Kewajiban stay at home membuat Ratih bosan juga di rumah terus menerus. Rumah ke halaman, halaman ke rumah, setiap hari hanya itu rute yang dijalani. Itu sebabnya sore ini dia melangkahkan kaki keluar gerbang rumah. Tak jauh, hanya ke rumah kosong dengan pekarangan luas yang ada di komplek.
Setelah dipikir, sayang juga pekarangan begitu luas dibiarkan kosong tanpa tanaman. Selama ini Ratih memang rutin membersihkan pekarangan tersebut. Kadang sendiri, kadang bersama suami.
Sore ini Ratih berniat untuk menanam ubi kayu dan serai. Daripada penuh semak belukar maka lebih bagus dipenuhi tanaman. Jadi sekalian membersihkan, akan ada hasil yang diperoleh, siapa saja boleh mengambil hasilnya.
Sesampainya di rumah tersebut, Ratih langsung menuju pekarangan belakang. Ubi kayu mendapat giliran pertama untuk ditanam, berbaris dekat tembok belakang. Sedang asyik mencangkul, tiba-tiba terdengar suara dari arah depan.
Ratih pun bergegas ke arah sumber suara. Seorang laki-laki separuh baya sedang mencampakkan satu ranting besar potongan pohon rambutan dan juga satu kantongan sampah. Ratih tidak mengenalnya, mungkin penghuni baru atau penghuni gang sebelah.
“Lho, Pak … kenapa buang sampah di sini?” tegur Ratih.
“Kenapa rupanya? Ini kan rumah kosong.” jawab orang tersebut dengan ketus.
“Walaupun ini rumah kosong tapi bukan berarti bebas membuang sampah di sini. Jorok jadinya.” ujar Ratih lagi dengan berusaha untuk tetap kalem.
“Aku mau buang sampah di sini, kenapa ibu yang repot? Apa ini rumah ibu?” Si bapak malah bertanya balik dengan intonasi suara kasar.
“Memang bukan rumah saya Pak. Tetapi saya merasa tidak nyaman kalau rumah ini menjadi jorok. Walaupun kosong tetapi kita sebagai warga bertanggungjawab juga untuk kenyamanan lingkungan kita. Kalau rumah ini jorok berantakan, bukankah komplek kita juga yang jelek?”
“Alahh, ibu tak usah terlalu banyak teori. Bukan setiap hari aku buang sampah di sini. Ibu tahu sendiri, tempat pembuangan sampah kita jauh,” ujar si bapak, “tak mungkin aku menyeret potongan kayu begitu besar ke simpang sana. Lagipula yang aku buang itu kayu, lama-lama busuk juga itu.”
“Bapak bilang kayu dan bukan setiap hari. Tapi, asal bapak tahu. Saya sering membersihkan halaman ini dan bukan sekali ini ada sampah kayu dan sampah lain. Selalu ada dan bukan sedikit.” jawab Ratih mulai tegas.
“Terus, maksud ibu apa? Ibu menuduh aku selalu buang sampah di sini?” tanya si bapak dengan wajah mulai memerah seakan menahan emosi.
“Bukan begitu pak. Kebetulan hari ini kita ketemu jadi saya menyampaikan hal ini kepada bapak.”
“Sama saja, itu artinya ibu menuduh.”
“Ya, ampun Pak. Bukan menuduh. Hanya saya prihatin melihat rumah ini tidak terurus dan malah kita tambah sampah di sini. Hari ini sedikit, besok sedikit … lama-lama jadi banyak juga. Kalau sudah begitu, bukankah yang jelek lingkungan kita juga. Soal tempat sampah yang jauh, semua juga merasakan hal yang sama. Tapi semua tetap mengantarkan sampah ke sana. Okelah, sampah kayu ini lama kelamaan pasti membusuk tetapi sampah plastik itu? Yang ada malah akan berserak dan tidak akan terurai untuk waktu yang lama.” ujar Ratih dan mulai kesal karena si Bapak sepertinya memang keras kepala.
“Alahh, banyak kali cakap ibu ini. Teori inilah, teori itulah. Toh, ini bukan rumah ibu jadi tak ada hak ibu keberatan. Sudahlah Bu, urus diri masing-masing sajalah, urus rumah masing-masing. Tak usah ikut campur urusan orang.” tukas si bapak sambil bergegas pergi.
“Ya ampun, ada ya orang begitu …” ujar Ratih sambil menatap sampah yang teronggok itu dengan lemas. Ratih pun melangkah lesu kembali ke rumah. Mendadak dia merasa kehilangan gairah untuk melanjutkan menanam. Rasanya hari ini lebih bagus nonton drama Korea daripada berkebun.
***
“Waktunya santai …” seru Ratih dengan riang. Drama Korea sudah diputar, cemilan sudah tersedia, tempat rebahan pun sudah diatur sedemikian rupa.
Tetapi ketukan keras di pintu membuatnya harus bangkit lagi, bergegas membuka pintu.
“Bu Ratih, apa maksud ibu marah-marah sama suamiku? Sepele ibu sama keluarga kami ya? Mentang-mentang ibu orang kaya dan kami orang miskin, jadi sesuka hati ibu marah-marah.” Pintu belum terbuka lebar, tapi Ratih langsung diserang dengan teriakan seorang wanita yang berdiri sambil berkacak pinggang di depan pintu.
“Maksud ibu apa?” tanya Ratih.
“Pakai nanya lagi. Pokoknya aku tidak terima suamiku dimarahi seperti itu. Itu namanya penghinaan. Jangan pikir kami akan diam. Tunggu saja, ini akan aku lapor ke Pak RT. Biar ibu tahu, walau pun ibu orang kaya tapi tak segampang itu menghina orang miskin seperti kami.” Tanpa memberikan kesempatan Ratih untuk berbicara, si wanita pun bergegas pergi.
Tinggal Ratih yang terdiam sambil memijat pelipisnya yang mendadak terasa nyeri.
Gassmom, 290420
Catatan.
Tulisan ini untuk memenuhi tugas #Ketik18 yaitu menuliskan sebuah cerita yang memuat salah satu dari emosi manusia: “tegang”. Dengan syarat tidak menuliskan kata “tegang” dalam tulisan.
Pict. Pribadi
Ini sesuai dengan kenyataan, kan??😂
LikeLike
Nggak ah…
Murni khayalan. Awalnya bukan ini yang mau kubuat tapi sewaktu bakar sampah kemarin sore, ide ini muncul.😃
LikeLike
Wiiih… seperti nyata. Andaikan istri Bapak itu mau bawa ke RT, gk masalah… sudah jelas buang sampahnke pekarangan orang, bukan tempat yg disediakan sbg fasilitas bersama. Sayangnya ini hanya fiksi ya, Ito. Hehehe. Kupikir Ratih itu, Ito. 😀
Udah dapet/ngena menceritakan ketegangannya.
LikeLiked by 1 person
Yupz, hanya fiksi Pak.
Aku tidak seberani itu melarang orang he he he
Thanks sudah membaca Pak.😊
LikeLike
fiksi yang semoga mengispirasi
LikeLiked by 1 person
Semoga Pak. Kalo tidak juga nggak apa²😊🤭
LikeLiked by 1 person