Ending yang ingin aku ubah adalah film Me Before You. Pada KETIK#25 ini aku berperan sebagai penulis naskah film. Sebuah profesi yang menentukan jalan cerita sebuah film. Sebelum aku sampaikan alternative ending Me Before You, berikut adalah secuil adegan dari cerita tersebut.
###
Mungkin kedengarannya seolah-olah tidak banyak yang kami lakukan. Tapi, sesungguhnya, hari-hari bersama Will tak pernah sama – selalu ada perbedaan yang tidak kentara, tergantung suasana hatinya dan yang lebih penting seberapa sakitnya dia pada saat itu. Pada hari-hari tertentu, begitu datang aku langsung tahu dari rahangnya yang mengerat bahwa dia tidak ingin bicara padaku – atau pada siapa pun. Kalau sudah demikian, aku akan menyibukkan diri, berusaha mengantisipasi kebutuhan-kebutuhannya, supaya tidak perlu mengganggunya dengan bertanya.
Banyak hal yang membuatya kesakitan. Rasa sakit secara umum akibat hilangnya fungsi otot – sedikit sekali otot untuk menopang tubuhnya, walaupun Nathan sudah memberikan fisioterapi secara maksimal. Sakit perut akibat masalah-masalah pencernaan, sakit di pundak, sakit karena infeksi saluran kemih – tampaknya ini tidak bisa dihindari, meskipun semua orang sudah berusaha sedapatnya. Dia mengalami tukak lambung karena terlalu banyak minum obat pereda rasa sakit pada masa-masa awal pemulihannya; rupanya waktu itu dia minum obat seperti makan permen saja.
Kadang-kadang ada lecet-lecet karena terlalu lama duduk dalam posisi yang sama. Will harus tetap di tempat tidur, supaya lecet-lecetnya sembuh, tapi dia tidak betah berbaring diam. Dia akan tiduran sambil mendengarkan radio, kedua matanya berkilat-kilat menahan marah yang nyaris tak bisa disembunyikan. Will juga suka sakit kepala – efek samping dari amarah dan rasa frustasinya, menurutku. Wajar saja dia menjadi frustasi.
Tetapi yang paling menyiksa adalah rasa terbakar di kedua tangan dan kakinya terus-menerus, berdenyut-denyut, dan akibatnya dia tidak bisa berfokus pada apa pun. Aku menyiapkan semangkuk air dingin untuk merendam, atau membungkusnya dengan kain flanel dingin, berharap ini bisa meringankan penderitaannya. Seutas otot tipis di rahangnya akan bekedut dan sesekali dia seperti “lenyap”, seakan-akan satu-satunya cara dia bisa menahankan rasa sakit itu adalah dengan meniadakan diri dari tubuhnya sendiri. Mengherankan, betapa kini aku jadi terbiasa dengan kebutuhan-kebutuhan fisik dalam hidup Will. Tidak adil tampaknya, sebab meskipun tidak bisa menggunakan atau merasakannya, namun kedua tangan dan kakinya menimbulkan penderitaan yang besar baginya.
Meski demikian, Will tidak mengeluh. Itu sebabnya baru berminggu-minggu kemudian aku menyadari bahwa dia menderita. Sekarang aku sudah bisa membaca wajahnya dari kernyitan di seputar mata, sikap diamnya, betapa dia seolah-olah menarik diri dan bersembunyi di dalam tubuhnya sendiri. Dia akan bertanya singkat, “Bisa tolong ambilkan air dingin, Louisa?” atau “Kurasa sudah waktunya aku minum obat pereda rasa sakit.” Kadang-kadang dia begitu kesakitan sampai-sampai wajahnya pucat pasi, tanpa rona sedikit pun. Seperti itulah kalau kondisinya sedang sangat buruk.
