Ini adalah secuil cerita dari perjalanan menuju Cagar Alam Kawah Putih Tinggi Raja. Sebenarnya ada rute yang lebih dekat menuju tempat yang akan kami kunjungi. Namun suara terbanyak memilih agar kami lewat dari rute yang jauh.
Dikatakan jauh karena waktu yang dihabiskan menjadi 2 kali lipat lebih lama. Namun ada nilai plus yang didapat bila kami lewat rute ini.
Selain kondisi jalan yang lebih bagus, kami akan menikmati pemandangan hijau yang beraneka, antara lain menyaksikan gunung, persawahan, perkebunan dan pertanian dengan ragam tanaman yang menyejukkan mata.
Ketika memasuki kecamatan Dolok Silau, tepatnya daerah Saran Padang, kami disuguhi pemandangan berupa hamparan ladang nenas. Sepanjang mata memandang yang tampak adalah ladang nenas.
Melewati sebuah ladang yang kebetulan sedang panen, seorang teman meminta untuk singgah. Dia ingin membeli nenas langsung dari petani. Namun sempat ragu karena takut tidak bisa berkomunikasi dengan penduduk setempat.
Daerah Saran Padang ini masih dalam wilayah Kabupaten Simalungun dan pastinya penduduk asli menggunakan Bahasa Simalungun untuk komunikasi sehari-hari. Kebetulan dalam perjalanan kali ini, kami berasal dari berbagai etnis yang berbeda. Dari Suku Batak Simalungun hanya aku sendiri. Jadi teman-teman minta tolong supaya aku menjadi juru bicara dan penerjemah nantinya.
Saran Padang ini sudah berbatasan dengan Kabupaten Karo, jadi bahasa Simalungun di sini sebenarnya agak berbeda dengan bahasa Simalungun kami dari Pematang Raya, tetapi secara harfiah masih sama.
“Horas, Bapa, Inang.”¹ Kami pun menyapa si empunya ladang dengan sapaan “Horas”, sapaan kebangsaan orang Batak, termasuk kami Simalungun.
“Horas!” jawab mereka. Ada tiga orang di ladang tersebut, dua lelaki dan satu perempuan. Sepertinya mereka satu keluarga.
“Anas nassiam do on, Nang?”² Aku pun membuka percakapan.
“Ai do. Ai boru aha do gatni Ham? Mase ibotoh Ham marbahasa Simalungun?”³ Mereka balik bertanya.
“Au Boru Saragih. Par Raya do anggo orang tua. Hanami on rombongan na sahorja do, han Siattar.”⁴ Aku pun mendekati si ibu yang sedang mengepak nenas ke dalam keranjang. ” Na ididah hanami do nokkanai panen nassiam. Boi do iboli hanami?”⁵
“Boi, Mase lang?”⁶ sahut si ibu lagi.
Aku pun memberitahu temanku, bahwa boleh membeli nenas tersebut. “Tanya harganya ….” ujar temanku.
“Sadia hargani, Nang?”⁷ Aku pun bertanya lagi.
“Mangidah baggalni do. Na baggal ai, sapuluh ribu. Itoruhni marlima ribu.”⁸
“In, Mase mahal, Nang? Tapi domma han juma ni langsung.”⁹
“Lang musim ge sonari, halani ai do naik hargani ai ….”¹⁰ ujar si inang lagi.
Aku pun memberitahu teman-teman, bahwa harganya agak mahal karena sekarang sedang tidak musim.
“Tanya lagi, lho …. Kalau membeli banyak, ada kurangnya nggak?” pinta temanku.
“Lang hurang be ai, Nang? Hurangi ham ma ge. Laho mambuat Bahat do hanami.”¹¹ Aku pun mencoba menawar harga.
“Eheh, naha ma nikku? Sonai ma na boi. Tapi anggo mambuat Bahat, boima 6 biji jadi limapuluh ribu.”¹² jawab si inang.
Aku pun menyampaikan ke teman-teman dan mereka setuju.
Kami pun diberikan kebebasan memilih dari pokoknya langsung. Teman-teman sangat senang karena mendapat kesempatan memilih sendiri nenas yang akan dibeli. Cukup banyak juga yang mereka beli.
Karena perjalanan yang akan kami tempuh masih jauh, jadi kami tidak bisa berlama-lama di ladang tersebut. Setelah memilih dan membayar serta tak lupa menyempatkan berfoto untuk dokumentasi maka kami pun melanjutkan perjalanan kembali.

Pict. Gassmom
Footnote.
- “Salam, Bapak, Ibu.”
- “Apakah (ladang) nenas ini milik Ibu?”
- “Iya. Boru apa rupanya kamu? Kenapa tahu berbahasa Simalungun?”
- “Aku Boru Saragih. Orangtua berasal dari Raya. Kami ini rombongan dari tempat kerja, dari Pematangsiantar.”
- “Kami lihat tadi lagi panen. Apakah kami bisa beli (nenas)?”
- “Bisa. Kenapa tidak?”
- “Berapa harganya, Ibu?”
- “Melihat besarnya (ukurannya). Yang besar itu sepuluh ribu. Kalau yang di bawahnya (ukuran lebih kecil) sekitar lima ribu.”
- “Wah, kenapa mahal, Ibu? Padahal dari ladangnya langsung.”
- “Bukan musimnya (musim berbuah) sekarang, makanya harganya naik ….”
- “Nggak kurang lagi, Ibu? Kurangilah. Mau mengambil (membeli) banyak kami.”
- “Wah, gimanalah kubilang? Begitulah yang bisa. Tapi kalau mau mengambil banyak, bolehlah 6 buah menjadi lima puluh ribu.”
Gassmom, 09/02/21
Asyik dah, kalau main ke sana ada yang bisa jadi tour guide nih
LikeLiked by 1 person
Bolehlah, he he he
LikeLike
Horas! 😀
btw, 6 buah bukannya 30rb ya, Ito? kalo 5rb murah bingits 😀
LikeLiked by 1 person
Kalo beli 6 jadi 50ribu Pak. Kalau beli satuan harganya 10ribu/pcs
LikeLike