“Houston, we’ve got a problem!”
Adalah teriakan terakhir yang kita dengar sebelum terlontar dari kokpit pesawat. Entah apa yang telah terjadi, yang jelas ada banyak malfungsi dadakan saat pesawat mulai lepas dari orbit gravitasi bumi.
Misi mereka jelas-jelas gagal sudah. Pupuslah harapan untuk mengeksplorasi si planet merah. Kerja keras selama tahunan dan biaya yang raksasa, hanya akan berbuah sebuah laporan evaluasi.
Setelah malam ini, mereka akan frustasi, berdebat, merevisi, berkonklusi, melakukan kompromi, berkoalisi kemudian akan kembali melanjutkan ide eksplorasi ini. Semoga saja yang berikutnya tidak akan bernasib serupa.
Tapi coba kita tinggalkan mereka dengan naluri ekspansif spesiesnya sendiri. Bagaimana dengan kita berdua? Yang sedang terbang melayang, layaknya gugusan logam hasil supernova dari galaksi nun jauh di sana.
Tidak perlu bersedih, Sayang. Kita memang telah terhempas dengan begitu dahsyat. Namun kita tidak sedang jatuh sekarang. Kita ini melayang. Lepas melayang terus sampai kita berpapasan dengan orbit gravitasi benda langit yang lain.
Peluk erat tubuh ini. Kita nikmati saja pemandangan yang luar biasa sekarang. Tidak sembarang nyawa dapat menyaksikan apa yang ada di depan mata kita. Bagiku, ini bukan tragedi, melainkan layaknya sebuah mimpi. Meski kita telah sama-sama tahu, bahwa tidak semua mimpi akan berakhir indah adanya. Termasuk juga yang ini.
Tenangkan dirimu, Sayang. Jika kau ingin berdoa, mungkin ini adalah saat yang paling tepat. Kukira karena kita telah melewati beberapa batasan langit, doamu itu akan semakin cepat sampai ke sana.
Aku sih sedang mengingat lagi ucapan yang selalu nona pelatih sampaikan kepada kita berdua. Bahwa kau dan aku akan menjadi sepasang kekasih pertama yang bercinta di luar angkasa. Seingatku, ia mengambil kalimat tersebut dari judul sebuah lagu. Lagu cinta yang aku tidak tahu siapa penciptanya.
Jika memang ucapan itu adalah sebuah doa. Rasanya pelatih kita telah keliru saat merancang segala doanya. Doa itu memang telah terwujud sekarang, tapi tidak seperti ini seharusnya.
Maka selagi kau berdoa dengan khusuknya, biar aku lantangkan saja lirik lagu yang kumaksud tadi.
Di rentang waktu yang berjejal dan memburai.
Kau berikan sepasang tanganmu terbuka dan membiru, enggan.
Di gigir yang curam dan dunia tertinggal, gelap membeku, sungguh.
Peta melesap dan udara yang terbakar, jauh.Kita adalah sepasang kekasih yang pertama bercinta di luar angkasa.
Seperti takkan pernah pulang, kau membias di udara dan terhempaskan cahaya.
Seperti takkan pernah pulang, ketuk langkahmu menarilah jauh di permukaan.Karena kita telah bercinta di luar angkasa.
Jalan pulang yang menghilang.
Tertulis dan menghilang.
Karena kita, sebab kita, telah bercinta di luar angkasa.
Tidak perlu lagi kau pandangi Bumi, Sayang. Sebentar lagi kita akan lupa. Meninggalkan jasad di Bima Sakti, menuju galaksi dari semesta yang berbeda. Bukan Ursa Mayor, Centaurus, Magellan dan bukan juga Andromeda.
Jangan kau bayangkan juga para sahabat di laboratorium. Percayalah, mereka pada nantinya akan berakhir sama. Entah di luar angkasa, meja eksperimen atau juga ruang isolasi. Kita dibiakkan memang untuk mati. Demi capaian teknologi yang tidak akan pernah dapat kita mengerti atau nikmati.
Seharusnya kita hidup bebas menari di payung-payung hutan hujan tropis. Berteriak memaki predator yang datang mengendap dan bermigrasi sesuai dengan periode iklim Bumi. Bukannya melamun sambil menunggu giliran dari balik terali besi.
Jangan juga kau sempatkan untuk menaruh pikir soal manusia. Apa peduli mereka pada kita? Aku berani bertaruh bahwa kini di bawah sana, mereka sedang menghitung rugi akan gagalnya ekspedisi ini. Hanya soal dana, bukan tentang nyawa kita berdua.
Aku sangat mengerti, bahwa ada beberapa dari mereka yang begitu dekat dengan kita. Namun harus kau camkan ini, meski sama-sama termasuk keluarga primata, tetap saja tidak akan ada seorang pun dari mereka, yang sudi menganggap kita sebagai saudara.
*Lagu yang dimaksud adalah Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa dari Frau.
Aku menangkap ada sebuah rasa skeptis pada 2 tokoh utama terhadap hidup. Namun, mereka tetap bisa menyikapi perjalanan kehidupan dengan santai, melebur pada takdir. Maka, bercinta lebih membawanya bahagia dari pada yang lain. Mereka bercinta di luar angkasa, karena di bumi orang-orang sudah kehilangan cinta. Mereka sudah menjadi budak atas obsesinya. Selain itu, di bumi makin lama makin kehilangan ruh cinta.
surealis yg keren. 😀
LikeLiked by 1 person
Wah, sudut pandang yang sangat unik ini.
Terima kasih, ya Mas, juga atas apresiasinya.
🙏🙏🙏
LikeLiked by 1 person
Sama2, Rakha. Pandangan subyektif aja ini. 😆
LikeLiked by 1 person
Jadi teringat film Interstelar
LikeLiked by 1 person