Cerita Mawar di Tengah Pandemi

sumber: freepik

Tahun sudah berganti, tapi di 2021 ini pun pandemi masih setia menemani. ๐Ÿ˜…

Kondisi ini sudah ada sejak Maret 2020 lalu dan menciptakan banyak perubahan. Salah satu yang terpengaruhi atas keberadaannya adalah mata pencaharian. Dari perubahan metode kerja menjadi WFH (Work From Home), hingga status pekerjaan menjadi putus kerja.

Pada sesi wawancara ini aku melakukan tanya-jawab dengan seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang juga kenalanku. Namanya… sebut saja Mawar. Plot twist, dia adalah Mawar yang sama dengan Mawar di tulisanku yang ini. Double plot twist, beliau adalah ibuku sendiri, hahaha. Saat ini ia bekerja di sebuah kantor pelayanan pajak salah satu kecamatan di wilayah Bogor.


Suatu siang di akhir pekan, Ibu Mawarโ€•yang biasa kupanggil Mamaโ€•sedang memegang ponselnya. Mengisi sesuatu.

Rifina: “Lagi ngapain?”

Mawar: “Biasa, SAK. ” (SAK: Self-Assessment Kesehatan)

Rifina: (manggut-manggut) “Besok WFH, Ma?”

Mawar: “Iya.”

Rifina: “Yaudah, kalau gitu aku mau nanya-nanya dikit dong. Buat di blog.”

Mawar: “Nanya apa?”

Rifina: “Tentang kerjaan Mama sekarang sejak ada COVID. Mau ya?”

Mawar: “Hmm… yaudah.”

Rifina: “Oh ya, sebelumnya jelasin dulu dong, SAK tadi itu apa? Biar yang di blog nanti nggak bingung.”

Mawar: “Yaa itu kayak isian kesehatan pegawai gitu. Semua pegawai wajib isi setiap hari. Ada pertanyaan-pertanyaan yang bisa nunjukin dia gejala ringan, gejala berat, atau justru positif. Nanti dari situ akan dilakukan tindakan.”

Rifina: “Itu seingetku dari awal pandemi Mama kebagian jadi pengingatnya sampai sibuk banget nelepon temennya yang suka kelupaan isi. Sampai sekarang masih, ya?”

Mawar: “Masih, Mbak. Tiap hari, Sabtu-Minggu juga.”

Rifina: “Hmm, oke deh. Aku langsung ke intinya aja. Sebagai PNS sekaligus pegawai pajak pandemi ini memengaruhi kerjaan Mama nggak?”

Mawar: “Ya jelaslah.” (dengan nada agak sewot seolah protes, “gitu aja nanya?” ๐Ÿ˜‚)

Rifina: “Gimana pandemi memengaruhi kerjaan Mama?”

Mawar: “Gimana ya, banyak sih… tapi yang paling dipengaruhi ya jadi nggak bisa kerja di kantor gara-gara disuruh WFH. Apalagi Mama kerja di bagian kepegawaian, berurusan sama berkas pegawai. Kalau lagi urus berkas, misalnya ngurusin berkas pegawai yamg tamat belajar, dan pas lagi WFH, itu jadi ribet karena berkasnya di kantor semua.”

Rifina: “Emangnya nggak bisa minta bantuan yang WFO?”

Mawar: “Nggak bisa, yang tau berkasnya di mana kan Mama. Itu yang ribet. Kalau semisal pas lagi disuruh bikin ND (Nota Dinas) doang sih bisa cepet walau WFH, tinggal bikin di aplikasi.”

Rifina: “Nggak juga sih, kan biasa aplikasinya lelet. Aku sering lihat, hahaha.”

Mawar: “Nah itu tau, hahaha.”

Rifina: “Walaupun kondisinya begini, ada nggak sih enaknya? Sisi positifnya?”

Mawar: “Hm… paling ya kalau kerjaan lagi agak terkendala dan nggak bisa cepet jadi lebih dimaklumi. “Kan lagi WFH,” gitu, hehe. Soalnya ya itu, berkasnya di kantor semua.”

Rifina: “Kayaknya gara-gara COVID ini jadi banyak pemakluman ya, kayak aku pas skripsi kemarin juga gitu.”

Mawar: “Iya.”

Rifina: “Untuk penghasilannya gimana? Berubah nggak? Misalnya ada pengurangan gaji gitu.”

Mawar: “Alhamdulillah masih tetep. Makanya Mbak, jadi PNS. Kalaupun gajinya nggak besar, seenggaknya selalu ada pegangan tiap bulan.”

Rifina: “Iya iya, nanti daftar yaaa kalau buka. ๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚๐Ÿ˜‚ Oh iya, kayaknya belakangan ini Mama WFH mulu. Bukannya sempet sehari WFO (Work From Office) sehari WFH?”

Mawar: “Iya, soalnya sekarang di kantor (jumlah pegawai) yang masuk cuma boleh 25%.”

Rifina: “Kok jadi kayak awal COVID? Bukannya kemarin udah 50%?”

Mawar: “Rapid test kemarin yang positif makin banyak. Ada berapa ya, enam orang gitu.”

