Yang Paling Tulus Berkorban

Jejak-jejak kenangan masih bersisa, seolah ia baru saja berlalu kemarin siang. Seringkali, ketika memanggil kembali memori masa silam, saya selalu merasa jarak bertahun-tahun yang sudah lewat menghilang entah ke mana. Seolah saya baru saja disuruh tidur siang, dan terbangun dengan wujud dewasa.

Kamu bisa saja bilang saya gagal move on atau terlalu mellow karena keseringan menggali masa lalu dan bukannya memintal masa depan. Tidak apa-apa, saya sadar diri. Tetapi tidakkah kamu setuju bahwa tidak ada yang lebih hangat daripada kenangan masa kecilmu di mana kamu masih duduk di tengah-tengah keluarga?

Keluarga. Bapak, Ibu, Kakak, Adik. Mungkin sebagian orang tidak pernah mengenal salah satunya. Saya sendiri tidak pernah mengenal kata adik sebelum usia saya menginjak enam tahun. Itu pun bukan anak ayah dan ibu saya, melainkan anak dari kakak pertama saya. Karena saya terlalu belia untuk dipanggil ‘Tante’.

Belakangan saya baru tersadar, ada begitu banyak hal yang saya dapatkan dari keluarga. Kasih-sayang, kenangan, didikan …. Tetapi mengapa selama ini yang saya ingat hanya kenyataan kalau saya tidak diberi apa-apa? Saya baru tersadar akan ini setelah saya mengikuti saran terapis saya untuk mencoba mengingat dan mencatat kebaikan-kebaikan yang telah orang lain lakukan untuk saya. Hal ini seperti bukti akan teori psikologi bahwa manusia umumnya menilai rasa sakit lebih kuat daripada kenikmatan; manusia cenderung lebih mudah mengingat masa susah ketimbang masa senang; dan manusia lebih sering mengingat hal buruk yang dilakukan orang terhadapnya ketimbang jasa-jasa.

Saya punya sepuluh orangtua kandung. Satu ibu, satu ayah, dan delapan saudara yang lebih tua. Ya, kamu benar. Saya adalah anak bungsu. Dan seberapa kali pun saya denial, saya harus mengaku bahwa saya manja.

Tidak pernah saya lihat masa muda ibu saya, selain dari foto hitam-putih–yang lusuh dan menguning–yang menampakkan momen ketika ketujuh kakak saya masih kecil. Ketika usia saya nol bulan, usia ibu saya sudah empat puluh sembilan tahun. Usia yang wajar untuk menjadi seorang nenek yang sudah menopause. Tetapi beliau belum. Beliau masih diberi kesempatan untuk menjadi ibu dari katastrofe macam saya.

Ibu saya juga bukan orang berpendidikan tinggi. Beliau cuma wanita kampung lulusan SD yang mau-mau saja dinikahi lelaki yang lebih tua lima belas tahun, pada usianya yang ketujuh belas. Mau-mau saja membesarkan delapan anak dengan anggaran pas-pasan dari gaji pegawai BUMN, dan bertahan begitu lama dalam satu pernikahan yang dimulainya sejak belia. Buat saya, itu jelas bukan hal yang mudah.

Yang namanya ibu, tentu saja berjasa. Tangan beliau yang memasak makanan hingga menjadi darah dan daging yang tumbuh dalam diri saya. Doa beliau yang selalu mengiringi langkah saya. Beliau yang mengurusi saya ketika sakit, membela saya ketika saya dijahili abang-abang saya, dan mengusap-usap kepala saya ketika saya terlelap.

Sama seperti wanita yang saya sapa Umi, saya juga tidak pernah melihat sosok ayah saya selagi muda. Lelaki yang saya panggil Abah itu bahkan sudah pensiun ketika saya naik kelas tiga SD. Orang-orang yang datang mencari Abah dan menemukan saya yang menyambut mereka, selalu bertanya, “Ba’i (Kakek) ada?”

Yang saya kenang dari beliau adalah sikap keras dan tegasnya dalam mendidik. Salat bolong, kena tempeleng. Harus bisa mengaji, malu kalau orang Islam tidak bisa mengeja huruf Arab, kata beliau. Harus bisa bela diri, anak-anaknya tidak boleh lembek. Di sisi lain, beliau pula yang membuat saya lembek. Saya masih ingat ketika saya belum duduk di bangku sekolah, dan beliau masih aktif bekerja, beliau selalu pulang kantor dengan membawa oleh-oleh. Biskuit Selamat, Es Moni, ayam goreng, kue-kue yang terkenal pada masanya, kaleng susu …, semua untuk putri bungsunya. Bahkan sampai saya sudah SMA, setiap kali beliau mendapatkan uang pensiun, beliau selalu menyisihkan uang buat beli buku.

“Beli buku,” katanya, “biar kamu bisa belajar dan pintar.”

Makanan yang saya santap, rumah yang saya tinggali, semuanya adalah hasil kerja keras beliau. Kurang apa lagi untuk menyebut beliau sebagai pahlawan?

Tujuh kakak saya, ya, ketujuh kakak saya adalah orangtua saya yang lainnya. Abang pertama saya lebih cocok menjadi ayah saya. Pautan usia kami 23 tahun. Beliau menikah ketika saya TK. Beliau adalah pengganti ayah, setelah Abah tiada.

Sudah banyak jasa beliau yang terlempar buat saya. Padahal ketika saya terlahir, beliau tidak tahu kalau beliau punya adik lagi, karena bekerja di luar kota, dan waktu itu kami belum punya telepon. Boro-boro telepon. Rumah pun masih berdinding setengah bambu.

