Pahlawan yang Melampaui Kata-Kata

Pahlawan adalah sebuah gelar, atau barangkali, sebuah profesi. Karena berimbuhan kata -wan, saya juga tak yakin apakah ia berasal dari kata pahla atau pahala. Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah soal lain lagi.

Pahlawan tanpa tanda jasa – logika kalimat ini menandakan bahwa pada asalnya seorang pahlawan harusnya mesti diberi atau punya tanda jasa maupun tanda penghargaan. Pahlawan lahir karena ada yang menjadikannya pahlawan, dan kata “pahlawan tanpa tanda jasa” membuat kita bertanya apakah pahlawan adalah suatu gelar atau suatu sikap, karena gelar toh adalah bentuk tanda jasa juga.

Agar kata punya nyawa, ia harus punya makna. Pahlawan adalah sebuah kata yang ada dalam kamus kita. Makna ada yang tertulis, ada yang hidup belaka. Tidak semua kata bisa didefinisikan dengan tepat oleh kamus, tapi kita percaya bahwa makna suatu kata tidak dibatasi oleh kamus. Kata-kata yang ada di kamus konon meletakkan konsensus pada penggunaan suatu kata, dan makna di kamus boleh tak terpakai, tapi kata bisa hidup lebih lama.

Apa peduli Anda soal retorika di atas. Kita mungkin masih butuh pahlawan. Orang-orang yang kita anggap pahlawan adalah sosok-sosok yang kita bersandar padanya dalam cita, gagasan, atau teladan, mungkin sekadar hormat. Kita tahu bahwa Soekarno dan Moh. Hatta adalah pahlawan kita, karena dalam soal-soal kemerdekaan Indonesia pada mereka kita banyak bersandar.

Konon, pahlawan adalah salah satu gelar yang memerlukan persyaratan administratif untuk disebut Pahlawan Republik Indonesia. Mungkin sekali tokoh-tokoh yang mendapat sematan gelar pahlawan republik itu layak jadi sandaran gagasan berbangsa kita. Sayangnya banyak pula sandaran berbangsa lain yang tidak pernah kita tahu, karena sejarah tidak mencatat mereka sebagai pahlawan – setidaknya pahlawan republik ini yang diakui secara konstitusional.

Saya kira soal ide berbangsa kita bisa bersandar pada perilaku, perjuangan, atau gagasan orang-orang yang diakui republik itu. Bagaimana dengan ide-ide kecil, perbuatan sehari-hari, aktivitas ngopi sehari-hari? Bisakah kita menemukan pahlawan-pahlawan yang bisa jadi rujukan dan teladan dalam proses-proses kecil seperti itu?

Sedari mula adalah narasi yang rumit dan berputar-putar. Ini penting saya utarakan karena kata dan gelar pahlawan tidak lahir dari ruang kosong.

Izinkan saya bercerita. Setiap pulang kampung ke Malang, sebagaimana orang-orang Nahdliyin kebanyakan, bertandang ke makam adalah satu rutinitas tersendiri. Sebagai muslim cum orang Jawa kebanyakan, saya percaya bahwa manusia tak sungguh mati – mereka hanya berpindah dari satu alam ke alam lain. Karena itulah berkunjung, menyampaikan salam, atau membaca doa-doa tak ubahnya bertandang ke rumah keluarga, kerabat, atau teman-teman yang hidup.

Tak jauh dari makam yang biasa saya kunjungi, sembari merapal doa dan wirid, saya akan melihat lingkungan sekitar. Biasanya di musim hujan begini, bunga-bunga kamboja bermekaran, dedaunannya jatuh ke bumi. Buah-buah mengkudu bekas digigit kelelawar atau mulai digerogoti semut-semut besar, bergelimpangan di sela-sela tiap nisan.

Di antara nisan-nisan yang terpancang di Pekuburan Gading yang kuncennya sudah ganti generasi itu, banyak yang diselipkan tiang dan gambar bendera merah putih. Ada yang memancang bambu, besi, atau kayu. Sepertinya tiang-tiang semacam itu sering dicat, mungkin oleh para anak cucunya – dan saya kira itu pertanda bagus perihal berkomunikasi dengan yang tiada.

Dulu saya kira mengapa ada nisan-nisan yang dipancangi tiang-tiang dengan gambar bendera seperti itu, mungkin mereka anumerta anggota ABRI atau orang yang berjasa untuk republik. Tapi apa saya tahu soal beginian di masa lalu. Sampai kemudian hari, lewat obrolan dengan Pakdhe – kakak dari bapak saya – yang begitu legendaris kisah-kisahnya yang begitu banyak stok babad dan untold story tentang Gading Kasri, kampung saya, tahulah saya bahwa orang-orang yang dipancang tiang dengan gambar bendera di kuburnya dulu pernah merasakan pertempuran melawan penjajah. Bisa saja mereka TKR, santri, jebolan PETA, atau jawara-jawara yang melawan Londho (kolonial Belanda) atau Jepang.

Para mendiang yang mendapat tiang bendera itu adalah yang diketahui melawan kolonial. Orang-orang semasa mereka yang tidak terlibat gerilya, mungkin menjadi petani, pedagang, nelayan, tukang kayu atau pandai besi, serta lain-lainnya yang tidak diketahui perannya dalam gerilya melawan penjajah tidak mendapat kehormatan mendapat tiang pancang bergambar bendera seperti itu.

Sejarah konon adalah kisah orang-orang besar. Pahlawan senantiasa digambarkan sebagai sosok yang pengaruhnya sungguh kuat dalam sejarah. Apakah mereka yang nisannya tertancap tiang seperti itu adalah orang besar, sepertinya tidak juga. Tapi mereka adalah pahlawan pada zamannya.

Namun saya mulai meyakini bahwa sejarah sepertinya juga dibentuk oleh orang-orang kecil, orang-orang biasa. Orang kecil dan rakyat jelata mungkin tak mendapat tanda jasa, tapi mungkin mereka dulu berbuat sesuatu untuk republik.

Tapi sayangnya untuk menjadi bagian dari sejarah besar, kembali ke awal obrolan ngalor ngidul kita: orang-orang yang bisa digelari pahlawan adalah sosok yang bisa kita jadikan sandaran moriil maupun gagasan dalam kehidupan ini. Mulai kehidupan tingkat makro, sampai tingkat mikro. Kalaupun menyandarkan gagasan kita kepada para pahlawan republik ini terlalu rumit dan membuat jebol otak, mengapa tidak bersandar pada pahlawan-pahlawan di sekitar kita? Orang-orang yang berbuat baik sekecil apapun untuk dunia ini, dan kita angkat topi untuknya, menghormati jasanya, barangkali adalah pahlawan-pahlawan kita.

Mungkin orang yang membalik sandal kita di luar masjid; membikinkan teh manis sepulang kerja; membelikan gorengan, rokok atau cilok untuk menjadi kawan bicara dari penatnya kehidupan – mungkin, mungkin sekali, mereka pahlawan kita. Kita tak memberi mereka gelar pahlawan, tapi mereka hidup seperti apa yang mungkin kita angankan tentang pahlawan: menyelamatkan kehidupan, berbuat baik untuk dunia, dan pada kebaikan mereka kita menyandarkan hormat.

Advertisement

4 thoughts on “Pahlawan yang Melampaui Kata-Kata

Comments are closed.