Rifina: “Banyak juga ya, perasaan kemarin cuma satu. Paling banyak tiga…. Kalau pas masih 50% pegawai yang boleh masuk itu gimana ngaturnya? Berapa kali WFH dan WFO dalam seminggu?”

Mawar: “Berapa ya, biasanya sehari WFH sehari WFO… tapi kadang pas WFH Mama tetep ke kantor kalau ada kerjaan yang nggak bisa di rumah. Ribet soalnya. Atau pas disuruh ke kantor, misal ada rapat, ya dateng juga.”

Rifina: “Enakan kerja di kantor apa di rumah?”

Mawar: “Yaa, di kantor sih, soalnya berkasnya di sana semua. Di kantor juga bisa fokus gitu, bisa set-set-set. Kalau di rumah nggak enaknya berkas nggak ada, nggak bisa fokus juga. Ada inilah, itulah. Tapi ya enaknya bisa disambil yang lain. Kalau siang bisa istirahat nonton TV, hehe.”

Rifina: “Iya, hobi baru sejak WFH kan. Berarti enakan kerja di mana? Rumah atau kantor?”

Mawar: “Yaa ada enak sama nggak enaknya.”

Rifina: “Yah, semuanya memang selalu ada enak dan nggak enaknya sih.”

Mawar: “Itu tau.”

Rifina: (memasang cengiran) “Hmm, dari jawaban-jawaban tadi, bisa dibilang COVID ini ngaruh banget ke kerjaan Mama ya. Balik lagi ke rapid test, masih rutin tiap bulan? Emang biasanya tanggal berapa?”

Mawar: “Masih. Belasan kalau nggak salah.”

Rifina: “Udah biasa disuntik dong, dulu kan takut, hehe.”

Mawar: “Iya, sekarang langsung sodorin aja. “Nih, Mbak nih suntik aja suntik,” gitu. Hahaha. Eh tapi suntik yang terakhir sakit kan, mbak. Pas jarum udah nmasuk kata Masnya nggak nemu, terus malah dimenggok-menggokin (jw: dibelok-belokin) gitu.”

Rifina: “Sut, jangan diperjelas. Ngilu. ๐Ÿ™ƒ” (sebelumnya pernah diceritain)

Mawar: (tertawa jail)

Rifina: “Tapi baru-baru ini ada rapid antigen yang metodenya kayak swab test. Apa rapid test rutin di kantor bakal berubah juga?”

Mawar: “Nggak tau ya, iya kali. Tapi Mama udah pernah swab sih sekali, jadi tau rasanya.”

Rifina: “Eh, rapid antigen buat yang naik pesawat aja deh kayaknya, hmm. Omong-omong, swab itu sakit nggak sih?”

Mawar: “Ya… kalau udah biasa wudhu sedot air di hidung (istinsyaq) sebenernya biasa aja.”

Rifina: “Hm… aku kalau bisa jangan sampe swab deh. Kalau bisa nggak kan kenapa harus berada dalam kondisi harus swab. Misalnya sengaja untuk pergi naik pesawat walau cuma jalan-jalan…. ๐Ÿ˜…”

Mawar: “Hehe iya, Mbak. Yang penting jaga kesehatan, olahraga, terus 3M.”

Rifina: “Mama juga. Habis pulang kantor harus langsung mandi. Kalau rapid test di kantornya reaktif kan yang disuruh swab bakal kita sekeluarga.”

Mawar: “Ya maunya gitu, tapi pas Mama pulang aja adikmu di dalem situ. Baru mandi.”

Rifina: “Iya sih. ๐Ÿ˜… Oke, balik lagi. Kalau di kerjaan Mama sendiri kan ada penerimaan pajak tahunan gitu. SPT tahunan ya? Sejak ada pandemi jadi gimana? Misalnya jadi harus online gitu?”

Mawar: “Lapor SPT mah dari dulu udah online, Mbak. Jadi nggak ngaruh apa-apa. Palingan jadi bener-bener full online aja.”

Rifina: “Tapi bukannya sebelum pandemi suka pergi ke perusahaan atau pabrik gitu untuk sosialisasi?

Mawar: “Oh iya, dulu ada penyuluhan kayak ke pabrik gitu, ngejelasin ke buruh-buruh cara lapor SPT tahunan. Kan orangnya buanyak itu, Mbak. Makanya pegawai pajaknya yang dipanggil sama perusahaan atau pabriknya untuk ngejelasin.”

Rifina: “Ooh gitu. Kalau penerimaan pajak negara kemarin gimana? Ada pengurangan gitukah karena ekonomi pas pandemi juga lagi menurun?”

Mawar: “Tiap tahun kan ada target penerimaan dari kantor pusat ya, pas pandemi sih sempet diturunin. Tapi kantor Mama cuma diturunin sedikit, jadi nggak tercapai.”

Rifina: “Emang dituruninnya berapa?

Mawar: “Hm… M-an (miliaran) ada kali, Mbak. Tapi kantor lain diturunin lebih banyak…. Udah gitu kan kerjaan bukan cuma ngurusin penerimaan negara, tapi juga ada jamlat (jam pelatihan) yang harus dicapai sama setiap pegawai. Belum lagi ada ICV (Internalisasi Corporate Value).”

