
Kalau mendengar kata “pahlawan” (dengan p kecil) langsung terbayang saya sedang duduk di bangku Sekolah Dasar mendengarkan guru sejarah kami, Ibu Ratna, menceritakan perang kemerdekaan Indonesia. Bu Ratna, menurut saya, selalu bersemangat kalau mengajar pelajaran sejarah, terutama sejarah kemerdekaan Indonesia itu. Kalau dipikir lagi, semangat Bu Ratna itulah yang menyebabkan saya suka sejarah, Pelajaran sejarah mengenalkan saya pada para tokoh yang punya karakter luar biasa. Saya suka membayangkan kehidupan mereka dan menebak-nebak bagaimana mereka berinteraksi dengan orang-orang di sekelilingnya. Payahnya, khayalan itu tidak membuat saya lantas hapal materi pelajarannya sehingga nilai pelajaran sejarah saya selalu pas-pasan.
Sewaktu saya masih murid SD, Bapak sering mengajak kami (anak-anaknya) ke Museum Satria Mandala, yang dekat sekali dengan rumah kami di Tebet. Bapak tidak pernah mengajarkan sejarah kemerdekaan Indonesia dengan mulutnya, tapi mengajak kami melihat sendiri bagaimana negara Indonesia lahir. Di bangku SMA, saya menyadari bahwa sejarah Indonesia punya banyak sudut pandang, tidak hanya pandangan yang diberikan oleh diorama-diorama di Museum Satria Mandala. Terkadang, cerita yang saya dengar membuat pandangan saya berseberangan dengan Bapak. Beliau – seorang penatar P4 (yang tidak sengaja saya ketahui jauh di kemudian hari) – selalu menanggapi dengan bijak kritik yang meledak-ledak dari seorang anak SMA yang baru melek dunia. Lagi-lagi, Bapak mengajak saya membangun sendiri keyakinan tentang apa dan bagaimana Indonesia, dulu dan yang akan datang.
Sebenarnya hati saya berbisik-bisik memberi tahu bahwa Bapak adalah pahlawan dalam diri saya sebagai anak bangsa. Tapi, seperti biasa saya terlalu sombong untuk mengakui kebenaran itu. Saya mengakui bila mendengar kata PAHLAWAN langsung terbayang Panglima Besar Jendral Sudirman atau Cut Nya Dhien. Seperti saklar lampu yang ditekan ke posisi ON lalu lampu menyala. Saya mengakui bahwa saya tercenung mengetahui betapa banyak pahlawan kemerdekaan yang mati muda. Sudirman wafat di usia 34 tahun, Kartini di usia 25 tahun, Slamet Riyadi di usia 22 tahun, Martha Tiahahu bahkan lebih muda lagi: 17 tahun. Chairil Anwar berteriak lantang “Aku ingin hidup seribu tahun lagi”, tapi tutup mata di usia 27 tahun. Mungkin hanya Soe Hok Gie yang jelas-jelas menyatakan “betapa senangnya mati muda” lalu ia menutup mata di usia 26 tahun. Saya mengakui mereka semua adalah pahlawan bangsa, tapi masih bertanya-tanya apakah benar Bapak adalah pahlawan yang menyebar benih-benih nasionalisme dalam diri saya.
Dok. pribadi Jendral Sudirman (Foto: ANP)
Bila saya mau menyingkirkan kesombongan saya dan berpikir lebih panjang lagi, saya harus mengakui bahwa Bapak juga yang menggeser “pahlawan-pahlawan” komik dalam dunia literasi saya. Komik Superhero Indonesia, seperti Godam, Gundala Putera Petir, Laba-Laba Merah, adalah bacaan wajib kami (anak-anak Bapak) di rumah. Kalau tidak mampu membeli, kami sewa dari “warung-warung” yang bisnisnya menyewakan buku-buku bacaan. Tidak pernah terpikir dalam benak saya untuk melirik “pahlawan” lain sampai Bapak berkomentar, “Kok, bacanya komik terus.” Lalu menyodorkan Jules Verne: Perjalanan di Bawah Laut (Voyage to the Bottom of the Sea), Karl May dengan Winnetou-nya, dan tentu saja favorit beliau SH Mintardja (Nagasasra Sabuk Inten dan Api di Bukit Menoreh). Sepertinya saya harus mengakui bahwa sindiran itu menjadi landasan transformasi dunia literasi saya: dari kanak-kanak menjadi dewasa. Namun, sekali lagi, saya terlalu sombong untuk mengakui bahwa yang menanam semua pemahaman itu adalah Bapak.
Kini, tidak ada lagi yang mengkritik bacaan-bacaan saya. Tidak ada yang komen apakah bacaan saya terlalu ke “kiri” atau ke “kanan”. Terlalu “receh” atau “ilmiah”. Terlalu sedikit atau terlalu banyak. Semakin panjang saya menulis artikel ini, semakin banyak komen-komen beliau yang hadir, yang dulu cuma masuk kuping kiri keluar kuping kanan. Ketika saya terlalu banyak baca novel, beliau komen. Ketika mulai membaca buku-buku religius, beliau komen. Kadang Beliau tidak komen, tapi saya lihat buku-buku biografi bacaannya bertambah di rak. Bahkan, ketika cerpen saya pertama kali diterbitkan oleh majalah remaja, beliaulah yang komen. Kini, saya menundukkan hati dan berdoa agar Yang Maha Pengampun mengampuni saya yang terlalu sombong ini. Saya berutang banyak pada Bapak dan semoga cukuplah umur saya untuk selalu mendoakan Bapak karena telah menjadi pahlawan dalam hidup saya.
1. Tidak pernah terpikir dalam benak saya untuk melirik “pahlawan” lain sampai Bapak komen, “Kok, bacanya komik terus.”, lalu menyodorkan Jules Verne: Perjalanan di Bawah Laut (Voyage to the Bottom of the Sea), Karl May dengan Winnetou-nya, dan tentu saja favorit beliau SH Mintardja (Nagasasra Sabuk Inten dan Api di Bukit Menoreh). // komen (berkomentar // komik terus.”, lalu (hapus tanda koma, dan lalu jadi Lalu)
2. Yang MahaPengampun (Yang Maha Pengampun)
3. berhutang (berutang)
Saya sedang mengira-ngira tahun berapa Bu Dia masuk SD. Hehe..
Dan doa terbaik untuk Bapak.
LikeLike
Makasih revisinya Mas…juga doanya, aamiin. Soal tahun, boleh tebak-tebak terus hehehe
LikeLike
Wah, Winnetou Kepala suku Apache … aku membacanya waktu SMP (3 buku kalo tak salah) seingatku aku begitu khusuk dan sangat antusias membacanya…
Doa yang terbaik untuk bapak ya Bu. Bagaimanapun, Bapak adalah pahlawan untuk anaknya terlepas dari masalah nasionalisme dan literasi😊😊😀
LikeLike
makasih doanya mbak sondang 🙂 all the best for you
LikeLike