Chapter III
Nindi memantapkan langkahnya menuju ke tempat tujuan dalam pikirannya. Tapi, semakin langkah kakinya dipercepat untuk mencapai tujuannya, pemandangan yang terpampang dihadapannya, berbeda.
Melalui kejauhan Ia melihat tempat perawatan kesehatan yang biasanya Ia lihat tampak sangat berbeda. Banyak tenda-tenda berwarna putih menghiasi halaman tempat perawatan dan lebih jelas lagi adalah brikade yang dibangun untuk melindungi tempat perawatan ini. Tempat perawatan yang dikenal sebagai juga sebagai tempat perlindungan tidak memfungsikan dirinya sebagai tempat perlindungan. Tapi, lebih seperti tempat yang tidak boleh dijamah oleh siapapun.
Nindi melihat banyak sekali pasukan militer berjaga dengan senjata yang lengkap. Para pasukan militer ini berjaga di pintu masuk dengan menggunakan senjata siap ditangan dan ada beberapa orang yang nampak antri untuk masuk ke pusat perawatan. Ia lalu memutuskan untuk datang menghampiri, setidaknya datang untuk mencari informasi.
Untuk menjaga dirinya, Ia menjaga jarak dan berusaha agar tidak menyentuh orang-orang yang ditemuinya. Ia berhasil mengeruk informasi dari beberapa orang, dan informasi yang Ia dapatkan sungguh sangat menyakitkan hati. Ia lalu berjalan menuju ke salah satu petugas militer, belum sempat Ia bertanya, si petugas militer sudah mengacungkan senjatanya dan memberi kode untuk segera menjauh. Ia berteriak, “Aku hanya ingin bertanya!” tapi tidak ada jawaban dalam bentuk suara yang Ia dapatkan, hanya kode keras untuk menjauh.
Ia menyerah.
“Kamu sudah mengantri di sini berjam-jam, menunggu agar mereka dapat membuka pintu perawatan dan menerima anggota keluarga kami. Mereka tidak memiliki obat yang dibutuhkan untuk menyembuhkan penyakit ini, tapi setidaknya mereka bisa membuat penderitaan karena penyakit ini berkurang” demikian kata-kata yang terus menerus terngiang di telinga Nindi, jawaban dari orang-orang yang Ia temui hari ini.
Nindi membalikkan badannya, Ia tidak tahu akan ke mana sekarang.
Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi kesimpulan Nindi saat ini. Pertama, Ia tidak berhasil membawa obat untuk sahabatnya. Kedua, Masih tidak ada obat untuk penyakit yang tidak diketahui identitasnya ini. Ketiga, pusat perawatan yang Ia kunjungi tidak memiliki apa-apa dan sungguh tidak dapat dimasuki sembarangan. Keempat, Ia semakin kelelahan dan juga kelaparan. Daya tahannya terhadap situasi yang terjadi, lingkungan yang sangat tidak bersahabat saat ini, sudah semakin mencapai batasnya. Ia sudah tidak tahan lagi.
Nindi memutuskan berjalan pulang, menemui kedua sahabatnya di apartemen mereka mungkin adalah hal yang baik pikirnya. Mereka setidaknya dapat memberikan nasihat apa yang harus dilakukan.
Dalam perjalanan pulang, Ia bertemu dengan tubuh manusia yang mati beku di jalanan, tidak ada yang mengurus. Ia sama sekali tidak terkejut. Ia terus saja berjalan, perutnya yang lapar sudah tidak dipedulikannya lagi.
Nindi menyerukan di dalam hati, poin kelima yang berhasil Ia simpulkan dari apa yang terjadi pada saat ini.
“Kami mungkin tidak memiliki harapan lagi.”
Nindi bergumul dalam kesunyian. Ia ingin berteriak sampai paru-parunya pecah, tapi Ia tidak memiliki energi lagi. Kaki dan tangannya mulai mati rasa, entah karena dinginnya cuaca pada saat ini atau karena Ia pun sudah mencapai tahap ‘anggota gerak yang tidak lagi berdaya’.
Nindi menangis, setidaknya demikian yang Ia percayai. Tangisan yang tanpa suara dan tanpa air mata. Sangat jauh berbeda dengan ingatannya beberapa waktu yang lalu ketika Ia harus menangis karena berpisah dengan kedua orang tuanya. Kala itu bukan pertama kalinya Nindi harus berpisah dengan kedua orangtuanya, tapi entah mengapa tangisan waktu itu sudah menyimpan pertanda.
