Dalam novel Ayah eigendom Andrea Hirata, kita menemukan dua bab bertitel sama. Bab yang sama judulnya adalah pembuka dan penutup novel ini. Namanya Purnama Kedua Belas.
Mulanya, saya pikir makna dari purnama kedua belas merujuk pada keterangan waktu tertentu. Ada sesuatu yang terjadi dalam malam bulan purnama kedua belas dalam suatu tahun, yang jadi kunci bagi cerita ini. Saking spesialnya, ia dijadikan nama bab dalam pembuka dan penutup novel Ayah.
Rupanya, separuh anggapan saya keliru.
Purnama Kedua Belas memang kunci novel ini. Tertulis pula dalam paragraf kedua:
Meski tersembul di antara gumpal awan April, purnama kedua belas terang benderang. Begitu terang sehingga Sabari yang duduk sendiri di beranda, sedih, kesepian, dan merana, dapat melihat gurat nasib di telapak tangan kirinya. Tangan kanannya menggenggam erat pensil.
Namun, statusnya di sini bukan cuma sebagai satu titik waktu. Tiga kata tersebut kenyataannya adalah julukan bagi seorang wanita yang menjadi cinta-sampai-mati-Sabari. Sosok yang diterangkan dalam paragraf ke-7:
Marlena, oh, Marlena, perempuan yang telah membuat Sabari senewen karena kasmaran. Sayang seribu sayang, tak sedikit pun Lena mengacuhkannya. Gambar-gambar hitam putih, karena sudah lama tentu saja, silih berganti melayang dalam kepala lelaki lugu melankolis itu. Gambar waktu Sabari mengambil saputangan Lena yang jatuh di lapangan upacara.
Ketika membaca alinea tersebut, saya terenyak. Oh, rupanya Sabari ini tipe laki-laki annoying yang terus mengganggu perempuan yang sudah jelas-jelas tidak mengacuhkannya. Anggapan saya terbukti dengan adegan lanjutan. Bukannya kata terima kasih yang dituai Sabari, lelaki itu justru harus menelan bongkahan pedas hardikan Lena.
“Siapa yang menyuruhmu mengambilnya?! Siapa?! Aku bisa mengambilnya sendiri!”
Sampai di sini, saya ketawa. Menjadi penonton adegan bucin-benci seperti ini, selalu bikin mood naik. Kalau saja saya jadi Lena dan ada seseorang yang memburu-buru dengan cara Sabari padahal sudah saya suruh mundur, mungkin saya juga bakal berlaku sama. Sudah tahu Lena tidak mengacuhkan perhatian-perhatian Sabari, kenapa tidak beringsut pergi saja, sana? Apakah Sabari ini tipikal bucin sampai mampus?
Rupanya Sabari memang bucin sampai mati. Ia masih juga memberi buku tulis hadiah harapan tiga lomba menulis puisi tingkat pelajar pada Lena biar Lena bangga padanya. Sayangnya, lagi-lagi Lena menolak.
Dikisahkan Sabari gelisah, kecewa, dan menderita karena cinta yang tidak bertepuk balas. Saya mengaku bahwa saya juga jadi bagian dari khalayak ramai yang tak habis pikir melihat seorang lelaki hanya terpaku pada satu perempuan seolah dunia ini hanya selebar saputangan Lena. Kalau jadi kawan keempat Sabari, sudah saya timpuk kepalanya biar sadar. Tetapi untungnya, Sabari masih sadar, tanpa perlu ditimpuk. Dia masih bisa mengingatkan dirinya sendiri bahwa Cinta butanya bisa-bisa membawanya berakhir di Panti Rehabilitasi Gangguan Jiwa Amanah.
Kendati tidak membaca novel ini secara menyeluruh karena cuma baca baik-baik pada bagian awal dan akhir kemudian sisanya skimming pada bagian pertengahan, akhirnya saya cukup mengerti bahwa isi novel ini, berkisar pada kebucinan ketulusan Sabari. Mungkin karena namanya Sabari, makanya dia kelewat sabar menunggu cintanya berbalas dari Marlena. Padahal, impresi awal yang bikin Sabari jatuh hati pada Marlena itu adegan yang lucu menurut saya. Marlena mengambil kertas ujian Bahasa Indonesia-nya buat disontek. Siapa sangka dari memberi sontekan bisa mengalirkan cinta?
Namun, saya mengerti. Cinta bisa mengalahkan logika. Sabari adalah sosok yang memegang teguh cintanya, sampai akhirnya rela menjadi ayah bagi anak yang bukan darah dagingnya. Dan, saya pun mengerti. Kekuatan cinta bagai api yang mampu melelehkan es dan melunakkan besi. Ketulusan hati Sabari berbuah manis. Saya selalu percaya, jika kita mengkategorikan perpisahan sebagai ending yang tragis, maka tidak akan ada akhir yang indah dalam kehidupan, karena setiap temu pasti berujung pisah. Tetapi akhir dari cerita ini benar-benar manis.