Tetapi pada hari-hari lain kami bisa saling bertoleransi dengan cukup baik. Dia tidak tampak tersinggung berat kalau aku mengajak bicara, tidak seperti dulu, waktu mula-mula. Hari ini tampaknya dia sedang bebas dari rasa sakit. Ketika Mrs. Traynor keluar untuk memberitahu kami bahwa kru pembersih baru selesai dua puluh menit lagi, aku membuat minuman lagi untuk kami, lalu kami berjalan-jalan pelan-pelan di seputar kebun. Will tetap di jalan setapak, sedangkan aku memandangi sepatu satinku menggelap di rerumputan yang basah.
“Pilihan sepatumu cukup menarik,” komentar Will.
Sepatuku warnanya hijau zamrud. Aku menemukannya di toko amal. Kata Patrcik, sepatu itu membuatku tampak seperti kurcaci waria.
“Tahu tidak, gaya berpakaianmu tidak seperti orang lokal. Aku selalu penasaran, kombinasi edan apalagi yang akan kaupakai berikutnya.”
“Jadi, bagaimana seharusnya ‘orang lokal’ berpakaian?”
Will menyimpang ke kiri sedikit, untuk menghindari sepotong ranting di jalan setapak. “Pakai wol. Atau, kalau kau tipe ibuku, kau akan memakai merek Janger atau Whistles.” Dia menatapku. “Jadi, dari mana asal-usul seleramu yang eksotis itu? Kau pernah tinggal di mana saja?”
“Aku belum pernah ke mana-mana.”
“Apa? Kau cuma pernah tinggal di sini? Kau pernah bekerja di mana?”
###
Cuplikan di atas merupakan salah satu adegan dari novel Me Before You. Sebuah cerita tentang seorang penderita quadriplegia yang bernama Will. Ia tidak mempunyai semangat dalam hidupnya karena penyakitnya itu. Hingga suatu hari, datang seorang perawat yang bernama Louisa ke dalam kehidupannya. Sedikit demi sedikit, ia mulai membuka diri dan berteman dengan perawat itu.
Quadriplegia, atau tetraplegia, adalah kelumpuhan pada tangan, badan, kaki dan organ pelvis. Quadriplegia disebabkan oleh kerusakan pada saraf tulang belakang. Jika saraf tulang belakang seseorang rusak, maka ia akan kehilangan indera perasa dan pergerakan.
Novel Me Before You sudah terbit lebih dahulu daripada filmnya. Tetapi sebaliknya, aku menonton film Me Before You sebelum novelnya. Pada awalnya, aku tidak terlalu tertarik dengan film ini ketika teman-teman kantor sudah heboh dan saling bertukar cerita setelah menontonnya. Ayu, teman kantorku bilang kalau film ini bagus dan menyentuh. Aku hanya mengangguk-angguk sembari berkata “Ya, ya, ya,” dengan agak malas-malasan. Tetapi ternyata aku jadi penasaran.
Iseng-iseng aku mulai browsing dan mengetik judul filmnya. Aku kaget karena pemeran wanitanya adalah seorang aktris yang aku tahu. Dia adalah pemeran dari Daenerys Targaryen (Danny) dalam serial televisi Game of Thrones, yang sering aku tonton.
Namanya adalah Emilia Clarke. Dia berperawakan kurus, kecil, berpipi gembil (chubby) tetapi memiliki sebuah senyuman yang indah. Dalam Game of Thrones, Emilia bermain secara apik dan totalitasnya tak dapat diragukan lagi. Awesome! Dalam Game of Thrones, Emilia memerankan karakter Dannya yang polos, kaku, tidak tahu apa-apa tentang dunia, tetapi ia punya ambisi untuk menguasai kerajaan karena Danny adalah pewaris tahta kerajaan dari klan Targaryen.
Sedangkan dalam film Me Before You, Emilia berperan sebagai Louisa yang enerjik, positif, baik hati, walaupun mempunyai selera fashion yang agak nyentrik. Kalau kata Will, dandanan Louisa itu terkesan norak dan aneh.
