Kali ini saya diminta untuk berbagi cerita tentang pelajaran apa yang telah saya dapatkan selama berada dalam dunia tulis-menulis. Sebenarnya, banyak sekali hal yang saya pelajari sejak awal mengorbit di jagat media sosial dengan tulisan yang ancur banget minta dibakar sampai sekarang sudah lumayan bisa dinikmati. Saya cukup bersyukur dulu punya kepercayaan diri yang tinggi untuk, akhirnya, mempublikasikan tulisan di media sosial, sehingga dari sana saya mendapat banyak sekali kritik dan saran yang sangat membangun dari para pembaca. Pun tahun ini saya memberanikan diri bergabung dengan komunitas menulis ini untuk semakin mengembangkan tulisan saya, semoga.
Jadi, ini adalah beberapa hal yang saya pelajari selama ini yang berkaitan dengan ilmu bahasa ataupun kepenulisan. Saya bukan orang lulusan Pendidikan Bahasa Indonesia atau sejenisnya, jadi mohon koreksinya jika masih ada yang salah.
Pertama, dulu saya tidak peduli pada preposisi dan tanda baca saat menulis. Ya, saat itu saya pikir menulis kata ‘di’ atau ‘ke’ dengan disambung atau dipisah, tidak akan mengubah makna tulisan. Juga, tanda baca yang saya tahu hanya tanda titik untuk mengakhiri sebuah kalimat, tidak akrab dengan tanda koma karena menurut saya merepotkan dan tidak berguna. Tapi ternyata semua itu ada kegunaannya, seperti penulisan preposisi yang dibahas dalam KETIK6, dengan disambung atau dipisah ternyata memiliki arti yang berbeda-beda. Lalu untuk tanda koma ternyata juga punya fungsi penting dalam penulisan dialog dan untuk memberi jeda pada sebuah kalimat terutama dalam kalimat yang panjang.
Kedua, saya belajar untuk memberi warna pada tulisan yang dibuat. Selama ini saya lebih sering menulis cerita fiksi daripada tulisan yang lain, jadi deskripsi yang ‘berwarna’ itu menurut saya penting setelah mengetahuinya. Dulu tulisan saya terasa polos dengan deskripsi seadanya dan kurang menarik untuk dibaca. Tapi sekarang saya jadi lebih sering bermain majas dalam deskripsi, meski tidak semuanya bisa ditulis begitu. Contohnya, dulu saya menulis deskripsi begini, “Di luar sedang hujan. Untung saja aku membawa payung.” Ya, memang tidak ada yang salah, tapi kalau sekarang saya diminta untuk menulis ulang deskripsi itu, akan menjadi, “Komulonimbus akhirnya memuntahkan berliter-liter air dari dalam dirinya yang berlomba-lomba turun membasahi bumi. Meski aku membawa payung, rasanya benda itu tak akan banyak melindungi dari derasnya hujan yang turun.” Jadi drama, ya, hmm. Begitulah kira-kira.
Ketiga, saya menemukan banyak sekali genre tulisan dan macam-macam teknik bercerita yang baru saya dengar. Sebelumnya saya hanya mengenal beberapa genre dari buku yang sering saya baca yaitu, romance, fantasy, horror dan crime. Setelah menemukan banyak artikel tentang macam-macam genre, ternyata ada banyak sekali genre yang ada. Seperti suspense, gore, mystery, psychological, surrealism, satire, parody, slasher, thriller, fictogemino dan lain-lain. Baru-baru ini saya menemukan cara bercerita baru setelah membaca karya Stephen King yang berjudul “Carrie” yaitu teknik epistolary, menulis cerita dengan menggunakan sejumlah dokumen seperti catatan harian, artikel berita, surat, dll lalu disusun sedemikian rupa sehingga membentuk plot cerita yang menarik.
