Menyimak Kisah Ayam Penyet di Tengah Pandemi

Malam minggu nih, enak banget buat ke luar rumah sama doi atau kalau tidak punya sendiri saja tidak masalah. Negara tidak mewajibkanmu untuk bermalam minggu dengan siapa. Yang penting punya uang, kamu merasa nyaman maka semua keraguan terselesaikan.

Jadi ke mana malam minggu hari ini? Kalau aku sih cari makan, karena kebetulan tidak ada makanan di rumah jadi untuk memanjakan diri sendiri dan melihat suasana malam aku memutuskan untuk mencari makanan.

Sesampainya di tempat makan “ayam penyet” sambil menunggu pesanan dibuatkan, aku memutuskan membuka-buka halaman web Ikatan Kata, mau ngecek tugas ketikku selanjutnya apa. Ternyata wawancara, setelah panduan wawancara dan membaca tulisan teman-teman yang lain mengenai ketik 15, aku tiba-tiba terpikir siapa yang akan aku jadikan narasumber. Sempat kebingungan sebelum pada akhirnya makanannku diantar seorang laki-laki berbaju hitam. Aku sering makan di sini, baik sendiri atau bersama teman-teman. Jadi aku sedikit mengenal Mas Pramusajinya yang memakai kaca mata itu.

Belum selesai makan, hujan pun turun. “Aku bisa lama tinggal di sini,” batinku. Sambil menyantap makanan, terpikirkan olehku untuk menjadikan pemilik sekaligus pedagang ayam penyet sebagai narasumber. Kebetulan aku selalu membawa buku note kecil ke mana-mana. Tujuannya kalau ingin mencatat sesuatu agar mudah karena aku termasuk seseorang yang hobinya lupa. Lantas aku mencatat beberapa hal yang akan dijadikan bahan pertanyaan.

Selesai mencatat yang ingin aku tanyakan, aku beranjak dari kursi. Kebetulan hujan belum reda dan tempat makan sedikit sepi. Aku menghampiri kasir membayar makanan lalu menanyakan apakah pemilik tempat makan ini sedang senggang? Tanpa pikir panjang Mbak Kasir lalu mengarahkan ibu jarinya pada bapak-bapak yang sedang menggoreng ayam. Seketika aku kaget, menjadi langganan di sini tapi tidak tahu siapa pemiliknya. Aku pikir bapak itu juga karyawan ternyata yang punya. “Ini sih gila,” pikirku singkat.

Setelah Bapak pemilik mempersiapkan hidangan untuk pembelinya, bapak itu mendekatiku yang masih duduk di kursi dekat kasir. Aku memperkenalkan diri lantas kuungkapkan maksud dan tujuanku menemui beliau. Bapak itu malah tertawa dan dengan senang hati bersedia menjadi narasumber. Tanpa pikir panjang, beliau lantas duduk di kursi pelanggan kosong dan menawariku untuk dibuatkan minuman apa. Sebenarnya aku sudah menolak beberapa kali, tapi beliau tetap meminta salah satu anak buahnya untuk membuatkan.

Setelah semua siap, aku pun memulai wawancara dadakanku.

Aku : “Sebelumnya saya minta maaf, Pak. Karena mengganggu waktunya. Di awal sudah saya katakan jika saya mau mengajak Bapak ngobrol.”

Pak Agung : “Tidak apa-apa. Bukannya tadi saya juga sudah bilang kalau saya senggang.” Beliau berkata sambil tertawa.

Aku : “Jadi di sini, Pak. Saya hanya ingin tahu mengenai usaha ayam penyet Bapak. Jujur, Pak. Saya ini pelanggan sudah lama, tapi maaf sebelumnya saya tahunya Pak Agung juga karyawan sama seperti yang lain. Makanya tadi saya sedikit kaget ketika  saya mau bertemu pemiliknya tapi Mbak Kasirnya menunjuk bapak.”

Pak Agung : “Halah … tidak apa-apa. Sudah sering seperti itu, Mbak. Mbak Putri bukan orang pertama yang mengira demikian. Tapi toh apa pun itu, pandangan orang tidak penting, Mbak.”

Aku : “Betul sekali, Pak. Selagi masih mampu dan kuat kenapa tidak. Jadi ini saya sudah bisa memulai sesi wawancara saya ya, Pak?”

