Ingatan Tentang Preposisi

Ada dua hal yang paling masif terlintas di pikiran saya ketika mendengar atau melihat kata ‘Preposisi’.

Yang pertama adalah guru Bahasa Indonesia saya ketika SMA, Bapak Jonathan Bida, seorang lelaki berkacamata, berkepala botak sebagian, tetapi lebat kumisnya. Beliau hanya mengajar saya ketika saya duduk di bangku kelas sepuluh. Pasalnya, pada tahun kedua hingga ketiga saya menjadi siswi SMA, pelajaran Bahasa Indonesia diambil alih oleh guru lain. Sekalipun demikian, ajaran beliau adalah ajaran yang paling berkesan, sebab teknik mengajar beliau tidak mudah dilupakan.

Pada masa awal saya menjadi siswi SMA, saya mengalami culture shock. Bukan cuma karena pindah dari lingkungan homogen ke kawasan yang lebih bervariasi, tetapi juga pada teknik belajarnya. Guru matematika, Pak Johannes Benu, sangat tegas melarang siswa-siswi menyalin pekerjaan rumah di sekolah. Kalau ketahuan, kulitmu bisa lepuh oleh cubitan legendarisnya. Guru Biologi, Pak Ronald Bethan dan Guru Bahasa Inggris, Pak Bobby Tankonda, mewajibkan kami sepanjang pelajaran menggunakan Bahasa Inggris. Salah tidak masalah, yang penting percaya diri. Bagi Pak Bobby, toleransi hanya berlaku lima kali celetukan tidak sadar. Jika sengaja atau lebih dari itu, maka kami diperintah menghafal kosakata olehnya.

Lalu, Pak Jonathan, yang memiliki hubungan sangat erat dengan preposisi dan kawan-kawan, sering memberi kami tugas menulis esai, cerpen, atau puisi lalu dibahas bersama-sama. Tiga puluhan siswa ia absen satu per satu untuk menyodorkan kertas folio bergaris milik masing-masing yang lantas beliau baca lantang-lantang di depan kelas. Dua buah alat tulis terselip di sakunya: spidol besar bertinta hitam untuk menulis di papan sambil menjelaskan, dan spidol kecil bertinta merah yang didedikasikan khusus untuk melingkari tulisan yang salah pada kertas. Sejak kelas satu SMA, kami sudah merasakan derita mahasiswa tingkat akhir.

Kebanyakan komentar beliau adalah mengenai peletakan spasi yang salah kaprah. Tentu saja ini berkaitan dengan imbuhan di-. Mengenai kapan kita harus menulis ‘dibalik’ dan ‘di balik’, mengapa keduanya berbeda, dan bagaimana membedakannya. Beliau memberi tips mudah bagi kami.

“Kalau kamu mau membedakannya, ganti saja kata di- itu dengan me- atau ke-. Kalau bisa jadi me-, buang spasinya, dan kalau bisa jadi ke-, selipkan spasinya. Atau bisa juga pakai cara mengenal kata. Jika yang mengikuti di- adalah kata keterangan yang menyatakan atau menanyakan tempat atau lokasi, gunakanlah spasi. Sementara itu, apabila yang mengekorinya adalah kata kerja, hilangkanlah spasinya.”

Saya yang semula bingung pun tercerahkan.

Tips dari beliau pun sering diulang-ulang teman-teman lain. Setiap kali melihat penggunaan di- yang salah di mana saja, seperti di pamflet, iklan-iklan, brosur, spanduk dan lain-lain, mereka jadi cerewet mengomentari.

“Weee, salah ini! Kalau Bapatua Jonathan Bida lihat ini, su jadi merah semua (translate: Hei, salah, nih! Kalau Pak Jonathan Bida melihat ini, sudah jadi merah semua (kertasnya))!”

Tidak jarang, kalimat itu dilanjutkan dengan pemaparan tips beliau. “Kata Bapak Jonathan Bida, ….”

Maka, saya pun terbiasa membedakan peletakan preposisi tersebut, berkat kata-kata Pak Jonathan yang sering diulang terus-menerus. Hingga saat ini, walaupun saya sudah lulus bertahun-tahun yang lalu, saya masih mengingat ajaran beliau.

Semoga Pak Jonathan dan semua guru diberkahi Tuhan, dan senantiasa berada dalam perlindungan-Nya.

Nah, berbeda, ‘kan?

Hal kedua yang saya ingat dari kata preposisi adalah masa ketika saya masih aktif bergabung dalam sebuah komunitas menulis berbasis roleplay di Facebook. Namanya Akademi Sastra Fanfiction dan sering disingkat AstraFF.

Saya bergabung bersama komunitas ini pada tahun 2013 silam. Ia berwujud sebuah halaman di Facebook. Saya merasa tertarik bergabung ke dalamnya seusai membaca deskripsinya. Di sana dinyatakan sebuah kisah pembuka yang mengingatkan saya pada worldbuilding Harry Potter, Game of Thrones, Avatar the Legend of Aang, yang dicampur dengan Twilight, Casper, bersama cerita fiksi penggemar dari berbagai macam fandom.

