Nasi Goreng Teras MJ

Hari itu hari Jumat sore.  Rasanya tidak mood masak untuk makan malam. Nasi di rice cooker tidak cukup buat 5 orang. Lauknya hanya sisa kare dan ikan jambal asin. Mau masak menu telur dan oseng buncis mikir seribu kali. Akhirnya saya menyerah pada sang mood. Saya putuskan untuk membeli nasi goreng di luar. Sekarang layanan Go Food atau Grab Delivery banyak, tapi saya masih seperti dulu. Lebih senang membeli sendiri, sekalian ganti suasana. Ke luar rumah tidak apa, yang penting ikuti prosedur kesehatan (prokes) dan tidak berlama-lama.

Saya putuskan membeli nasi goreng kesukaan anak bontot, walaupun tidak yakin warung langganan buka. Sudah lama saya tidak ke sana. Ternyata, alhamdulillah, dari kejauhan tampak warungnya terang. Benar saja, ketika didekati tampak si bapak penjual sedang duduk menunggu pembeli. Tidak seperti biasa, warungnya terlihat sepi. Biasanya saya antri 2-3 orang dulu sebelum dilayani.

Lama tidak bertemu, si Bapak langsung mengenali saya, walaupun wajah saya tertutup masker. Dua orang yang tidak pernah berkenalan nama, hanya dihubungkan oleh sebungkus nasi goreng dan tas kantong (saya selalu bawa kantong belanja sendiri). Itulah kami. Setelah memesan nasi goreng, tiba-tiba saya teringat Ketik 15. Ini kesempatan emas buat menuntaskan wawancara yang jadi tema Ketik 15. Akhirnya mulailah saya bertanya ini itu yang memang ingin saya ketahui karena lama tidak berkunjung ke warung ini.

A (atthecorner): “Lama gak buka ya, Pak?”

B (Bapak penjual nasi goreng): “Iya.”

A: “Pulang (kampung), Pak?”

B: “Iya, 2 bulan di sana (kampung).”

A: “Dua bulan, Pak? Pantas lama warung tutup. Di mana kampungnya, Pak?”

B: “Brebes.”

A: “O, Brebes. Bagaimana (situasinya) di sana, Pak? Normal?”

B: “Di mana-mana merah (maksudnya kasus covid-19). Jadi bingung.”

A: “Naik apa ke brebes, Pak? Bis?”

B: “Mobil travel, Bu.”

A: “Wah, tenang ya, langsung sampai rumah. Satu mobil berapa orang?”

B: “Empat orang. Tergantung mobilnya sih, kalau yang besar kayak ELF bisa 10 orang. Tapi kalau kecil 4-5 (orang). Sekarang cepat, sih, paling 4-5 jam sudah sampai (brebes). Kan lewat tol.”

A: “Pembeli bagaimana, Pak? Apa berkurang?”

B: “Ya, begitu deh. Lebih sepi, habis bagaimana.”

A: “Kampus masih tutup sih, Pak. Mahasiswa pada pulang ke rumahnya (note: di daerah Kelapa Dua ada kampus besar Gunadarma. Dalam keadaan normal daerah ini tidak pernah sepi. Banyak mahasiswa kos di sekitar kampus, jadi sampai lewat tengah malam para penjual makanan masih buka). Sekarang buka sampai jam berapa, Pak?”

B: “Kira-kira jam 1-an (malam). Waktu PSBB kan gak boleh (note: di awal PSBB toko-toko di Depok hanya boleh buka sampai jam 6, kemudian diperlonggar sampai jam 8, dan sekarang sudah kembali normal jam 9). Tapi sebentar lagi bakal balik ke kampung.”

A: “Jadi tahun baru ini mau di kampung. Ada pekerjaan, Pak?”

B: “Tani, Bu.” (Rupanya si bapak mengerjakan sawah, tapi saya tidak tanya apakah sawah sendiri atau milik orang lain)

A: “Yang penting sekarang sehat dulu ya, Pak.”

B: “Iya, yang penting sehat, bersih, sering cuci tangan, basuh muka.”

A: “Hehehe, benar, Pak. Sekalian wudhu.”

B: “Iya (si Bapak tampak setuju sekali). Depan kan masjid, sekalian wudhu.”

Pesanan saya sudah siap. Malam ini senang bisa bertegur sapa dan saling mendoakan dengan abang nasi goreng kesukaan anak bontot plus bonus Ketik 15. Alhamdulillah.

Catatan:

Bapak ini memang selalu memulai melayani pembeli setelah sholat magrib. Saya hafal rutinitas beliau saking setiap pulang kerja sore melewati warungnya. Sekitar jam 5 sore dia sudah menyiapkan gerobaknya. Meja dan kaca-kaca gerobak dibersihkan dengan cairan pembersih. Bahan-bahan makanan diatur rapi di tempatnya. Ketika waktu sholat maghrib tiba, dia meninggalkan warung dan pergi ke masjid. Sekitar setengah tujuh barulah ia tampak sibuk melayani pembeli. Nama warung Teras MJ diambil dari nama masjid di depannya itu: Teras Masjid Jami Al-Makmur. Semoga, seperti namanya, warung si Bapak diberi kemakmuran oleh Allah.

Advertisement

One thought on “Nasi Goreng Teras MJ

Comments are closed.