
Saya tak punya kemewahan yang orang biasa sebut dengan teman. Entah karena saya yang begitu introvert ataukah di tempat baru ini, teman memang susah dicari. Tentang ini, saya pernah membahasnya di blog pribadi. Sebuah tulisan berjudul Tak Punya Teman, yang menceritakan kondisi pertemanan di usia paruh baya yang tak lagi sesederhana pertemanan ketika kita kecil dulu.
Nah, di Ketik ketujuh ini saya diminta menyebutkan sekaligus menggambarkan tujuh orang terdekat yang berada dalam lingkaran kehidupan saya sehari-hari. Jujur, persoalan ini cukup sulit buat saya. Sebenarnya bisa mudah, tapi menjadi sulit karena saya ingin terlihat normal, ingin terlihat seperti kebanyakan orang.
Kebanyakan orang, pada lingkaran ke-3, 4, 5, dan seterusnya, mungkin sudah bisa menemukan teman untuk mereka masukkan. Tapi tidak dengan saya. Takut dianggap tak punya teman, sendirian, hidup menyedihkan, dan semacamnya, saya kemudian selalu menunda-nunda menulis Ketik ketujuh ini. Hingga akhirnya kemarin, saya berpikir, daripada nanti malah di kick sama Kang Fahmi, seperti beberapa member Ikatan Kata tempo hari, mending saya segera nulis apa adanya saja.

Istri saya, Anny
Pertama adalah istri saya, Anny namanya. Berbeda 180 derajat dari saya, ia supel, suka membuat candaan, suka jalan-jalan, jago ngebut, dan yang paling berbeda dari saya, mudah banget berteman dengan siapa saja. Penyuka warna hitam, anggur, mie ayam, sambal tumpang dan tempe. Paling takut sama silet dan sejenis pisau kecil yang tipis. Pernah suatu hari, jarinya terkena pisau cukur di tas saya, saat sedang menyiapkan bekal perjalanan. Kenanya sih sedikit, tapi sempat heboh saat itu, karena tiba-tiba ia jatuh pingsan. Baru kali itu, saya lihat orang yang saking takutnya bisa sampai pingsan. Tapi jangan anggap ia lemah. Justru dari kami berempat, istri saya inilah yang paling strong. Jaman masih sering bepergian jauh, Sragen-Aceh dulu, dialah yang memastikan kami bertiga ‘aman’ di sepanjang jalan, yang di masa-masa itu sering tepar karena kecapekan. Belum lagi begitu sampai, masih harus berbenah, masak, nyuci, dan lain-lain.
Kak Aza
Mumtaza adalah anak pertama saya. Usianya baru 5 tahun 3 bulan. Mewarisi paras dan fisik tubuh dari saya, tetapi karakter dari bundanya. Paling suka dengan semua benda yang berwarna pink. Rarity dari My Little Ponny adalah kartun yang paling ia suka, sebelum tergantikan oleh Mariana dari Ladybug Miraculous. Meski baru berusia 5 tahun, kak Aza ini sudah pergi kemana-mana. Pernah tinggal di Lhokseumawe (Aceh), Bandung, dan saat ini di Depok. Berharap ayahnya bisa pindah kerja ke Sragen untuk membuatkannya rumah pohon di depan rumah, yang nantinya benar-benar menjadi rumah kami.
Dek Ibrahim
Ibrahim adalah anak kedua saya. Usianya, insyaallah genap 2 tahun tanggal 16 November ini. Paling suka dengan kuda, meski takut kalau diajak naik. Suka makanan apa saja asal tidak pedas. Polisi di rumah kami yang sederhana. Kami anggap polisi, karena ia akan menegur siapa saja di antara kami ketika ketahuan memakai barang yang bukan ‘milik’ kami. Seperti kemarin, saat hendak tidur di depan televisi, saya benar-benar tidak diperbolehkannya memakai bantal yang ia pahami milik kakaknya.
