Chapter II
Siaran berita di radio mengatakan bahwa terdapat satu pusat perawatan kesehatan yang dibuka untuk merawat mereka yang memiliki tanda-tanda tertular penyakit. Pusat perawatan ini berjarak kurang lebih 30 kilometer dari tempat mereka berada sekarang.
Nindi dan sahabatnya bertukar pikiran dan akhirnya memutuskan dengan sangat berat bahwa Nindi-lah yang harus keluar dari apartemen dan mencari pertolongan. Keputusan didasarkan hanya karena Nindi memiliki badan yang lebih berisi dan bergerak lebih lincah dibawah tekanan lingkungan saat ini. Nindi tidak memiliki pilihan, dan tentu saja Nindi merasa sangat tertekan berada hanya di dalam aparteman yang berukuran tidak seberapa ini.
Nindi lalu memutuskan untuk berjalan sendiri ke pusat perawatan kesehatan yang dimaksud dengan berbekal seadanya. Ia tidak memiliki masker, hanya kain seadanya untuk menutupi area pernapasan, dan kain wol yang dibalutkan pada lehernya. Ia mengenakan celana panjang, dan baju tangan panjang serta sepatu yang memudahkannya bergerak. Ia membawa bersamanya sebuah ransel yang berisi peta kota, air minum dalam botol, senter, dan handphone berserta chargernya.
Nindi mengucapkan salam perpisahan kepada dua sahabatnya, sambil memohon restu dari keduanya agar secepatnya mendapatkan bantuan. Ia lalu berjalan menuju pintu keluar apartemen. Tidak ada satpam yang biasanya menjaga pintu masuk, tidak ada suara-suara yang biasanya dikeluarkan oleh para tetangganya. Ia berjalan terus tanpa menengok ke belakang. Tekadnya sudah bulat.
Sesampainya di luar. Tidak ada alat tranportasi di jalanan. Rumah-rumah penduduk terkunci rapat, bahkan tidak ada warung yang buka. Sialnya lagi, pada saat itu masih musim dingin, tumpukan salju ada di mana-mana. Udara dingin membuatnya cepat merasakan lapar, pakaian yang Ia kenakan untung saja mampu menahan hawa dingin, dan untungnya lagi sepatu yang Ia kenakan memudahkannya bergerak untuk menangkal udara dingin. Ia selanjutnya memutuskan untuk berjalan ke arah pertokoan yang biasanya dituju sebagai tempat untuk berbelanja dan mencari obat untuk sahabatna. Ia mengikuti langkah kakinya, berharap dalam hati semoga toko yang dimaksudnya buka atau melayani pelanggan, sehingga Ia tidak perlu berjalan jauh lagi dalam udara dingin dan keadaan yang tidak menguntungkan seperti saat ini.
Dalam perjalanan, pikiran Nindi melayang jauh ke kampung halamannya. Ia bertanya-tanya tentang kabar kedua orangtuanya yang sudah tidak muda lagi. Mereka pasti tidak tahu apa yang saat ini sedang terjadi, mereka pasti sedang asik bekerja dan terlalu sibuk untuk mengecek berita di televisi. Nindi bukan anak yang lahir dari keluarga yang mampu, Ia hanya cukup beruntung mendapatkan beasiswa full untuk belajar tentang apa yang Ia sukai. Ia pun cukup beruntung untuk berada di kota kecil dengan penduduk yang ramah dan berada di kota yang nyaris disebutnya sebagai ‘rumah’.
Seiring dengan bayangan-bayangan yang membanjiri pikirannya, Nindi mempercepat langkahnya. Ia sudah hamper tiba di tempat tujuan. Ketika Ia melihat tanda di pintu, Ia menghembuskan nafasnya dengan berat.
“Mohon maaf, kami sedang tutup, “ demikian tulisan yang terpajang di pintu toko.
Nindi melihat ke sekeliling, tidak ada orang di jalanan. Nindi menelan ludah, Itulah kenyataan pahit yang harus diterimanya pada saat ini. Kota ini bak kota mati. Ia berdiri di depan toko dalam keadaan tidak percaya dan sendirian. Angin musim dingin menikam sampai ke sumsum tulangnya, tapi rasanya tidak sesakit perasaannya saat ini. Seorang asing, di negeri asing, sendirian, kelaparan dan nyaris tidak memiliki harapan.
Ke mana semua orang?