Pak Agung : “Monggo.” (Silahkan)

Aku : “Apa dampak pandemi covid-19 (corona) ini terhadap usaha ini, Pak?”

Pak Agung : “Banyak dampaknya, Mbak. Dampak yang paling terasa adalah ekonomi. Selama lima bulan lebih kami tidak bisa buka warung lagi. Karena dulu saya kan jualannya di alun-alun kota. Lalu alun-alunnya di tutup. Jadi mata pencaharian saya yang selama ini hanya jualan seperti ini hilang.”

Aku : “Kalau sekarang sudah buka seperti ini. Bagaimana, Pak?”

Pak Agung : “Sekarang sudah mendingan. Tapi pendapatan ya menurun sekitar 30-40%.

Aku : “Sangat jauh sekali ya, Pak? Lalu kapan bapak memulai jualan kembali setelah lama tidak jualan?”

Pak Agung : “Saya mulai jualan sekitar bulan September. Itu pun bukan di tempat yang dulu. Mbak tahu kan saya pindah tempat? Sekarang saya menyewa, Mbak. Itung-itung juga cari aman. Soalnya waktu itu di alun-alun belum boleh jualan.”

Aku : “Tapi sepertinya sekarang sudah boleh, Pak. Saya beberapa kali lewat di sana.”

Pak Agung, “Boleh. Mbak. Tapi sistemnya seminggu ganti penjual, digilir istilahnya.”

Aku : “Kalau di sana buka juga, siapa yang jualan di sana, Pak?”

Pak Agung : “Ada karyawan saya juga istri saya di sana, Mbak. Kalau di sini saya sama anak saya.”

Aku : “Bagaimana sampai akhirnya Bapak bisa kembali berjualan dan memilih menyewa tempat ini selain cari aman?”

Pak Agung : “Karena saya nekat, Mbak. Kalau tidak nekat, bagaimana nanti kuliah anak saya? Makan keluarga saya dan yang paling utama nasib karyawan saya. Sebenarnya selain cari aman di sini tempatnya strategis dan nyaman.”

Aku : “Kenapa yang di alun-alun tetap di buka kalau di sini sudah, Pak?”

Pak Agung : “Pertama karena saya menghormati perintah, kedua itung-itung cari penghasilan tambahan. Lagian di sana sepi, Mbak. Lumayan di sini, tapi kalau beberapa pelanggan belum tahu pindah di sini, kan kasian kalau harus kecelek (merasa dibohongi).”

Aku : “Benar juga, Pak. Kalau harapan bapak sendiri untuk usaha ini apa? Selain pandemi ini segera berakhir?”

Pak Agung : “Harapan saya, usaha saya tetap berjalan di tengah pandemi yang belum tahu kapan selesainya, Mbak. Juga semakin banyak pelanggan agar sedikit demi sedikit saya juga bisa membantu perekonomian karyawan saya.”

Aku : “Amiin. Semoga semuanya segera pulih kembali ya, Pak. Juga terima kasih karena Bapak sudah meluangkan waktu di tengah kesibukan untuk sedikit ngobrol dengan saya.”

Pak Agung : “Amiin. Iya, Mbak Putri sama-sama. Saya juga senang karena bisa bertemu pelanggan saya yang antusias sekali untuk menanyakan perihal ini dan itu kepada saya. Jangan bosan ke sini ya, Mbak.”

Aku : “Tidak pernah bosan, Pak. Soalnya sambalnya itu benar-benar menggoda dan susah dilupakan rasanya.”

Pak Agung hanya tertawa, setelah sesi percakapan selesai, lantas aku berniat pamit karena kebetulan hujan mulai reda. Belum sempat aku menyalakan motor, mbak mbak yang aku ingat sebagai kasir di tempat makan ini menghampiriku dan menyerahkan bungkusan plastik putih yang isinya kardus makanan. Katanya, “Spesial untuk Mbak Putri kata Bapak, Mbak.” Aku pun tertawa dan mengucapkan terima kasih kepada Mbak Kasir.

Akhirnya tugasku selesai plus dapat makan gratis lagi. Malam minggu penuh berkah kalau begini ceritanya.

– perempuam aksara.

Advertisement

3 thoughts on “Menyimak Kisah Ayam Penyet di Tengah Pandemi

Comments are closed.