Ayah saya, Ahsan
Wajah dan ahlaknya sebaik namanya insyaallah. Harus berhenti dari pondok pesantren karena ayahnya meninggal dunia. Ia yang saat itu masih muda harus menghidupi ibu dan adik-adiknya. Ayah sangat penyabar, barangkali manusia yang paling sabar di dunia. Nrimo dengan apa yang diberikan Tuhan adalah sifat yang sepanjang hidup, kami ingin tiru darinya. Tentang Ayah, saya tak mau menggambarkannya panjang di sini. Saya berencana membuat post tersendiri di blog pribadi saya nanti.
Hamdanah, ibu saya
Beliau ibu yang sangat sayang kepada anak-anaknya. Meski itu berarti harus bermusuhan dengan tetangga, teman, bahkan jika perlu, seluruh manusia di dunia. Aktif sekali bicara, super hemat, mudah khawatir, dan tak bisa diberi masukan. Saya dulu sering merasa, kalau ibu itu tidak cocok dengan ayah. Tapi begitu saya menikah, saya paham, bahwa mereka berdua sebenarnya pasangan yang saling melengkapi. Telah banyak badai, aral, dan duri kehidupan mereka lewati bersama.
Mas Doel, kakak saya
Mas Doel adalah kakak laki-laki saya. Teladan saya dalam berbakti pada orangtua dan cinta pada keluarga. Suka pamer, kalau bercerita suka melebih-lebihkan, ejaan yang buruk ketika menulis, dan sedikit gagap. Itu semua terasa bukan apa-apa, bila dibandingkan sikapnya yang tulus, suka membantu, penyayang, mengutamakan keluarga, dan royal kepada keponakan-keponakannya.
Nif’ah, kakak perempuan saya
Ia adalah anak pertama Ayah. Mewarisi sikap sabar dari Ayah, dan aktif bicara dari Ibu. Saat Ayah dan Ibu mengalami masa-masa sulit dulu, kakak saya inilah yang paling terkena dampaknya. Lulus SMA, ia langsung bekerja di pabrik sepatu di Serang, tak bisa melanjutkan kuliah seperti teman-temannya. Kesempatan kuliah baru ia dapatkan bertahun-tahun kemudian, setelah ia menikah dan memiliki satu orang anak. Mba Nif, panggilan kami kepadanya, adalah seorang pekerja keras, sangat sayang kepada Ayah dan Ibu, juga kepada kami, adik-adiknya.
Itulah tujuh orang yang paling berarti dalam hidup saya. Tujuh orang yang berada dalam ‘lingkaran’ saya sehari-hari. Tujuh orang yang oleh dunia, saya bukanlah siapa-siapa, tapi bagi mereka, sayalah dunianya.
Katanya semakin dewasa dan tua seseorang maka teman yang ia miliki semakin sedikit.
Koreksi
1. Tujuh yang Paling Berarti (Tujuh Orang yang Paling Berarti)
2. Tentang ini, saya pernah membahasnya di blog pribadi saya. (ada pengulangan kata saya. Hapus ‘saya’ di akhir. Dan satukan dengan kalimat berikut. Tentang ini, saya pernah membahasnya di blog pribadi dengan judul Tak Punya Teman)
3. …. ketika kita kecil dulu, dapat kalian baca.(kalimat terakhir ‘dapat kalian baca’ sebaiknya dihapus karena sudah diarahkan untuk membaca link itu di kalimat berikutnya)
4. ia lah (dialah)
5. sudah kemana-mana (sudah pergi ke mana-mana)
6. diantara (di antara)
7. Tentang ayah (Tentang Ayah) // jika menggunakan kata sapa maka ayah ditulis menjadi Ayah
8. Di deskripsi tentang Nif’ah ada banyak kata ‘ayah’ seharusnya ditulis ‘Ayah’. Hal yang sama terjadi di kata ‘ibu’
9. saya lah dunianya (sayalah dunianya)
LikeLiked by 1 person
Thanks Kang Fahmi, koreksinya.
LikeLiked by 1 person
Sami-sami
LikeLiked by 1 person