Nindi bersedih. Ia bersedih karena Ia pun tidak tahu harus melakukan apa lagi. Jika saja Ia masih memiliki kekuatan yang cukup saat ini, Ia ingin berjalan lebih jauh lagi. Ia ingin mencoba mendatangi tempat-tempat yang kemungkinan bisa menawarkan bantuan. Tapi, pada saat yang sama Ia harus menghadapi kenyataan bahwa bukan hanya tubuhnya yang kehilangan energi, tapi juga semangatnya untuk hidup dan berusaha.
Nindi tidak tahu emosi apa yang dirasakannya saat ini, dan Ia semakin tidak tahu apa yang harus Ia lakukan.
Dear Tim Interpolasi,
Cerita yang ditulis terasa dekat dan nyata karena pembaca bisa merasakan hal yang sama seperti yang kita alami sekarang. Kasihan dengan kondisi Nindi dan teman-temannya.
Sedikit koreksi:
1. Pesehatan (kesehatan)
2. Kalimat, ” Pertama, penyakit yang terjadi di kota kecil tempat mereka tinggal saat ini dinilai sebagai ‘penyakit infeksius misterius’ yang menyebar sangat cepat antara manusia satu dan manusia yang lain dengan media penyabaran yang masih belum jelas juga.” —- terasa panjang dan ngos-ngosan saat dibaca. Bisa diakali dengan pemberian tanda koma atau dipilah lagi menjadi beberapa kalimat.
3. mereka tidak bisa hanya diam saja — kata ‘hanya’ dan ‘saja’ memiliki arti yang sama. Hapua salah satu kata tersebut.
4. Nindi binggung (bingung)
5. bergerak lebih lincah dibawah (di bawah)
6. Ia menggeruk sisa-sisa barang dalam toko, Ia menemukan beberapa barang yang pikirnya bisa dibawanya pulang —- pengulangan kata ia dan nya. Kalimatnya bisa disesuaikan lagi
LikeLiked by 1 person
Terima kasih atas koreksinya, Kak. Akan diperbaiki segera.
LikeLike
Sip
LikeLiked by 1 person
Aku baru membaca sampai selesai cerpen ini.
Bagus ceritanya, mbak Ayu.
Karakter utama, Nindi sungguh berjuang hidup dan mati di negeri orang. Nun jauh di kota kecil Cina. Rasa rindunya pada kampung halam, terutama keuda orang tua bisa dirasakan begitu harunya.
Akhirnya endingnya menjadi antiklimaks perjuangan seorang Nindi. Gadis yg baru menginjak dewasa di awal studinya di perguruan tinggi.
Nindi akhirnya tertidur, dan korona membangunkannya. Ternyata korona itu kosa kata bahasa Indonesia ya, baru tahu aku.
Btw, menulis cerita pendek sepanjang ini lumayan membutuhkan effort yg tinggi ya. Aku sdh merasakannya. Hehe.
Tapi semua terbayar ketika paragraf terakhir usai. Dan tentunya saat memposting di blog.
Kekurangan pasti selalu ada. Tapi di atas semua itu, sebuah proses akan menambahkan perbendaharaan pengalaman yg sangat berharga.
Nice story, mbak Ayu.👍
LikeLiked by 1 person
Terima kasih, Mas.
Tulisan ini memang terinspirasi dengan wabah covid-19 yang terjadi pertama kali di Wuhan-China pada awal tahun lalu sebelum wabah ini sampai ke Indonesia. Memilih Nindi sebagai karakter utama cerita terjadi begitu saja, Mas. Mungkin waktu itu karena berpikir ini akan menjadi ‘cerita pendek’, jadi tidak perlu sampai menambahkan karakter lain, cukup satu karakter dan pemikirannya saja. itu juga sepanjang ini ceritanya.
Benar, Mas. Kekurangan selalu ada, tapi begitu juga dengan usaha untuk selalu belajar memperbaiki diri. Semoga cerita pendek ini memberikan inspirasi bagi yang membacanya, setidaknya untuk belajar membuat cerita pendek juga.
Ayu tidak tahu nilai apa yang bisa diambil dari cerita pendek ini. Mungkin soal “perjuangan” untuk bertahan hidup dalam menghadapi situasi-situasi sulit heee
LikeLike