Kata orang-orang, nama bulan berakhiran –ber pertanda musim hujan datang. Mulai dari awal September hingga akhir Desember, hujan tiba dan turun tanpa diduga. Awal Februari, secara ajaib hujan beranjak dari sore ke malam. Ia mengunjungi kota dan kampung saban hari dan baru benar-benar lenyap pada akhir Maret. Musim hujan akan sirna dengan sempurna.
Tapi sekarang masih Februari. Artinya hujan masih rajin menyapa. Seperti malam ini di Warung Kopi Wak Kecik.
Aku datang agak lambat. Pekerjaan di kantor sedang banyak. Sudah cukup jenuh kalau kamu tanya aku. Tapi apa mau dikata, belum ada pekerjaan lain. Andai lapangan pekerjaan semudah menemukan bakwan di setiap sudut kota, maka sudah dari dulu aku hengkang dari kantor tempatku bekerja.
Wak Kecik tampak sibuk di depan meja kerjanya. Barista itu sedang meracik kopi.
“Pesanan Non Fiska,” katanya pendek.
Aku lihat ke meja tempat kami, para Pengikat Kata berkumpul. Ada Fiska dan Dian. Mereka melhatku dan melambaikan tangannya. Aku mengangguk perlahan dan sok cool seperti Al-Ghazali.
“Boi, jangan melamun saja kau!”
Wak Kecik menaruh kopi pesanan Fiska di meja. Lalu dia mengambil segelas air putih ditambahkan es batu untukku.
“Wak tahu, kamu haus.”
Wak Kecil menunjuk peluh yang bercucuran dari wajahku. Kuambil tisu di atas meja. Sambil kuseka wajah, kutanya itu kopi apa.
“Ini namanya Kopi Gula Merah, boi. Untuk mereka yang lebih suka rasa kopi yang manis daripada yang pahit, menu kopi ini cocok. Wak mengombinasikan rasa kopi yang agak pahit dengan gula merah yang manisnya pas. Tekstur dari menu kopi yang satu ini lumayan creamy, tapi tidak pekat. Ya, cocok untuk mereka yang suka kopi tapi tidak mau yang terlalu strong. Kalau ingin kopi yang lebih kencang, kau bisa pesan yang Double Espresso. Udah, sana! Tolong bawakan pesanan Non Fiska.”
Wak Kecik melihatku manyun.
“Air esmu itu, gratis.”
Aku nyengir lantas berlalu menemui Fiska dan Dian.
”Makasih loh, udah dibawain,” kata Fiska.
“Iya, asal jangan tahu Nunu. Nanti dia bisa geram,” tambah Dian.
Aku menaruh tas di samping kursi. Kulihat Fiska menutup laptopnya. “Baru beres bikin poster. Pakai Canva.” Dia seperti cenayang, bisa memperkirakan pertanyaan yang ingin kuajukan.
“Ok, ok. Terima kasih atas informasi yang sangat penting itu.”
Fiska tertawa cekikikan, “Ya, siapa tahu Mas pengen tahu.”
Dia menyedot kopinya dengan buru-buru lalu membuka handphone.
“Eh iya aku baru aja nemu tulisan bagus,” katanya
“Apa itu?” tanyaku.
Gelas yang berisi air es itu sudah ludes kutenggak barusan. Sementara Dian sedang asyik membuka-buka majalah yang ada di meja. Fiska siap-siap meluncurkan pertanyaannya. “Menurut kalian toxic person itu cirinya apa aja?”
“Menurutku dia orang yang memberikan pengaruh buruk padamu,” jawabku pendek.
“Ah, general banget. Pengaruh buruk yang seperti apa?” tanyanya
Aku bilang pada Fiska bahwa pengaruh buruknya untuk segala aspek hidup. Misal kalau jalan atau nongkrong dengan si A (teman toxic) dia jadi lupa waktu, meninggalkan sholat, gemar membohongi orang tua,gila belanja, omong kasar, telat masuk kantor. Pemikirannya masuk dan memengaruhimu.
Menurutnya ada toxic person yang berbeda. Kalau yang tadi kusebutkan, Fiska bilang biasa saja. Dia suka tidak sadar bahwa ternyata dirinya bisa jadi toxic buat orang lain. Kalau dia suka sekali complaint, temannya jadi ikut-ikutan suka mengeluh. Dia tidak mau disalahkan. Eh ,temennya juga seperti itu.
Lalu Dian ikut menimpali. “Toxic person sama dengan kepala batu. Begitu kah?”
“Bukan. Tapi kepala batu menjurus toxic,” jelas Fiska.
“Kalau di hadapan anak-anak, tentu sebagai orang yang sudah dewasa mesti jaga omongan dan perilaku agar tidak lantas ditiru oleh mereka,” tambahku.
“Jangan kebalik. Namanya suka gak sadar. Jadi gini kadang perilaku buruk itu kan terjadi tanpa disadari, Mas,” Fiska masih berapi-api menjelaskan.
“Betul,” kata Dian.
“Out of controll. Benar. Suka keceplosan ya.” kataku
“Tahun 2020 harus banyak introspeksi kayaknya saya ya,” kata Fiska.
Kedua perempuan berjilbab di depanku itu kompak minum kopi masing-masing. Ibarat Upin dan Ipin, keduanya bahkan tak sadar melakukan gerakan yang sama.
Sementara itu di luar hujan kembali turun setelah sebelumnya reda. Di saat seperti ini, berkumpul dengan orang-orang yang satu frekuensi adalah hal terbaik. Sayangnya, tidak semua Pengikat Kata bisa datang malam ini. Kalau semua sudah berkumpul, Wak Kecik menjadi sumringah. Dia tak masalah meja-meja di sini berantakan selama pundi-pundi berdatangan.
Menurutku orang-orang sekarang lebih suka memakai istilah yang terdengar keren. Toxic Person bukan hal baru. Itu adalah nama lain dari orang yang tidak berakhlak baik. Solusinya ya belajar akhlak lagi.
Sedangkan Dian berpendapat bahwa kadang-kadang perilaku yang susah diubah. Ada yang sadarnya terlambat, ada yang sadarnya cepat. Introspeksi diri sangat perlu dilakukan. Bukan berarti kita benar, orang lain salah atau sebaliknya. Kadang-kadang ada orang yang niatnya baik, tapi caranya saja yang salah.
Oleh karena itu sebagai orang, kita mesti memiliki prinsip. Bagi muslim, agama adalah prinsip dan landasan hidupnya. Namun, pada hubungan sesama manusia ada tarik-menarik pengaruh satu sama lain.
Siapa yang dominan, dia yang bisa memengaruhi. Yang lemah ya manut dan ngekor saja. Misalnya seperti ini.
“Fiska, kita belanja yuk ke Kota Kasablanka. Mumpung gak ada Bos nih,” kata seorang teman.
Fiska yang lemah berkata, “Ngg.. tapi gimana ya. Aku bingung.” Tak lama kemudian dia pun ikut belanja padahal masih jam kerja.
Kalau Fiska yang dominan akan berkata, “Heh, ini masih jam kantor. Udah duduk lagi sono, lu. Makan gaji buta itu haram, tahu. Mendingan kerjain kerjaan lain yang belum kelar.”
Fiska melemparkan kertas brosur di atas meja yang sudah ia bentuk menjadi bola kepadaku. “Aku gak gitu,” dia melemparkan bola kedua, “justru aku yang ngajakin madol dan magabut. Haha.”
###
Temukan keseruan obrolan Para Pengikat Kata di WKWK.