Nindi lalu menggedor pintu toko, berharap ada orang di dalam sana. Tapi, tidak ada jawaban. Nindi berniat untuk mengambil batu atau sesuatu yang keras lalu memecahkan jendela, mengambil barang yang diinginkannya dan pergi. Tapi kekuatan untuk melakukan hal tersebut tidak ada. Meskipun dalam keadaan terdesak, Ia masih memegang tinggi prinsip moralnya. Ia juga berpikir untuk menghemat energinya, selain makanan dan obat, Ia harus mencari pertolongan dan itu hal penting yang selanjutnya harus Ia lakukan.
Nindi lalu memutuskan untuk berjalan lagi. Kali ini ke arah tempat perawatan yang biasanya Ia lewati ketika ingin pergi ke sekolah, kebetulan tempat perawatan ini disebut sebagai salah satu tempat rujukan kasus. Ia memutuskan untuk melangkahkan kakinya ke sana. Setidaknya saat ini, Ia masih memiliki ‘sesuatu’ yang harus Ia lakukan. Ia masih memiliki sedikit harapan akan apa yang kemungkinan terjadi.
Dear Tim Interpolasi,
Cerita yang ditulis terasa dekat dan nyata karena pembaca bisa merasakan hal yang sama seperti yang kita alami sekarang. Kasihan dengan kondisi Nindi dan teman-temannya.
Sedikit koreksi:
1. Pesehatan (kesehatan)
2. Kalimat, ” Pertama, penyakit yang terjadi di kota kecil tempat mereka tinggal saat ini dinilai sebagai ‘penyakit infeksius misterius’ yang menyebar sangat cepat antara manusia satu dan manusia yang lain dengan media penyabaran yang masih belum jelas juga.” —- terasa panjang dan ngos-ngosan saat dibaca. Bisa diakali dengan pemberian tanda koma atau dipilah lagi menjadi beberapa kalimat.
3. mereka tidak bisa hanya diam saja — kata ‘hanya’ dan ‘saja’ memiliki arti yang sama. Hapua salah satu kata tersebut.
4. Nindi binggung (bingung)
5. bergerak lebih lincah dibawah (di bawah)
6. Ia menggeruk sisa-sisa barang dalam toko, Ia menemukan beberapa barang yang pikirnya bisa dibawanya pulang —- pengulangan kata ia dan nya. Kalimatnya bisa disesuaikan lagi
LikeLiked by 1 person
Terima kasih atas koreksinya, Kak. Akan diperbaiki segera.
LikeLike
Sip
LikeLiked by 1 person
Aku baru membaca sampai selesai cerpen ini.
Bagus ceritanya, mbak Ayu.
Karakter utama, Nindi sungguh berjuang hidup dan mati di negeri orang. Nun jauh di kota kecil Cina. Rasa rindunya pada kampung halam, terutama keuda orang tua bisa dirasakan begitu harunya.
Akhirnya endingnya menjadi antiklimaks perjuangan seorang Nindi. Gadis yg baru menginjak dewasa di awal studinya di perguruan tinggi.
Nindi akhirnya tertidur, dan korona membangunkannya. Ternyata korona itu kosa kata bahasa Indonesia ya, baru tahu aku.
Btw, menulis cerita pendek sepanjang ini lumayan membutuhkan effort yg tinggi ya. Aku sdh merasakannya. Hehe.
Tapi semua terbayar ketika paragraf terakhir usai. Dan tentunya saat memposting di blog.
Kekurangan pasti selalu ada. Tapi di atas semua itu, sebuah proses akan menambahkan perbendaharaan pengalaman yg sangat berharga.
Nice story, mbak Ayu.👍
LikeLiked by 1 person
Terima kasih, Mas.
Tulisan ini memang terinspirasi dengan wabah covid-19 yang terjadi pertama kali di Wuhan-China pada awal tahun lalu sebelum wabah ini sampai ke Indonesia. Memilih Nindi sebagai karakter utama cerita terjadi begitu saja, Mas. Mungkin waktu itu karena berpikir ini akan menjadi ‘cerita pendek’, jadi tidak perlu sampai menambahkan karakter lain, cukup satu karakter dan pemikirannya saja. itu juga sepanjang ini ceritanya.
Benar, Mas. Kekurangan selalu ada, tapi begitu juga dengan usaha untuk selalu belajar memperbaiki diri. Semoga cerita pendek ini memberikan inspirasi bagi yang membacanya, setidaknya untuk belajar membuat cerita pendek juga.
Ayu tidak tahu nilai apa yang bisa diambil dari cerita pendek ini. Mungkin soal “perjuangan” untuk bertahan hidup dalam menghadapi situasi-situasi sulit heee
LikeLike