Namanya juga Akademi Sastra Fanfiction, ‘kan? Maka wajarlah jika pada masa itu, mereka menarik minat banyak kalangan. Para gamers, wibu, K-Popers, penggemar Harry Potter, penyuka detektif, sampai para penulis, dikumpulkan ke dalam satu wadah.

Diceritakan bahwa ribuan tahun yang lalu, selepas sebuah gempa besar karena ledakan nuklir yang melanda bumi, sebuah pulau misterius muncul tiba-tiba ke permukaan samudera. Sekumpulan kesatria memutuskan untuk meneliti pulau tersebut hingga didapatkanlah kesimpulan bahwa pulau tersebut aman untuk ditinggali. Akibat dampak debu nuklir perang dunia, pulau tersebut menjadi tempat pengungsian penduduk sekitar dan disebutlah pulau itu dengan nama Edentria. Surga yang damai.

Sebuah peradaban pun mulai terbentuk di pulau tersebut, tetapi itu bukan hanya sebuah peradaban manusia biasa. Ada beragam makhluk aneh yang hidup di sana. Manusia, hantu, vampir, manusia serigala, dan makhluk-makhluk aneh lainnya. Tempat itu menjadi tempat berkumpulnya para kesatria dan entitas aneh tersebut, dari berbagai unsur kekuatan di setiap belahan bumi. Para kesatria lalu mendirikan sebuah kompleks pendidikan megah yang disebut Akademi Sastra Fanfiction [AstraFF].

Ceritanya seperti itu. Kemudian, bagi anak-anak yang ingin bergabung, diwajibkan menyusun karakter sendiri yang akan diperankan ke depannya. Terserah mau menjadi apa, jadi hantu bergaun ruffle, vampir kuno dari era Victoria dengan jubah legendaris yang apak, werewolf betina yang suka makan daging manusia, anak Dewa penguasa Neraka yang dikutuk ke bumi karena membebaskan tahanan, atau kurcaci lucu yang senang memetiki buah aprikot di taman …, bebas. Karakter itulah yang akan diperankan menjadi siswa akademi di sana, dengan interaksi dalam wujud sebuah cerita pendek, yang akan dilanjutkan oleh orang lain dengan karakter mereka.

Di tempat itu, saya banyak belajar tentang kepenulisan fiksi. Bagaimana kita menyusun sebuah plot yang bagus? Bagaimana caranya kita untuk bisa membuat cerita misteri, angst, romansa, atau apa pun yang bisa diterima banyak kalangan? Serta bagaimana teknik menulis fiksi yang baik? Bagaimana meletakkan preposisi yang benar dalam sebuah kalimat?

Selain urusan fiksi, saya juga mendapatkan banyak sudut pandang yang membuat saya bisa melihat dunia dengan kacamata yang lebih luas. Termasuk pula bagaimana saya bisa mencintai-Nya dengan jalan yang lebih baik.

Pada tahun keenam keberadaan saya di sana, akhirnya saya putuskan untuk keluar karena beberapa pertimbangan pribadi. Meskipun sudah bukan lagi bagian dari mereka, setiap kali membuka Facebook, saya selalu menyempatkan diri untuk menyapa teman-teman dari sana yang memang memenuhi hampir 80% daftar pertemanan saya.

Semoga keberadaan saya dalam komunitas Ikatan Kata juga bisa awet. Bukankah berada dalam lingkaran yang bisa membuat saya banyak belajar lagi merupakan anugerah terindah dari-Nya dalam kehidupan ini?

Advertisement

15 thoughts on “Ingatan Tentang Preposisi

  1. “jubah legendaris yang apak.” (Apak artinya apa?)

    Btw, saya juga senang dengan cerita fiksi. Punya impian bisa menerbitkan novel fiksi karya sendiri.

    Insya Allah, Mira akan betah dan awet di ikatan kata. Karena bukan hanya kata yang diikat melainkan hubungan pertemanan yang semoga bisa berujung menjadi persaudaraan.

    Like

    1. apak a 1 berbau tidak sedap karena telah lama disimpan dan sudah berjamur: roti yang — itu belum juga dibuang; 2 berbau tidak sedap karena lapuk

      Menurut KBBI daring artinya demikian, Mas. Itu sering keliru ditulis apek.

      Saya juga punya mimpi mau nerbitin novel, tapi emang enggak bisa nulis panjang karena cepat bosan πŸ˜‚

      Aamiin.

      Like

      1. Haha… dikira BuSet dong main Binomo.

        Yah, justru aku perlu kritik dan saran dari bloger secerdas Mira. Kalau dilirik, masih banyak kurangnya di blogku.

        Like

  2. Tutorial bikin gambar-gambar lucu dong miraa.. aku suka liatnya.. hehehe

    Baca tulisan ini, seperti artikel yang di muat surat kabar. Kesannya rapi banget.. 😍

    Liked by 2 people

Comments are closed.