Melihat yang Lebih Penting dari Figur Pahlawan Kita

Menampar Patih Danurejo IV dengan Selop (Sumber Gambar: Kompas.com, yang juga diambil dari Buku Takdir karya Prof. Peter Carey)

Siapa yang tidak tahu tahu tentang Perang Jawa? Perang yang dikobarkan oleh seorang Pangeran Mataram yang berlangsung selama 5 tahun itu (1825 s.d. 1830) telah mampu membuat keuangan Belanda bangkrut. Sebesar 25 juta gulden melayang untuk membiayai perang besar itu, memaksa Belanda harus meminjam uang ke Bank Palmer di Calcuta, India, dengan Pulau Jawa sebagai jaminannya. Soal jumlah korban, tak tanggung-tanggung, lebih dari 15 ribu serdadu Belanda tewas, diperkirakan 200 ribu orang Jawa gugur, populasi penduduk Yogyakarta saat itu bahkan tinggal separuh, seperempat lahan pertanian yang ada hancur porak-poranda.

Dialah yang bergelar Ingkang jumeneng Kanjeng Sultan Ngabdul Khamid Erucakra Kabirul Mukminin Sayidin Panatagama Khalifah Rasullah s.a.w. ing Tanah Jawi — Dia yang bertahta, Yang Mulia Sultan Abdul Hamid, Ratu Adil, Perdana di antara Kaum Beriman, Pemimpin Iman, Penata Agama, Khalifahnya Rasul Allah, semoga damai bagi-Nya di Tanah Jawa. Kita lebih mengenal pemimpin Perang Jawa ini dengan gelar pangerannya ketika di Keraton Yogyakarta, yaitu Pangeran Diponegoro.

Pangeran Diponegoro saat ini kembali semakin dikenal masyarakat Indonesia dengan semakin banyaknya buku yang diterbitkan berisi biografi dan sejarah perjuangan Sang Pangeran. Salah satu buku yang populer adalah karya sejarawan Inggris, Prof. Peter Carey yang berjudul: Takdir (Riwayat Pangeran Diponegoro, 1785-1855). Buku ini sangat menarik, karena kaya akan data penelitian yang mengungkap segala peristiwa di zaman pecahnya perang besar itu. Tapi bagi kita yang masih ‘pemula’ dalam mengidolakan Sang Pangeran Mataram ini, membaca di bab-bab awal buku ini bisa membuat kita ‘bingung dan bimbang’, karena ada beberapa data (lebih tepatnya: intepretasi) sejarah tentang pribadi Sang Pangeran yang berbeda dari yang pernah kita peroleh selama ini.

Sejak kecil, kita memperoleh gambaran sosok Sang Pangeran sebagai pribadi yang sangat menonjol sisi keagamaannya, pakaian yang dikenakannya setelah meninggalkan Keraton pun berupa pakaian taqwa dengan surban putih di kepalanya, kalangan santri dan kiai yang berada dalam barisannya termasuk yang terbesar yang bisa dihimpun oleh seorang bangsawan Keraton. Sangat sulit mempercayai jika Sang Pangeran digambarkan berani melakukan tindakan yang berseberangan dengan agamanya, yang notabene menjadi sumbu utama bagi api perlawanannya kepada Belanda saat itu.

Tapi seperti itulah yang kita dapati di bab-bab awal buku karya Prof. Peter Carey itu. Di salah satu pembahasan yang berjudul Hobi, Rasa Kemanusiaan, Seni Berperang (halaman 46-47), paragraf ke-3, disebutkan:

“Diponegoro pun gemar minum anggur bersama orang-orang Eropa, Merek paling favoritnya Constantia, anggur dari Tanjung Harapan, yang pernah menjadi pilihan para raja dan kaisar, serta para pengarang, seperti Jane Austen (1775-1817) dan Charles Dickens (1812-70). Akan tetapi, Diponegoro tak pernah menjadikan kegiatan minum anggur sebagai kebiasaan yang berlebihan (Louw dan De Klerk 1894-1909, V: 743; Knoerle, ‘Journal’, 1830:35-6). Sepertinya, Pangeran punya tafsir sendiri soal larangan minum anggur dalam Islam, dan berpendapat bahwa meminum anggur putih yang diberikan orang Eropa tidak bertentangan dengan Al Quran, karena orang Eropa meminum anggur putih yang manis itu sebagai semacam “obat penawar” bila mereka mabuk anggur merah (Knoerle, ‘Journal’, 1830:35-6).”

Tidak hanya itu, dalam pembahasan yang lain dengan judul Penampilan, Kepribadian, Keluarga, dan Kesenangan (halaman 41-42), paragraf 4, juga disebutkan:

“… Selama Perang Jawa, ia menganggap salah satu biang keladi kekalahannya yang terbesar (Gowok, 15 Oktober 1826) adalah karena saat sebelum pertempuran berlangsung, ia tidur dengan seorang perempuan muda Cina (nyonyah Cina), yang bukan istri resmi dan bukan pula selir. Perempuan itu adalah tawanan perang di Kedaren, yang kemudian ia jadikan tukang pijatnya (hlm. 312).”

