Gak Bisa Move On

Bila dihitung, sudah ada enam buku Andrea Hirata di rak buku saya. Ditambah satu ebook yang sedang saya baca, total sudah tujuh novelnya mengayakan otak saya dengan kisah-kisah anak Belitong. Memang masih belum menandingi koleksi Agatha Christie yang belum bosan-bosannya saya tambah. Tapi, cukuplah untuk membuat saya mengakui kehebatan Andrea dalam menulis paragraf yang mendayu-dayu, panjang berliku, membuat saya harus mengambil ekstra nafas untuk mengakhiri paragrafnya. Seringkali saya harus melalui jalan berkelok, lalu menurun, menanjak lagi, agak berputar, sebelum akhirnya berhenti di akhir penyampaian ceritanya. Gaya ini sudah ada sejak novel pertamanya, Laskar Pelangi, dilempar ke publik dan meledak. Tetralogi Laskar Pelangi sukses di pasaran, meskipun menurut saya agak tersendat di novel Maryamah Karpov. Lewat tetralogi itu saya bisa memastikan inilah trade mark nya penulisan Andrea Hirata, dan saya suka dengan trade mark itu.

Novel Ayah bercerita tentang anak-anak di kampung halaman Andrea, Belitong, lebih tepatnya setting tempat kali ini adalah Belantik. Tokoh utamanya adalah Sabari, Azumi, dan Izmi. Masing-masing tokoh punya karakter kuat dengan cerita mereka sendiri, seakan-akan ada tiga cerita yang diputus-sambungkan dalam satu novel. Sejak awal saya mencari-cari siapa “Ayah” yang dimaksud dalam novel ini. Seperti biasa, Andrea tidak membuat saya mudah menemukan siapa tokoh itu. Butuh 200 halaman lebih untuk menemukan titik terang yang moga-moga memang benar tokoh itulah sang Ayah dalam judul novel ini.

Satu hal yang sangat konsisten diceritakan Andrea dalam novel ini adalah kecintaan Sabari pada satu gadis, Marlena. Paragraf demi paragraf didedikasikan Andrea untuk menggambarkan betapa cintanya Sabari terhadap Lena dan betapa kerasnya Lena menolak (setidaknya sampai halaman 200 Lena masih menolak Sabari). Contoh cinta Sabari yang tidak kenal lelah digambarkan dalam bab dengan judul SMA (hlm 35-38). Berikut kutipannya.

Ingin Ukun membelah kepala Sabari untuk melihat apa yang terjadi di dalamnya. Karena melihat Lena berkelebat sedikit saja, dia macam terkena penyakit angin duduk. Sebaliknya, Lena benci. Sabari tak hirau. Filosofi hidupnya adalah mencintai seseorang merupakan hal yang fantastis, meskipun orang yang dicintai itu merasa muak. Itu soal lain, tidak relevan. (hlm 35)

Tergila-gila karena cinta menyebabkan Sabari menguntit Marlena, berada di mana pun gadis itu berada, melakukan hal-hal hanya supaya gadis yang dicintainya memperhatikan. Dalam kasus Sabari ini maka boleh kita bertanya-tanya apakah Sabari sebodoh itu atau memang cinta sedemikian membutakan? Saya jadi ingat dengan para fans BTS yang fanatik yang justru mengganggu kehidupan orang yang mereka puja. Saya rasa tidak ada kebaikan yang timbul dari pemujaan yang membabi buta, walaupun dalam bab ini Andrea menggambarkan nilai-nilai pelajaran Sabari menjadi lebih baik.

Sikap Sabari yang tidak pernah putus asa itu berasal dari pesan ayahnya yang mengatakan bahwa Tuhan selalu menghitung, dan suatu ketika, Tuhan akan berhenti menghitung (hlm 77). Karena itulah cinta Sabari untuk Marlena tak pernah padam. Ia yakin suatu saat akan memenangkan cinta gadis itu. Kata Kla Project, Tak Bisa ke Lain Hati. Kata anak sekarang, “Gak bisa move on!”

Advertisement

6 thoughts on “Gak Bisa Move On

  1. Seringkali saya harus melalui jalan berkelok, lalu menurun, menanjak lagi, agak berputar, sebelum akhirnya berhenti di akhir penyampaian ceritanya. 

    He he he,,, pas itu Bu.

    Like

Comments are closed.