Nadiem dan Najwa

Lima bulan setelah hari wisuda kemarin, aku masih saja tak berpenghasilan. Entah sudah berapa banyak surat lamaran yang aku kirimkan, yang mana hanya beberapa saja yang berakhir dengan sesi wawancara.

Kini, aku sedang berada di hadapan kedua orang tuaku. Sudah pasti mereka akan menegurku perihal pekerjaan untuk yang kesekian kalinya.

“Kamu kurang giat saja ini! Buktinya banyak orang yang selesai kuliah langsung diterima kerja,” seru ayahku.

“Kemarin aku sudah langsung bekerja. Tapi ayah kan yang tidak mau anaknya menjadi seorang telemarketing.”

“Apa itu telemarketing? Apa kamu tidak malu dengan gelar yang kamu punya?” Ayah mulai menggunakan intonasi bicara yang tinggi.

“Kalau begitu, bolehkah bila aku berwiraswasta dulu? Aku terpikir untuk berjualan lewat sosial media,” jelasku pelan.

Ibu menatapku sinis, kemudian berkata, “lalu gelarmu sia-sia saja dong! Kamu tahu sudah berapa banyak yang telah dikeluarkan untuk biaya kuliahmu kemarin? Apa kata saudara-saudara kita nanti? Jangan bikin malu keluarga lah.”

Kepalaku segera tertuduk lesu. Sejujurnya, aku tidak mau menjadi beban keluarga seperti ini. Dan berwiraswasta adalah satu-satunya solusi sementara yang kupunya.

“Kamu harus jadi seperti Najwa Shihab atau jadi menteri seperti Nadiem Makarim. Buat bangga orang tua!” Ayahku menambahkan.

Aku terpelatuk bukan main. Mencoba mengatur nafas dan detak jantung yang semakin menggebu. Tapi apa daya, aku sudah tak sanggup lagi.

“Jika ada orang tua yang ingin anaknya menjadi seperti Najwa Shihab atau Nadiem Makarim, bolehkah jika sang anak berharap punya orang tua seperti Quraish Shihab atau juga Anwar Makarim?” Aku menjawab keduanya sambil mulai melangkah pergi.

Advertisement

3 thoughts on “Nadiem dan Najwa

Comments are closed.