Penantian

Di sudut ruangan dalam penantian. Pada belasan tahun silam. Jarum jam serasa berdetak begitu pelan. Di luar hanya kesiur angin kemarau menerpa pohon bambu. Mengingatkan September tahun enam lima yang sering diceritakan simbok. Saat kakakku dilahirkan.

Mondar mandir tak karuan. Hanya mengitari ruangan tak seberapa di ruang tunggu sebuah klinik. Dulu ibuku belum kenal yang semacam ini saat menantikan kelahiranku, juga bersama kesiur kemarau di Agustus tahun tujuh puluhan.

Tak ada kawan berbincang, tak ada tempat berbagi pengalaman. Tak memungkinkan juga memanggil seorang kawan. Waktu telah terlalu malam. Tak sopan melakukan panggilan. Jelang jam sembilan malam serasa sudah begitu larut. Tak seperti sekarang, banyak tempat-tempat dijadikan tongkrongan. Lewat jam sebelas malam masih banyak kendaraan lalu lalang.

Ibu bidan tadi sore bilang, kemungkinan besok subuh menjelang. Doa lamat-lamat kumantrakan, sebagai satu-satunya teman penantian. Kenapa juga lupa tak kubawa Alquran. Repot juga bagaimana melewatkan malam.

Bagaimana bisa terpejam. Di dalam sana sedang berjuang dibantu seorang bidan. Sudah lebih dua jam, rasanya telah semalaman. Aku di sini juga berjuang melawan hawa dingin juga sesekali nyamuk menyerang.  

Advertisement