Film drama romantis ini rilis pada tahun 2016 yang disutradarai oleh Thea Sharrock dan diproduseri oleh Karen Rosenfelt dan Alison Owen. Naskah film ini ditulis oleh Jojo Moyes berdasarkan novel berjudul sama karya Jojo Moyes. Film ini dibintangi oleh Emilia Clarke, Sam Claflin, Steve Peacocke, Jenna Coleman, Janet McTeer, Charles Dance dan Matthew Lewis.
Sebagai aktris, Emilia membuktikan bahwa dirinya bisa berakting dengan pandai di setiap peran yang diberikan kepadanya. Dan menurutku, Emilia memang sudah membuktikannya. Tentunya, kamu harus menonton kedua film ini agar tahu perbedaan karakter yang dimainkan oleh Emilia.
###
Setelah menonton film ini, beberapa minggu kemudian aku melihat Ayu sedang membaca novelnya. Setelah ia selesai, aku meminjam novel itu. Aku penasaran karena ingin tahu lebih banyak tentang Will dan Louisa.
Seperti yang kukira, novel dan film memang sesuatu yang berbeda. Walau film terinspirasi dari sebuah novel, biasanya dalam film tidak diceritakan lebih detil seperti dalam novel atau bahkan ada bagian yang ditambahkan dan dikurangi dalam ceritanya.
Memang itu wajar, karena novel merupakan sebuah karya sastra yang disajikan bagi para pembaca dan berfungsi untuk menstimulus imajinasi mereka dalam menggambarkan sebuah cerita. Gambaran cerita seorang pembacanya bisa mirip atau bahkan berbeda sama sekali dengan pembaca yang lain. Kemiripan imajinasi setiap pembaca bisa berada pada titik yang sama apabila penulis novel itu bisa mendeskripsikan ceritanya dengan terstruktur, baik dan mudah dipahami oleh pembaca. Contohnya sudah kamu baca di awal. Betapa Jojo Moyes piawai dalam mengolah kata yang tidak hanya membuat pembacanya penasaran tetapi bisa mengerti dengan apa yang ingin disampaikan oleh penulisnya.
Sementara film merupakan sebuah karya seni yang dihidangkan secara audio visual untuk para penikmat film. Di sinilah biasanya para pembaca sebuah novel kemudian menonton filmnya, akan saling membanding-bandingkan isi dari ceritanya.
“Kok kayak gini sih.”
“Kok beda ya sama di novel.”
“Ternyata filmnya lebih bagus daripada novelnya.”
“Aku sih gak terlalu suka ya sama peran lelaki dan wanitanya. Kayak kurang pas gitu, ketika meranin tokohnya.”
Pendapat orang tentu akan berbeda satu sama lain. Tetapi seorang sutradara pasti telah memikirkan ramuan yang pas dalam menghidangkan sebuah film yang berkualitas.
Aku sendiri cukup puas dengan filmnya. Karena setelah aku baca lebih rinci dalam novel, ada banyak persamaan cerita dan adegan para pemainnya. Dan karena aku lebih dulu menonton filmnya, aku jadi bisa membayangkan wajah Louisa dan Will (dalam film) ketika membaca novelnya.
Sejujurnya aku tidak suka ending dari cerita ini. Tapi tenang saja, aku tidak akan memberikan spoiler. Perasaan tidak suka itu muncul karena ada sisi kemanusiaanku yang terusik ketika membaca dan menonton Me Before You. Tetapi justru ini adalah bagian yang menurutku terbaik dari Me Before You. Penulisnya berhasil membuat para pembaca bercampur aduk perasaannya, antara senang, greget, geli, sedih, marah dan prihatin. Sungguh sebuah adonan rasa yang tak biasa, sebuah campuran emosi yang kuat dan menyentuh.
Dan berikut adalah alternative ending Me Before You menurut versiku sendiri.
