Ular yang Memeluk Tubuhnya Sendiri

Ular bertubuh hitam pekat itu menghabiskan waktu dengan memeluk tubuhnya sendiri. Musim hujan pada saat ini membuatnya tidak berniat untuk merentangkan tubuhnya lurus. Tumbuhan di sekitarnya tidak cukup memberikannya sumber rasa hangat. Berkumpul bersama sesama kerabatnya pun bukan pilihan, pikiran tentang menindih satu dan lainnya membuatnya jijik. Ia tidak tahu pasti apakah mereka berasal dari sarang yang sama, ia tidak pernah tahu induknya. Ia sudah sendiri sejak masa menetasnya, dan induknya masuk daftar ular-ular asing dalam hidupnya.

Sembari memeluk tubuhnya, ia mulai memikirkan tentang asalnya. Cangkang telur yang dipecahkannya berlendir dan rapuh. Samar-samar ingatan pertamanya. Tapi, ia yakin pasti bahwa keinginan untuk makanlah yang menggerakkannya untuk menggeliat keluar dan melepaskan diri dari cengkraman rumah pertamanya.

Percakapan hari ini dengan si ular tua berlumut itu menyisakan tanda tanya dalam pikirannya. Katanya, dulu sekali ular memiliki kaki. Tapi, karena dosa si ular pertama, akhirnya Sang Pencipta memberi hukuman untuk menjadikan perut kami sebagai kaki-kaki baru, dengan permukaan tanah sebagai ladang baru kami.

Ia tidak menyalahkan si ular pertama, karena ia yakin si ular pertama pasti memiliki alasannya sendiri. Malahan, ia membayangkan bagaimana seandainya ia memiliki kaki? Apakah sepasang, atau seperti si ulat seribu dengan kaki-kaki kecilnya.

Ia memeluk tubuhnya semakin erat, mendorong tubuh bagian ujungnya untuk mencapai area kepalanya. Rasa puas timbul dalam dirinya. Jika ia memiliki kaki, apakah ia bisa se-fleksibel ini?

Ia membiarkan pikirannya melayang jauh, menembus daun-daun di musim hujan saat ini.

Ia benci hujan, tapi ia pun tidak bisa hidup tanpa-nya. Ia membutuhkan air agar kulit-kulitnya tetap lembab. Masa berganti kulit akan sangat menyakitkan jika keadaan sekelilingnya kering. Bersembunyi di gua-gua lembab juga bukanlah kegemarannya. Ia benci tinggal di tempat-tempat gelap tanpa cahaya. Tidak ada kenikmatan di sana.

Sembari mengamati naik turun nafasnya, ia mengamati dari balik lilitan tubuhnya gerak-gerik penuh curiga. Ada mangsa. Cukup untuk makan malamnya hari ini. Bahkan mungkin cukup untuk beberapa hari ke depan. Tapi, ia bertemu rasa malas yang secara konstan mendorongnya untuk memeluk lebih erat tubuhnya. Ia biarkan berlalu saja.

Akhirnya, Ia menyimpulkan bahwa sudah cukup pikirannya hari ini. Otaknya yang kecil ini tidak sebanding dengan luasnya dunia tempatnya tinggal. Ia semakin erat memeluk dirinya sendiri, sampai ia tidak sadar, sudah seberapa kuat ia mendorong dirinya sendiri ke dalam ikatan yang tidak bisa ia lepaskan.

Ia menggeliat untuk melepaskan diri. Mendesis untuk melepaskan diri, dan meneriakkan permintaan tolong. Tapi, ia sudah mendorong dunia ke sudut-sudut gelap hidupnya. Ia tinggal sendirian di bawah atap daun-daun basah pada musim hujan ini.

Si ular hitam yang memeluk dirinya sendiri mengeluarkan pikiran terakhirnya pada dunia. Sebuah ucapan terima kasih dan selamat tinggal yang dibalut dengan bisa-nya yang sudah mulai mengering.

8 thoughts on “Ular yang Memeluk Tubuhnya Sendiri

    1. Hehehe

      Terima kasih, Kak Fahmi. Selalu senang mendapatkan saran perbaikan tulisan dari Kak Fahmi. Kemarin, mau menghilangkan tanda hubung pada kata “tanpa-nya”, tapi dalam tulisan ini, kata “nya” sangat ingin saya beri penekanan sendiri. Ada arti tertentu yang ingin saya berikan di situ. Mungkin menggunakan tanda petik ya, Kak. Jadi,*Tanpa”nya”*. Begitu.

      Like

      1. tanda petik di tengah-tengah kata? saya tidak pernah menemukan hal seperti ini

        kalau memang bersikukuh ingin menegaskan ‘nya’, kenapa tidak coba ganti pakai kata lain atau langsung sebutkan maksud yang ingin disampaikan

        Liked by 1 person

Comments are closed.