Rifina: “Oh, ICV tuh yang… apa tuh, nilai-nilai Kemenkeu? Profesionalitas, integritas… gitu-gitu ya?”

Mawar: “Banyak, Mbak. Peringatan Hari Pajak sama Hari Oeang kemarin itu juga termasuk. Terus Morning Activity, Transfer of Knowledge... terus apalagi ya… Pembinaan Mental Pegawai… yah, banyaklah. Itu semua ada deadline pelaksanaannya. Jadi tetep aja ribet walau target penerimaan diturunin.”

Rifina: “Hm… kalau jamlat, apa bedanya sebelum dan sesudah pandemi?”

Mawar: “Kalau dulu disuruh dateng gitu, kayak ke seminar. Di kanwil (kantor wilayah), atau di kantor pusat. Cuma dateng terus dengerin. Kalau sekarang ya semuanya online, suka terbatas sama sinyal.”

Rifina: “Sinyal ya, iya juga sih. Hmm, kalau di kantor Mama sendiri kan ibaratnya udah hampir setahun menghadapi kerjaan dengan pandemi, apa ada sesuatu yang bakal dijadiin pakem untuk tahun 2021 ini?”

Mawar: “Palingan protokol 3M diworo-woroin terus di grup kantor. Sekarang malah 5M kan? Terus kalau ada yang kena COVID ya dihubungi, dikirimin makanan. Disuruh tracking dan nulis kronologi kondisinya selama masa karantina.”

Rifina: “Kalau yang berhubungan sama target penerimaan 2021, gimana? Masih diturunin?”

Mawar: “Itu belumlah, Mbak. Untuk penerimaan tahun pajak 2020 aja deadline-nya masih Maret 2021. Tapi biasa kalau akhir tahun udah dibahas kantor mana aja yang tercapai, mana yang nggak.”

Rifina: “Oh gitu ya, nggak ngerti aku, hahaha. Oke deh. Apa harapan Mama untuk kita semua ke depannya?”

Mawar: “Harapannya ya corona cepet hilang dari dunia, biar kita semua… bisa sehat lagiii.” (lalu tertawa karena canggung) ‘Udah ah, Mbak. Mending mijit aja.”


Kemudian, karena Ibu Mawar bosan ditanyai melulu, akhirnya wawancara yang sangat informal tadi kuakhiri. Agak panjang ya, pantes diprotes. ๐Ÿ˜‚

Semua pekerjaan pasti mendapatkan pengaruh dari adanya pandemi ini. Bahkan bukan hanya pekerjaan saja, melainkan juga hubungan sosial, kegiatan belajar mengajar, dsb. Tidak semua orang akan mendapatkan kondisi yang serupa, tapi kita semua menghadapi pandemi yang sama. Maka, “Apa pun kondisinya, kita harus menjalaninya.” Sebuah nasihat klise yang… yah, paling relate? Kalau sudah terjadi dan tidak terhindarkan begini, apa lagi yang bisa kita lakukan selain menghadapinya dan percaya bahwa semua sudah merupakan suratan takdir-Nya? Tapi tenang, Ia tidak tidur kok. Semua kesabaran dan perjuangan ini akan dilihat serta dihitung; untuk kemudian kita akan mendapatkan hadiah dari-Nya di penghujung cerita.

Sekian. Sampai bertemu di tulisan selanjutnya!

rufindhi

p.s. wawancara dilakukan pada akhir Desember 2020. Saat tulisan ini diterbitkan mungkin saja sudah terdapat perubahan.

Advertisement

9 thoughts on “Cerita Mawar di Tengah Pandemi

  1. Hahaha
    Beberapa kali aku ketawa saat mama bulang : Itu tahuu…. ๐Ÿคฃ๐Ÿคฃ๐Ÿคฃ

    Aku pikir Rifi bakal jawab:
    Mana ma? Itu tempe… ๐Ÿคฃ

    Hihi.. asyik wawancaranya. Demi anak, mama dengan senang hati direpotin pastinya. Walau akhirnya capek juga sampe minta dipijit.
    ๐Ÿคฃ

    Sip lah, akhirnya tuga wawancara tertunaikan. Aku kalah nih .

    Liked by 1 person

    1. ๐Ÿคฃ Kayaknya waktu itu lagi nggak kepikiran untuk jayus, jadi nggak jawab, “bukan kok itu tempe.” Hehehe.

      Tertunaikan karena terancam out ini sebenernya, MasHP. ๐Ÿ™ˆ

      Like

  2. Narasumbernya ternyata dekat ya. Btw, kenapa Ibu Mawar manggil kamu ‘Mbak’? Apa itu panggilan di rumah?

    Karena isi pos ini konteksnya obrolan tidak formal dalam embel-embel interview, maka sama dengan kalimat langsung.

    Tapi ada sedikit koreksi, Rifi.
    1. ibuk (sibuk)
    2. memengaruhi kerjaan mama (Mama)
    3. mbak (Mbak)

    Yuk, lanjut KETIK berikutnya!

    Like

Comments are closed.