” Tidak usah menjadi seorang penangkap petir, jadilah penanam benih hujan saja. Seperti ayahmu, kakekmu, dan kakek buyutmu.”
Pesan itu yang menjadi ucapan ibu tadi, saat aku pamit untuk menjemput ayah pulang.
Perusahaan ayahku memang sebuah bisnis keluarga yang turun temurun. Sehingga cukup wajar, bila ibu ingin anaknya yang melanjutkan perusahaan ini.
Tapi aku benci, bila harus menjadi seorang penanam benih hujan.
Hujan adalah hal yang dihindari oleh manusia di bumi. Tidak ada yang pernah merindukan hujan. Dengarkan saja semua keluhan dari bawah sana, ketika langit mulai menunjukkan tanda akan turun hujan.
Ini hidupku, masa mudaku, idealismeku.
Aku ingin menjadi seorang penangkap petir. Seperti Kapten Sadewa, seorang yang gagah, keren, dan berani. Semua anak lelaki tentu ingin menjadi sepertinya.
Coba tebak, poster siapa yang terpajang di setiap kamar anak muda di kota ini? Apa ada yang memajang poster seorang penanam benih hujan di dinding kamarnya?
Aku ingin terbang menembus awan hitam, membentak balik guruh sambil bergelut dengan badai. Memicing sebuah petir, berpose layaknya seorang matador, lalu kemudian menangkapnya, untuk dijual kepada penawar dengan harga tertinggi.
Harga sebuah petir, lebih tinggi dari keuntungan bersih perusahaan ayah setiap bulan. Jadi sudah pasti, aku akan dengan mudah membeli rumah idaman untuk ibu.
Rencananya, aku akan coba untuk mendiskusikan hal ini dengan ayah. Antara lelaki dan lelaki. Sebagai pria yang pernah muda, seharusnya ia dapat mengerti.
Nanti saja tapi, setelah ia sudah kerasan tinggal di rumah. Bangunan tua yang sudah tiga tahun terakhir ini, tidak dapat dihuni olehnya.
Ayah terbukti bersalah dengan pasal kelalaian kerja. Dua desa hanyut diterjang banjir, karena ayah keliru dalam memetakan area yang harus ditanami benih hujan.
Hari ini, lima belas menit lagi, ayah akan bebas. Dan aku kini sedang menunggunya, tepat di depan gerbang penjara.
–C’est Tout–
Catatan :
Cerita di atas merupakan hasil rekayasa fantasi penulis. Tidak ada yang namanya, profesi penangkap petir, perusahaan penanam benih hujan, apalagi idola yang bernama Kapten Sadewa di kehidupan nyata.
Tulisan ini juga sebagai materi pertama penulis pada blog Ikatan Kata, sekaligus memenuhi tantangan menulis Ketik#4.
imajinasinya keren
LikeLiked by 1 person
Terima kasih Mas…
LikeLiked by 1 person
Sama sama
LikeLiked by 1 person
Bagusss
LikeLiked by 1 person
Terima kasih.
LikeLiked by 1 person
Aku menyukai hujan 😀
LikeLiked by 1 person
Berarti tidak boleh lupa untuk bayar iuran tepat waktu ke PPBH ( Perusahaan Penanaman Benih Hujan ) 😁😁😁
LikeLiked by 1 person
Hujan saja perlu dibayar?😱😰😨
LikeLiked by 1 person
Hahaha…
LikeLiked by 1 person
Nice, Rakha. Tulisannya rapi dan imajinasinya juga liar.
LikeLiked by 1 person
Hatur nuhun Kang.
LikeLike
Dear Rakha,
Hilangkan tanda titik di dalam judul pos ini
Seperti Kapten Sadewa.
LikeLiked by 1 person
Terima kasih koreksinya. Sudah saya hilangkan tanda titik dalam judul pos ini.
LikeLiked by 1 person
good
LikeLiked by 1 person
Kapten Sadewa g ada ya…entah Nakula Sadewa atau Kapten Amerika wkwkwk….late comment nih
LikeLiked by 2 people
Haha biar ada sisi kenusantaraannya, Bu.
LikeLiked by 1 person