Chapter I
Hari-hari berlalu dalam keheningan dan ketakutan. Nindi dan dua orang sahabatnya mendengarkan perkembangan kasus yang misterius hanya melalui radio dari smartphone mereka. Pemberitaan di radio untuk saat ini cukup untuk mengetahui upaya pemerintah untuk menanggulangi krisis yang terjadi dan meredam reaksi masyarakat yang merasa ‘tidak tahu banyak’ akan kasus pesehatan yang menimpa mereka.
Mudah saja jika jaringan internet pada saat ini berjalan dengan lancar, tapi pada saat ini akses internet sengaja dibatasi oleh pemerintah karena ketakutan akan penyebaran informasi secara sembarangan ke belahan dunia yang lain. Entah apa yang ditakutkan, tapi Nindi dan sahabat-sahabatnya memilih percaya bahwa pembatasan akses internet pada saat ini terjadi dengan tujuan untuk meredam ketakutan masa yang lebih banyak lagi. Tidak bisa dibayangkan bagaimana chaos-nya dunia ketika menerima informasi menakutkan seperti yang terjadi pada saat ini. Tapi, cepat atau lambat dunia akan tahu dengan jelas apa yang terjadi.
Melalui informasi dari radio, Nindi mendapatkan sedikit kesimpulan mengenai apa yang saat ini sedang terjadi. Pertama, penyakit yang terjadi di kota kecil tempat mereka tinggal saat ini dinilai sebagai ‘penyakit infeksius nan misterius’ yang menyebar sangat cepat antara manusia satu dan manusia yang lain. Para ahli berhasil menyimpulkan bahwa penyebab utama penyakit ini adalah sesuatu yang disebut sebagai “virus”, tapi media penyebarannya virus ini masih dalam status ‘tidak tahu’. Kedua, tidak ada yang tahu kapan persisnya infeksi pertama kali muncul dan dari mana asalnya. Ketiga, ketika infeksi terjadi, tubuh akan memberikan respon seperti ketika terkena flu biasa. Tapi, lambat laun penyakit akan berkembang dengan menunjukkan tanda-tanda kelumpuhan anggota gerak, tidak dapat bernafas spontan dan meninggal secara tiba-tiba. Keempat, tidak ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit ini. Mereka yang terkena virus mematikan ini selalu dilaporkan berakhir dengan kematian. Kelima, saat ini kota kecil tempat mereka tinggal sedang dalam keadaan lockdown total yang berarti tidak ada alat transportasi apapun yang boleh keluar atau masuk kota sembarangan. Lockdown dijaga ketat oleh militer bersenjata, yang mendapat perintah langsung dari Perdana Menteri untuk menembak mati mereka yang dinilai membangkang dengan peraturan yang ada. Keenam, rumah sakit dan klinik di dalam kota sudah diaktifikan sebagai tempat perawatan dan tanggap darurat.
Meskipun Nindi dan sahabat-sahabatnya tinggal di apartemen, mereka tidak bisa diam saja. Mereka perlu pergi ke luar, mencari makanan dan lebih penting lagi mencari pertolongan. Jika situasi seperti ini terus berlanjut, pulang kembali ke tanah air adalah satu-satunya jalan, dan mereka harus mencari cara untuk menghubungi pihak kedutaan. Setidaknya demikian, karena Nindi sudah menghitung dalam hati,
“Ketujuh, kami semakin kehabisan bahan makanan.”
Pada hari yang entah sudah berapa lama sejak penyebaran penyakit pertama terjadi, salah satu sahabat Nindi menunjukkan tanda-tanda penularan penyakit seperti demam tinggi dan menunjukkan kelemahan anggota gerak. Nindi bingung dari mana sahabatnya ini mendapat kontak dengan sumber penyakit. Mereka semua terhenti pada jawaban “tidak tahu”.
Keputusan pun diambil, sahabat mereka yang menunjukkan tanda dan gejala langsung diisolasikan di kamar tidur. Sementara Nindi dan sahabatnya tinggal di ruang lain. Nindi dan salah satu sahabatnya melakukan usaha terbaik mereka untuk menjaga agar keduanya tidak ikut sakit sambil mengikuti petunjuk perawatan dari pemerintah melalui radio. Dalam hati, keduanya saling berdebat untuk menerima kenyataan bahwa, “kita pasti sudah tertular”, tinggal menunggu waktu sampai tanda dan gejala yang sama muncul dan bergabung dengan yang ‘lain’.
