnya sudah ada sejak kecil. Saya pernah buat cerpen sewaktu SD, namun sejak masuk SMP dan SMA hobi itu menurun karena fokus belajar. Nah, saat saya masuk kuliah baru terpikir dan tergerak belajar nulis dari awal lagi.”
Dan obrolan kami malam itu berlanjut. Membahas ini dan itu hingga cerita Imas tentang pengalamannya mengikuti challenge menulis.
Imas mengikuti tantangan bernama 30 Days Writing Challenge (DWC). Sudah tiga kali dia mengikuti event ini. DWC bagus bagi penulis pemula. Pada kesempatan pertama, Imas sudah merasakan krisis ide tulisan dan writer block tapi tantangannya masih bisa ia selesaikan hingga akhir. Ia bisa seperti itu karena ada sistem yang ketat. Di kesempatan kedua dia gagal pada hari ke-22. Di kesempatan yang terakhir, Imas mencoba untuk mengubah tujuan supaya bisa tetap bersemangat. Seperti sebuah saran dari mentornya yang mengatakan bahwa setiap ide muncul di otak maka penulis harus langsung menuliskannya. Minimal poin-poin atau garis besarnya supaya ide segar itu tidak segera terlupakan.
Terakhir, Imas memberikan kesan-kesan selama bergabung di komunitas bloger Ikatan Kata. Dia bertutur, “Kesannya ketika saya membaca tulisan teman-teman itu keren dan bagus. Saya terpacu untuk membuat hal yang sama. Saya juga tergolong baru pulih kembali menggunakan WordPress. Terakhir pas SMP dulu ada belajar tentang blog. Jadi sekarang masih berharap ke diri sendiri sih, biar bertahan di sini bersama Para Pengikat Kata dan tetap konsisten menulis.”
###
Temukan keseruan obrolan Para Pengikat Kata di WKWK