Petang yang Memasang Rindu pada Alarm Waktu

Linimasa waktu mencabik simposium malam. Tubuh kita adalah sepasang lelah yang mencari tempat merebah. Merelakan hari ini mengerjai kita dengan kesibukannya yang berulang kali. Kepada hati juga hari, dunia terasa begitu palsu sedangkan malam adalah satu-satunya kejujuran. Serupa mata kekasih yang aku cintai tetapi dia tidak mencintaiku. 

Malam adalah tempat rindu berpesta pora merayakan kekalahan, di balik mata-mata yang lelah luka itu hidup untuk mencari tempat singgah. Serupa kamu, banalitas yang melintas di kaki malam hanya untuk sekadar memberi tahu bahwa kamu ada. Tetapi, aku adalah apa yang kamu baca ini. Aku adalah yang menuliskanmu di malam pukul sebelas selepas kamu menceritakan bahwa kekasihmu sedang marah dan kamu berusaha mencari iba. 

Tetapi, aku tidak peduli. Aku ingin membaca puisi Aan Mansyur “Melihat Api Bekerja”, sembari mengenang bahwa di suatu masa aku dan kamu adalah kita yang abadi. Pada unggun mata yang lupa terlelap, pada setiap dingin yang hening memeluk kebisuan, kita adalah yang tidak pernah abadi sepeti janji-janji tanpa materai. 

Kekasih, rindu adalah kekata paling riuh malam ini, bising yang tidak pernah mampu aku cegah. Waktu merubah segala yang nyata menjadi fana, waktu menggubah lagu bahagia menjadi lagu menyakitkan. Namun, sekali lagi. Malam adalah kejujuran serupa matamu. Tetapi dia menolak abadi, sebab keabadian hanya untuk ingatan dan kenangan, sedangkan kita adalah fatamorgana yang penuh reka-reka.

– perempuan aksara.

22 thoughts on “Petang yang Memasang Rindu pada Alarm Waktu

      1. kenapa bukan unggun, kak? bukannya unggun itu juga termasuk perpian? dan di sini kata-katanya “pada unggun mata yang lupa terlelap” juga bisa dimaksudkan bahwa mata itu susah terpejam, sebab ada hal yang membuatnya sulit terlelap.

        setau saya kalau untuk puisi, kata unggun itu sudah lumrah digunakan. tidak harus bermakna sama dengan arti yang sebenarnya. di sana unggun sebagai diksi menurut saya dan penempatannya sudah pas.

        Like

      2. Yang aku koreksi itu katanya. Bukan diksinya Di pos ini kamu salah tulis.

        “Pada uggun mata yang lupa terlelap, pada setiap dingin yang hening memeluk kebisuan, kita adalah yang tidak pernah abadi sepeti janji-janji tanpa materai.”

        Uggun ganti dengan Unggun. Sesederhana itu sih komentarku.

        Like

      1. Biasa itu, Fit. Aku juga sering typo kok. Semua pasti mengalami, apalagi kita yg masih belajar nulis sekaligus menjadi editornya.

        Keep spirit. 😀

        Like

      2. iyaa, mas. hehe
        nanti kalo nulis pastii lebih diteliti lagiii, karena typo itu penyakit penulis memang. semua penulis pasti mengalami yang namanya typo. maksud aku yaa biasa, hehehe. tapii gapapa, biar besok besok lebih teliti lagi.

        Like

Comments are closed.