Ustadz Salim A. Fillah, penulis novel Sang Pangeran dan Janissary Terakhir (saya belum membaca novel ini), mengomentari interpretasi sejarah ini dalam sebuah tulisannya yang berjudul Sang Pangeran, Wine, dan Perempuan. Soal anggur putih itu, beliau mengatakan, dalam babad yang ditulis Sang Pangeran semasa pengasingannya, sama sekali tidak pernah menyinggung ini, Begitu juga dari sumber lain (Babad Manado, Babad Kedung Kebo, Babad Diponegoro Surakarta, Babad Diponegoro Suryongalam, Babad Diponegoro tulisan Gondokusumo, hingga laporan Cleerens, De Stuers, maupun De Kock), sehingga satu-satunya rujukan, tulis beliau, adalah dari jurnal seorang perwira Belanda yang ditugasi menemani Sang Pangeran dalam Kapal menuju tempat pengasingannya di Manado, perwira tersebut bernama Justus Heinrich Knoerle.

Laporan Knoerle, menurut Ustadz Salim, dinilai tidak kredibel karena sejak awal Knoerle sedang berupaya mencari kredit sebanyak-banyaknya kepada atasannya. “Jika kita membaca jurnal Knoerle, tulis beliau, hampir keseluruhannya bermotif memberi kesan bahwa Sang Pangeran senang dengan pelayanannya dan bahwa dia sangat berguna dan berjasa dalam penugasannya.”

Knoerle melaporkan bahwa di kapal, Sang Pangeran terbaring lemah karena demam malaria serta muntah-muntah karena mabuk laut, ia kemudian menawarkan anggur putih kepada Sang Pangeran, dan kala itu Sang Pangeran tidak keberatan meminumnya karena dia telah diberitahu bahwa itu bukan anggur yang memabukkan, bahkan orang Eropa biasa meminumnya sebagai penawar jika mabuk Anggur Merah atau Madeira.

Kalaupun laporan Knoerle bisa dipegang, imbuh Ustadz Salim, maka kejadian ini tidak bisa disebut ‘kegemaran’. “Jika benar Pangeran meminumnya, wine ini pasti masuk dalam asumsi tidak haram menurutnya, sebab: (i) tidak memabukkan, (ii) dimaksudkan untuk obat. Kedua hal ini sangat terkait dengan kehati-hatian beliau dalam halal-haram seperti terkonfirmasi dalam banyak kisah di berbagai sumber lain, sebagaimana Knoerle pun menyebutnya sebagai seorang yang fanatik.”

Soal perselingkuhan dengan seorang Nyonyah Cina, menurut Ustadz Salim, juga terjadi karena kesalahan menafsirkan penggalan teks dalam Babad:

“Ana ing Daren punika, pan dalu kinen meteki, kang boyongan Nyonyah Cina. Kangjeng Sultan salah kardi, saking tyas mring kang rayi, kinarya panglipur wuyung.”

“Memaknai ‘salah kardi’, yang harfiahnya ‘berbuat salah’ sebagai ‘hubungan seksual’ juga hanyalah interpretasi beberapa peneliti, termasuk Prof. Peter Carey.” Lebih lagi, tulis Ustadz Salim, pada diri Sang Pangeran juga tidak kita jumpai kebiasaan berzina dari berbagai sumber, sehingga hal yang disesali ini bukan perkara haram melainkan rasa bersalah pada istri. “Boleh jadi, hanya dipijat itu sendiri pun Sang Pangeran merasa bersalah bukan?”

Akan sangat aneh, tegas Ustadz Salim, Sang Pangeran yang keluar dari Keraton dan mengobarkan perlawanan salah satunya karena merajalelanya budaya Barat (berupa: mabuk-mabukan dan perzinaan (dalam Babad, ditulis: ‘nginum lan anjrah cara Walandi‘), malah dilabeli dengan dua perbuatan rendah itu.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membela atau menyalahkan salah satu dari dua interpretasi peneliti Diponegoro diatas, baik itu Prof. Peter Carey ataupun Ustadz Salim A. Fillah. Bagi pembaca biasa sepertiku, belum bisa dan belum pada tarafnya untuk menyimpulkan dua perdebatan sejarah ini. Tapi membaca beberapa buku tentang sosok dan perjuangan Sang Pangeran selama ini, sangat cukup bagiku untuk menyimpulkan betapa besar dan pentingnya perlawanan Sang Pangeran kala itu bagi negara kita yang saat ini memasuki usia ke 75 tahun kemerdekaannya. Juga betapa mempesonanya perjalanan hidup beliau, hingga banyak para peneliti dari dalam, bahkan luar negeri yang meneliti kisah hidup Sang Pangeran ini.

Sang Pangeran Mataram inilah, jika Anda tahu, adalah pahlawan istimewa bagi Soekarno, bapak bangsa kita, dan tentu saja menjadi pahlawan super istimewa juga bagiku, dan bagi banyak putra bangsa Indonesia di seluruh penjuru Nusantara. Tak heran, Gelar Diponegoro yang ia sandang, menjadi gelar bangsawan jawa paling populer, padahal gelar tersebut, seusai Perang Jawa, tak pernah lagi digunakan baik oleh Keraton Yogyakarta maupun Surakarta.

Mendalami kisah hidup Sang Pangeran juga membuatku menemukan definisi lain dari pahlawan. Bagiku pahlawan adalah orang yang dengan ikhlas menerima Suratan Takdir yang digariskan untuknya. Menjalaninya dengan sebaik mungkin, sesuai tanggungjawabnya, tanpa mencoba lari untuk menghindar.

“Tidak ada yang lain:
Engkau sendiri hanyalah sarana,
namun itu tidak akan lama,
hanya agar terbilang di antara para leluhur.”
Ramalan Parangkusumo (1805).

Advertisement

3 thoughts on “Melihat yang Lebih Penting dari Figur Pahlawan Kita

Comments are closed.