Keadaan sahabat Nindi semakin memburuk dalam hitungan jam. Nindi dan sahabatnya tidak memiliki pilihan lain, keduanya lalu memutuskan untuk mencari pertolongan dari fasilitas kesehatan yang disebutkan di radio. Setidaknya mereka harus berusaha menghubungi pusat pelayanan kesehatan terdekat. Usaha ini harus dilakukan setelah sekian lama berusaha menghubungi pusat pelayanan kesehatan seperti yang direkomendasikan melalui radio dan mendapatkan respon ‘gagal’ secara terus menerus. Entah karena jaringan yang sibuk, atau memang secara sengaja dikondisikan demikian oleh mereka yang bertanggung jawab.
Memangnya siapa yang bertanggung jawab atas situasi seperti ini?
Dear Tim Interpolasi,
Cerita yang ditulis terasa dekat dan nyata karena pembaca bisa merasakan hal yang sama seperti yang kita alami sekarang. Kasihan dengan kondisi Nindi dan teman-temannya.
Sedikit koreksi:
1. Pesehatan (kesehatan)
2. Kalimat, ” Pertama, penyakit yang terjadi di kota kecil tempat mereka tinggal saat ini dinilai sebagai ‘penyakit infeksius misterius’ yang menyebar sangat cepat antara manusia satu dan manusia yang lain dengan media penyabaran yang masih belum jelas juga.” —- terasa panjang dan ngos-ngosan saat dibaca. Bisa diakali dengan pemberian tanda koma atau dipilah lagi menjadi beberapa kalimat.
3. mereka tidak bisa hanya diam saja — kata ‘hanya’ dan ‘saja’ memiliki arti yang sama. Hapua salah satu kata tersebut.
4. Nindi binggung (bingung)
5. bergerak lebih lincah dibawah (di bawah)
6. Ia menggeruk sisa-sisa barang dalam toko, Ia menemukan beberapa barang yang pikirnya bisa dibawanya pulang —- pengulangan kata ia dan nya. Kalimatnya bisa disesuaikan lagi
LikeLiked by 1 person
Terima kasih atas koreksinya, Kak. Akan diperbaiki segera.
LikeLike
Sip
LikeLiked by 1 person
Aku baru membaca sampai selesai cerpen ini.
Bagus ceritanya, mbak Ayu.
Karakter utama, Nindi sungguh berjuang hidup dan mati di negeri orang. Nun jauh di kota kecil Cina. Rasa rindunya pada kampung halam, terutama keuda orang tua bisa dirasakan begitu harunya.
Akhirnya endingnya menjadi antiklimaks perjuangan seorang Nindi. Gadis yg baru menginjak dewasa di awal studinya di perguruan tinggi.
Nindi akhirnya tertidur, dan korona membangunkannya. Ternyata korona itu kosa kata bahasa Indonesia ya, baru tahu aku.
Btw, menulis cerita pendek sepanjang ini lumayan membutuhkan effort yg tinggi ya. Aku sdh merasakannya. Hehe.
Tapi semua terbayar ketika paragraf terakhir usai. Dan tentunya saat memposting di blog.
Kekurangan pasti selalu ada. Tapi di atas semua itu, sebuah proses akan menambahkan perbendaharaan pengalaman yg sangat berharga.
Nice story, mbak Ayu.👍
LikeLiked by 1 person
Terima kasih, Mas.
Tulisan ini memang terinspirasi dengan wabah covid-19 yang terjadi pertama kali di Wuhan-China pada awal tahun lalu sebelum wabah ini sampai ke Indonesia. Memilih Nindi sebagai karakter utama cerita terjadi begitu saja, Mas. Mungkin waktu itu karena berpikir ini akan menjadi ‘cerita pendek’, jadi tidak perlu sampai menambahkan karakter lain, cukup satu karakter dan pemikirannya saja. itu juga sepanjang ini ceritanya.
Benar, Mas. Kekurangan selalu ada, tapi begitu juga dengan usaha untuk selalu belajar memperbaiki diri. Semoga cerita pendek ini memberikan inspirasi bagi yang membacanya, setidaknya untuk belajar membuat cerita pendek juga.
Ayu tidak tahu nilai apa yang bisa diambil dari cerita pendek ini. Mungkin soal “perjuangan” untuk bertahan hidup dalam menghadapi situasi-situasi sulit heee
LikeLike