Will tetap kukuh ingin mengikuti program yang membuatnya bisa segera mengakhiri hidup. Proses pengajuan program ini sangat ketat bahkan membutuhkan persetujuan dari pihak berwenang seperti pengadilan. Saat rencana ini pertama kali diutarakan oleh Will di depan kedua orang tuanya dan Louisa, mereka tak bisa menahan tangisan. Mereka semua tahu bagaimana penderitaan Will selama bertahun-tahun dan mengerti betapa Will ingin semuanya segera berakhir. Namun, Will adalah anak kandung, darah daging dan buah hati mereka. Sekeras atau sekasar apa pun orang tua, mereka akan lebih bersedih jika melihat anaknya meninggal sebelum dirinya.
Louisa tidak setuju dengan rencana ini. Will harus tetap hidup. Ia harus mencari caranya. Di zaman yang serba canggih seperti sekarang ini, ia yakin ada jalan keluar untuk masalah Will. Mulai hari itu, Louisa mencari-cari informasi tentang metode alternatif penyembuhan Will. Hingga akhirnya dia menemukan sebuah perusahaan teknologi Jepang yang menawarkan Exoskeleton Suit, yaitu sebuah setelan rangka tubuh manusia yang terbuat dari logam. Rangka ini bisa membantu pasiennya untuk bangun dan berjalan seperti sedia kala. Namun, pasien perlu diukur dan diperiksa kondisi badan dan kesehatannya. Satu rangka pada seseorang bisa berbeda dengan setelan rangka lainnya. Will harus ke Jepang, gumam Louisa.
Ia sampaikan rencana ini kepada orang tua Will. Setelah mendengar penjelasan dari Louisa lalu menghubungi perusahaan tersebut, Ibu Will langsung setuju. Sebuah harapan untuk anaknya hidup ternyata masih ada dan mungkin terjadi. Ayah Will tak kalah bahagia mendengar rencana ini.
Malam itu, mereka berbicara kepada Will. Will menolak dengan tegas. Baginya semua akan segera berakhir. Louisa tidak patah arang. Ia menjelaskan dan membeberkan semua informasi yang ia dapat tentang rangka itu. Ia berceloteh hampir 2 jam.
“Kau tahu kan film Elysium? Aktor favoritmu, Matt Damon, di film ini dia memakai sebuah exoskeleton suit yang bisa membuatnya berjalan kembali, Will.”
“Itu hanya film, Louisa.”
“Ya, dan sekarang rangka itu benar-benar ada. Ayolah, Will. Setidaknya biarkan kami, orang-orang yang menyayangimu ini memberikan satu usaha terakhir untuk menyembuhkan sakitmu itu.”
Hening. Kedua orang tua Will berdiri tak jauh dari Louisa dan Will. Mereka menerka-nerka jawaban apa yang akan dikatakan oleh anaknya itu. Louisa memegang kedua tangan Will. Matanya sayu melihat mata Will. Yang ia lihat bukan hanya bola mata yang selalu ia tatap setiap hari. Kali ini ia memandang jauh ke dalam jiwa Will. Louisa seolah memiliki kekuatan untuk mentransfer pikiran bahkan perasaan untuk Will. Seperti namanya yang berarti keinginan, hal yang sangat diperlukan Will sekarang adalah keinginan untuk melanjutkan hidup.
“Kalau kita ke Jepang, kau harus mentraktirku Udon.”
“Tentu saja. Jadi kita akan ke Jepang, Will?”
Will tersenyum. Rasa khawatir kedua orang tuanya perlahan-lahan surut. Mereka menitikkan air matanya lalu berjalan menghampiri Will dan memeluknya.
“Kemari, Louisa.”
Louisa bergabung dan mereka semua saling berpelukan. Rasa hangat mulai menyebar ke seluruh raga. Terutama sanubari Will. Ia kini tahu apa yang akan ia katakan kepada Malaikat Kematian yang beberapa hari ini datang di mimpinya.
Will akan berkata, “Tidak hari ini. Aku masih ingin hidup.”