Keempat, saya baru tahu ternyata tulisan yang berima itu bukan hanya untuk menulis puisi. Saya pikir cerita fiksi tidak bisa ditulis dengan bunyi akhir kalimat yang sama. Tapi setelah menemukan satu buah cerita fiksi hingga belasan seri dengan cara penulisan berima di setiap paragrafnya, saya jadi terinspirasi. Ternyata bisa, ya? Beberapa kali saya mencoba membuat cerita berima, karena saya tidak bisa membuat puisi, dan ternyata cukup menyenangkan. Saya harus putar otak untuk menyusun kalimat-kalimat tiap paragraf hingga menemukan akhiran kata yang sama dan pas tanpa mengubah maksud tulisan. Saya jadi sering mencari-cari padanan dari beberapa kata atau mencari kata berakhiran sama lainnya, lumayan untuk menambah tabungan kosakata.
Kelima, dari mengikuti tugas KETIK di komunitas ini, saya jadi belajar untuk menulis serius di luar menulis cerita fiksi, seperti yang saya lakukan sekarang. Saya memang belum pernah menulis tulisan selain fiksi, kecuali tulisan curhatan yang sejak mulai menulis lagi di tahun 2019, jadi sering menghiasi blog pribadi. Namanya juga curhatan, tulisannya pasti sesuka hati dan tidak peduli pada tata bahasa atau PUEBI. Tapi karena ini adalah tugas menulis komunitas, saya akan berusaha menulis sebaik mungkin.
Keenam, dalam tugas KETIK juga, saya belajar untuk menulis secara berkelompok yaitu di tugas KETIK13. Sebenarnya saya cenderung orang yang individualis dan sedikit egois, jadi dalam tugas ini saya berusaha untuk menjadi anggota kelompok yang bisa bekerja sama dengan baik. Mengingat beberapa kali proyek kolaborasi saya dengan penulis lain dulu, selalu gagal yang salah satunya karena saya terlalu dominan. Ujung-ujungnya proyek tulisan bersama itu menjadi tulisan saya sendiri. Haha. Tapi untuk yang kali ini seperti tidak.
Ketujuh, saya belajar untuk menerima bahwa tulisan saya tidak mungkin bisa disukai semua orang. Ada banyak kritik dan saran membangun yang saya terima, namun ada juga kritik pedas yang beberapa kali sempat mampir, berkata bahwa cerita saya terlalu begini-begitu. Masalah kritik semacam itu sebenarnya adalah hal biasa, suka atau tidaknya orang terhadap karya saya juga memang karena selera yang beda-beda. Tapi kalau kritik pedas dibaca di saat yang tidak tepat, hal itu bisa menjadi alasan seseorang untuk berhenti menulis. Seperti saya yang akhirnya berhenti menulis selama hampir tiga tahun, salah satunya karena membaca kritikan dari tulisan saya di saat suasana hati sedang buruk. Kata Kak Segigitabaru dalam tulisannya yang berjudul “Kepercayaan Diri dalam Berkarya”, kita hanya perlu mengikhlaskan tulisan yang telah dipublikasikan. Ya, itu adalah hal yang sedang saya coba lakukan selama mulai menulis lagi. Tapi entah kenapa akhir-akhir ini saya jadi insecure lagi karena saya kembali menulis ke cara lama yang dulu jadi bahan kritikan.
Ya, itu saja beberapa hal yang saya pelajari selama menulis, sebelum tulisan ini jadi penuh curhatan yang lain. Sampai saat ini saya masih terus belajar untuk memperbaiki tulisan hingga bisa mencapai standar yang diinginkan. Terima kasih.
Koreksi :
1. dll (dan lain-lain)
2. bukan hanya untuk menulis puisi saja. (bukan hanya untuk menulis puisi) // kalau sudah ada kata ‘hanya’ maka tidak perlu ada kata ‘saja’
.
Tetap semangat menulis, Tyas.
LikeLike
‘Dan lain-lain’ tidak boleh disingkat?
LikeLiked by 1 person
selama masih bisa dituliskan kenapa harus disingkat.
Tapi kalau Tyas maunya tetao seperti, silakan
LikeLiked by 1 person
Oke, makasih
LikeLiked by 1 person
tulisan fiksi juga merupakan salah satu tulisan serius, jika dikerjakan secara serius
LikeLiked by 1 person
Betul pak 😁
LikeLiked by 2 people