Beliau yang membiayai kuliah dua abang saya yang lain. Saya punya empat orang abang termasuk dirinya. Semua itu tentu tidak akan terwujud jika istrinya bukan orang yang baik.

Dari kakak ipar, saya belajar menjahit, merajut, membuat bunga dari sedotan, menganyam tas macrame. Ia juga yang mengubah kehidupan kami menjadi sedikit lebih baik dengan mendirikan kos-kosan dan membangun kios. Setidaknya, kami punya pemasukan harian. Setelah itu, tidak ada lagi sebutir telur yang dibelah lima, atau semangkuk bubur alih-alih nasi karena kehabisan beras. Pelan-pelan, kehidupan kami terbangkitkan.

Kakak kedua saya adalah guru saya. Beliau yang mengajarkan saya balistung bahkan sebelum saya masuk TK. Kala itu beliau memang sedang kuliah keguruan dan menjadikan saya sebagai murid pertama. Sampai saya naik ke SD kelas dua, saya punya guru privat sendiri. Guru privat yang selalu menghadiahi saya cubitan dan pelototan sangar jika saya malas mengerjakan PR. Guru privat yang saya juluki penyihir karena lebih sering memajang tampang galak daripada tersenyum. Tetapi guru privat itu juga yang selalu mencari saya sampai ketemu jika saya tidak pulang sampai magrib karena keasyikan bermain. Guru privat yang tidak saya beri gaji atau upah.

Kakak ketiga saya adalah pahlawan paling ikhlas yang pernah ada. Sewaktu saya masih SMA, beliau yang pontang-panting sibuk di dapur, bergelut dengan wajan, memasak nasi goreng yang cuma berbumbu bawang, cabai dan garam demi sarapan saya. Setiap pagi, tanpa alpa. Kadang bubur, kalau kami kehabisan beras. Tapi saya sering merajuk, dan untuk itu ia berlari ke arah kios tetangga, membeli roti seharga seribu rupiah dari uang hasil mengorek bawah lipatan pakaian.

Hidup saya waktu saya masih SMA memang dramatis, kok. Kala itu Abah sakit, terserang paranoid. Dua abang saya yang termuda belum mendapatkan pekerjaan tetap, masih kerja serabutan dan cuti kuliah. Uang pensiun Abah cuma 700.000-an. Maka, jangan heran jika saya bilang di masa itu kami kerap kehabisan beras.

Kakak perempuan saya yang berikutnya juga tidak berkuliah. Sebelum dipersunting suaminya sekarang, ia bekerja sebagai penjaga toko kue dengan gaji yang minim. Ia yang sering membantu untuk uang saku saya setiap berangkat sekolah. Ia juga yang membeli buku tulis dan perlengkapan sekolah ketika masuk semester baru. Dari uang hasil berjualan kue orang di toko orang pula.

Kemudian, abang kelima. Sejak saya kecil, ia sudah merantau ke ibukota. Bekerja jadi kenek angkot, pelayan kafe, lantas membiayai kuliahnya sendiri dan akhirnya mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Berkat dia, saya bisa punya tas-tas bagus, boneka barbie, kotak pensil, krayon warna yang merahnya ada tujuh, kuningnya ada lima, dan varian warna lain yang penuh tingkatan, stiker barbie yang berkilau-kilau, dan balon-balon lucu. Berkat dia pula, saya bisa punya ponsel untuk pertama kalinya ketika duduk di bangku kelas sebelas.

Abang keenam saya adalah solusi terbaik jika saya punya tugas TIK. Ketika ia cuti kuliah, ia bekerja di sebuah rental komputer, dan ia lah yang mengerjakan tugas komputer saya. Cukup bayar pakai terima kasih dan memijit kepalanya jika ia meminta.

Abang ketujuh saya, adalah anak bungsu selama sebelas tahun. Kehadiran saya menggusur stratanya dari anak kesayangan menjadi anak biasa-biasa. Makanya tidak heran jika dulu, ia yang paling sering mengusili saya. Tetapi ia baik. Sangat baik. Setiap kali ada tugas menggambar, berkreasi, merancang prakarya, saya tinggal memberi tahu kepadanya detil-detilnya, lalu tidur, dan besok pagi semuanya sudah beres. Ia sering memetiki kersen, mencuri kapur warna-warni dari kampus, dan memberikannya pada saya. Ketika ia menerima uang beasiswa, ia membelikan saya sepatu baru dan jaket. Setiap kali ia berkencan dengan pacarnya, ia selalu membawa pulang oleh-oleh buat saya. Setiap kali ia menerima upah dari membuat boks kayu atau memperbaiki rumah tetangga dan saudara lain, ia selalu bertanya, “Pulsa masih ada?”

Merekalah pahlawan bagi saya. Meskipun hari ini kami semua sudah terpisah, dan kini saya sendirian, di petak kecil yang saya sewa, serta tiada lagi pelototan garang, tugas-tugas yang butuh bantuan mereka, celetukan jahil, sabetan rotan, kewajiban belajar, dan lain sebagainya, saya justru kepingin sekali lagi, sekali saja menyicipi kembali euforia tersebut. Tetapi tentu saja, semua itu mustahil.

Orang-orang yang saya sebutkan di sini adalah pahlawan terbaik yang saya miliki. Tanpa mereka, saya tidak akan berada di tahap ini. Keluarga tetap akan menjadi keluarga, seburuk apa pun mereka. Keluarga adalah orang paling tulus yang mau berjuang untuk saya. Merekalah tempat saya bersandar dan tempat saya untuk pulang.

Advertisement

7 thoughts on “Yang Paling Tulus Berkorban

Comments are closed.