Aku baru saja sampai ke Warung Kopi Wak Kecik (WKWK) ketika hujan mulai turun. Mula-mula rintik lalu berubah deras. Kulihat belum ada teman-teman di sini. Wak Kecik datang menghampiri dan menawari minuman. Teh tarik hangat menjadi pilihan yang cocok untuk menghangatkan tubuh.
Di atas meja, sudah ada 4 cangkir kopi. Tak berapa lama Wak Kecik sudah kembali.
“Mereka lagi shalat, boi.”
Kepalaku mengangguk-angguk laksana kepala boneka anjing di dashboard mobil. Kukira belum ada orang. Lalu pandanganku tertahan pada sebuah novel yang berada di atas meja.
“Punya siapa ini?”
Aku mengambilnya dan membuka halaman demi halaman.
“Majapahit adalah sebuah negara yang besar,” kata Hayam Wuruk, “Majapahit masih membutuhkan orang seperti mendiang Paman Gajah Mada untuk mengurus negara yang membentang demikian luas, aku tidak punya pilihan lain, harus menempatkan anak lelakiku sebagai calon penggantiku. Aku akan menempatkan Bhre Wirabumi sebagai Kumamaraja.”
Hayam Wuruk telah mengeluarkan isi hatinya dengan kesadaran penuh. Apa yang ia ucapkan itu menyebabkan ibunya kecewa. Sebenarnyalah Sri Gitarja merasa dadanya seketika telah retak oleh rasa kecewa yang telah bergumpal-gumpal. Amat sulit bagi Sri Gitarja untuk menerima Bhre Wirabumi yang akan mewarisi tahta meski Wirabumi adalah cucunya, mewarisi aliran darahnya.
“Lalu, akan kau tempatkan di mana dan sebagai apa anakmu yang terlahir dari permaisuri, Raden Tetep?” tanya Sri Gitarja dengan nada tinggi.
Empat orang temanku datang dan duduk mengelilingi.
“Bacalah, itu novel bagus.”
Mas Narno membetulkan lengan baju yang tadi ia gulung. Oh, jadi ini novel miliknya. Lalu ia bertutur siapa itu LKH (Langit Kresna Hariadi) , sang penulis novel Menak Jinggo – Sekar Kedaton.
“Menulis dan berkhayal menjadi satu-satunya pekerjaan yang digelutinya. Melalui menulis itulah ia menghidupi keluarganya. Pernah menjadi wartawan HU ABRI, bubar setelah reformasi. Langit ikut melibatkan diri dalam kegiatan pelestarian benda-benda cagar budaya terutama sisa-sisa peninggalan Majapahit. Bersama Dahlan Iskan (mantan menteri BUMN Era SBY) dan Luluk Sumiarso (mantan dirjen Migas) serta beberapa orang yang peduli pada pelestarian cagar budaya, Langit ikut membidani berdirinya Yayasan Peduli Majapahit, dan sekarang terlibat semakin dalam ke kegiatan pelestarian benda-benda purbakala. Buku karya yang dirancang selanjutnya bertajuk Negara Kertagama, ia dedikasikan untuk kegiatannya yang sedang riuh ia kerjakan, membantu melestarikan sisa-sisa peninggalan Majapahit.”
Selanjutnya Mas Narno bercerita lagi tentang Menak Jinggo yang ia ketahui. Teman-teman yang lain ikut menanggapi. Ada Andy, Mas Heri Purnomo –kami menyebutnya Mas HP-, dan Mulya. Aku ikut menyimak obrolan mereka.
“Semakin bertanya-tanya sebenarnya Menak Jinggo yang selama ini di pentas ketoprak itu versi penguasakah?” Mas Narno mengusap-usap kumisnya. Sekilas ia mirip Adam Suseno, suami Inul Daratista.
“Memang versi penguasa. Menak jinggo itu tampan luar biasa, masa digambarkan seperti buto. Menak jinggo itu gagah dan ksatria. Pilih tanding dan berwibawa. Tapi biasa, cerita selalu ditulis oleh versi yang menang alias pendukungnya Damar Wulan.” Andy tak mau kalah bercerita. Lelaki yang doyan baca buku itu sudah pula melahap habis novel LKH ini.
“Ini versi LKH, bahkan tak berminat jadi raja.”
“Terus keris Kiai Sangkelat, menurut LKH bagaimana? Ia mencurinya?”
“Baru 200-an halaman, masing-masing anak masih belum pingin jadi penguasa, tapi para ibu yang bersaing atas nama anaknya. Padahal namanya Wirabumi, Menak Jinggo nama olok-olok.”
Luar biasa memang pengetahuan mereka berdua ini. Aku ketinggalan berita. Tadinya kukira Menak Jinggo itu rokok. Dulu ada rokok yang mereknya itu. Kubisiki Mas HP dan dia mengiyakan.
Lalu ia berkata, “Kalau aku bacanya masih sambil lalu. Kemarin waktu ke Malang bawa buku tipis, cerita detektif Sherlock Holmes. Hanya 2 kasus. Jadi beberapa jam duduk di bis sudah habis kebaca. Sebelumnya jarang baca-baca buku detektif. Dulu waktu SMA sempat baca beberapa novel genre sejenis. Penulisnya Agatha Christie. Lupa judulnya.”
Sementara Mulya -Perempuan Penyuka Emot Guguk- merasa terpicu semangatnya untuk membaca buku lebih banyak lagi. Dia menyalahkan Cikgu –panggilan kesayangannya untuk Mas Narno- karena telah mengomporinya.
Aku dan Mas HP berada dalam perahu yang sama. Kami buta tentang LKH dan novel-novel kolosal.
“Nah coba baca Balada Gimpul. Saya tahunya LKH dari sana. Kalo Balada Gimpul tipis bukunya, bukan seri kolosal juga. Seru lho. Saya pingin beli bukunya. Pingin baca lagi. Dulu pinjem dari perpus,” Mulya memberi kami petunjuk.
“Ini cerita kolosal ya.” Mas HP mengambil novel Menak Jinggo, “Seandainya difilmkan macam Lord Of The Ring pasti keren. Soale adegannya mirip saat Frodo mau menghancurkan cincin di gunung Mordor.”
“Keren kalau sinemanya minimal sebagus Tutur Tinular. Beruntung di seluruh adegan tidak ada naga atau hewan hewan seperti di Indosiar. Gak ada adegan terbang juga. Jadi bisa difilmkan di Indonesia.” Sekarang giliran Andy yang memberi kami petunjuk.
Lalu sore itu kami habiskan untuk membahas novel lainnya berjudul Gajah Mada. Aku melirik Mas HP. Dia mengangguk. Kami berdua siap menerima cucuran air pengetahuan dari ketiga orang pembaca buku ini.
###
Temukan keseruan obrolan Para Pengikat Kata di WKWK
Waah… historynya obrolannya dibackup ya, Kang? Keren, bisa jadi bahan Wak Kecik berseri. 😁👍
LikeLike
Ya begitulah, Mas HP. Hehe
LikeLike
Penulisnya memang mantap jiwa
LikeLike
wkwkwk
LikeLike
wah aku ketinggalan membacanya di sini
LikeLike
ahaha.. kemana aja atuh
LikeLiked by 1 person
sibuk ngurus diri sendiri
LikeLike
semangat
LikeLiked by 1 person
makasih
LikeLike