Ada empat unsur yang selalu jadi bahan penilaian saya dalam menyukai sebuah bacaan, entah itu novel, cerpen, atau cuma sebatas cerita kilat.
1. Gaya Bahasa
To be honest, gaya bahasa Andrea Hirata bukan tipe favorit saya. Padahal, Andrea Hirata sangat piawai memainkan diksi. Gaya berceritanya di novel ini pun bagus. Sederhana tapi bermakna.
Ini bukan masalah Andrea-nya. Ini masalah saya-nya. Masalah selera. Mungkin karena itu, jika ditambah dengan novel Ayah ini, karya Andrea yang saya baca sampai sekarang baru dua. Satunya lagi Laskar Pelangi. Itu pun bertahun-tahun silam.
2. Karakter
Barangkali karena terbawa kebiasaan ber-roleplaying, saya selalu naksir pada cerita yang memiliki karakteristik tokoh kuat. Dan, dari kedua novel milik Andrea Hirata yang saya baca, saya simpulkan saya suka tokoh-tokoh bentukan beliau. Angkat topi bagi karakter Sabari dan Marlena. Sabari yang sabar dan Marlena yang tidak mau terlena. Sabari yang bucin dan Marlena yang culas. Sabari yang rela menanggalkan segala-galanya demi Marlena dan Zorro, dan Marlena yang meninggalkan Sabari dan merenggut Zorro darinya. Sabari yang cinta sampai gila dan Marlena yang akhirnya luluh walau masih pantang mengaku. Mungkin suatu waktu kelak saya bisa mengambil referensi dari mereka berdua untuk membentuk tokoh roleplay saya.
Dan, tentu saja, Zorro alias Amiru. Ia membuktikan bahwa keluarga bukan cuma soal berbagi darah. Ketulusan mampu mengubah air jadi sekental darah, tetapi tanpa mengoyak kemurniannya, semurni bakti dan kasih sayang Amiru pada Sabari dan Marlena.
3. Plot
Alur cerita selalu menjadi inti untuk membuatmu terkesan atas sebuah kisah. Ketika orang bertanya tentang sebuah novel, mereka cenderung mengacu pada, “Bagaimana ceritanya?” Dan, kamu bisa menjawabnya, “Oh, novel ini bercerita soal seorang laki-laki yang saking bucinnya pada seorang wanita, ia rela ngasih apa pun buat wanita itu, bahkan jadi ayah buat anak yang bukan anak kandungnya. Dia juga sampai suka sama apa pun yang disukai sama wanita ini. Padahal, wanita ini tuh judes banget tahu, sama dia. Eh, udah nikah pun dia disakitin. Si wanita ceraiin dia, terus …. blablabla…” *tidak mau spoiler lebih lanjut*
Bentukan alur begini pun cukup unik. Jika suatu hari kamu lupa judul atau penulisnya (abaikan betapa mustahilnya ini terjadi) lalu bertanya pada seseorang dengan menceritakan garis besar isi ceritanya, kemungkinan besar, kamu bakalan bisa menemukan jawabannya dalam waktu singkat. Karena itu tadi. Ceritanya unik. Dan saya suka cerita yang unik.
4. Amanah
Selalu ada pesan yang terkandung dalam setiap bacaan berkualitas. Yang mampu saya cerap dari sini adalah bahwa tiada yang sia-sia. Apa pun yang kau korbankan bakal diberikan balasannya. Sabari yang sabar dalam mencintai, akhirnya bisa bersama Marlena dalam satu ikatan pernikahan. Sabari yang menyayangi anak yang bukan anaknya, akhirnya mampu merasakan bagaimana rasanya disayang balik oleh anaknya. Sabari yang terus mencintai Marlena walau aral yang melintang di antara mereka sangat lebar, akhirnya mampu kembali berada di dekat Marlena, meskipun cuma sebatas makam. Pada akhirnya kekuatan cinta, setidakmasukakal apa pun itu, dan pengorbanan, sekecil apa pun itu, mampu membawamu pada kebahagiaan. Masih banyak pula pembelajaran yang bisa kita serap dari dialog para tokohnya.
Ulasannya melengkapi novel ini, keren mba mira, empat jempol, jangan ditampol 😁
LikeLike
Terima kasih, Kang Nunu.
LikeLike
Berapa lama sampai akhirnya menuntaskan baca novel Ayah?
Atau hanya skimming seperti yang tadi disebutkan?
LikeLike
Skimming, Kang. Ini lagi baca lanjut lebih serius. Baru sampai Kue Satu. Babnya pendek-pendek, jadi nggak ngebosenin.
LikeLike
Haha…
Oke. Oke
LikeLike