Jika pernah, bagaimana rasanya? Bergejolak atau semua kupu-kupu di perut terbang tanpa arah. Mungkin tersenyum tiada henti, tapi jangan sampai gila! Banyak memang fenomena seperti itu, dia yang murah senyum malah disangka gila. Eh apa kabar yang tiba-tiba tersenyum tanpa alasan? Ya, kita lupakan saja pembahasan tak tentu ini.
Dalam sebuah challenge kali ini, aku diminta untuk membuat review pada novel Andrea Hirata, yang berjudul ayah. Bukan keseluruhan novel, tetapi hanya satu bab. Dan aku memilih ‘enam’. Entahlah, awalnya aku hanya penasaran dengan judulnya. Bab ceritanya pendek. Namun dapat mengingatkanku pada masa ketika aku SMP.
Saat itu aku bertemu dengan satu pelajaran yang entahlah. Mending tak tinggal tidur saja kalau sudah bahas itu. Asli aku memang tidak suka atau aku yang memang tidak pernah mau paham. Dan aku juga bertemu tiga guru berbeda. Cuman semua guru itu menerangkan sesuka mereka. Paham atau tidaknya ya urusan belakang. Kalau sang murid tidak bertanya, ya sudah. Namun, lain halnya dengan Izmi, gadis dalam novel ini. Dia bertemu satu guru yang sabar mengajarinya. Yang setia menemaninya belajar sampai paham. Yang bahkan merasa bersalah setelah memarahinya. Sebab Izmi sulit untuk diajari. Dan yang terjadi Bu gurunya masuk rumah sakit karena hipertensi.
Di sepanjang hari itu, Bu guru senyum-senyum sendiri. Tak ada guratan marah atau kecewa di wajahnya. Mukanya berseri setelah memberikan kertas ulangan matematika Izmi. Memang, tidak ada yang tidak mungkin, bukan? Izmi sudah berusaha dan belajar. Akhirnya bahagia menyelimuti hatinya juga. Benar saja, kini nilainya naik dari mentok angka tiga sekarang telah berubah menjadi enam.
Syahdan, ketika dia kembali pada pekerjaannya. Dia masih menyimpan kertas ulangan bersejarah itu. Dipandanginya kertas itu sebagai semangat. Apalagi jika itu hasil dari sebuah proses yang melelahkan. Izmi senang, dia bahagia. Dan mungkin menurut sebagian orang itu hal yang remeh. Namun coba lihat sekali saja. Coba lihat dari sudut pandang yang berbeda! Sudut pandang Izmi tentunya. Maka, kita akan menemukan hal yang berbeda.
Lumayan. Tiba-tiba balik, tiba-tiba setor tugas. Lanjutkan…
Sedikit diskusi yuk…
‘Dimintai untuk membuat’ kalimat ini janggal enggak sih? Kok rasanya enggak enak ya? Kalau langsung diminta saja tanpa i rasanya lebih cepat. Dimintai mungkin lebih pas kalau diikuti nomina bentukan dari kata kerja. Contoh ‘pertanggungjawaban’.
LikeLike
Haha, iya sih aku rasa juga begitu.
LikeLike
logatnya jadi terbaca
LikeLike
Logatku dalam menyampaikan sesuatu atau apa nih, kak?😅
LikeLike
Memang sih beberapa orang jawa tak bisa meninggalkan jawanya dalam ucapan maupun tulisan, termasuk saya
LikeLike
O iya ya.. enggak sadar😂
LikeLike
sudah bawaan, kalau saya santai saja
LikeLike
Menurutku ini buku Andrea Hirata yang paling standar huhuhuhu. Tapi tetep seneng bacanyaaaa🔥🔥
LikeLike
Aku baru pertama kali baca buku Andrea Hirata😁 dan aku rasa memang begitu.. tapi menurutku sangat berkesan.
LikeLiked by 1 person
Waah Kak Devita harus baca buku-bukunya yang lainnn, banyak yang lebih baguuus💖
LikeLike
Yang lebih bagus tentu banyak. Bukan dari Andrea saja.
Apa yang Devi dan kami lakukan di sini karena sedang membahas novel Ayah ini.
Next, novel lainnya bisa jadi bahan acuan.
Kalau Prita sudah membaca novel Ayah yang katanya ‘paling standar’ ini, lalu apa reviewnya?
Coba ceritakan dan tulis di sini. Agar kami bisa belajar bersama-sama.
Patokan atau barometer ‘standar’ yang seperti apa sih yang dijadikan alat ukurnya?
Bagi saya yang baru bisa menulis blog, belum sebagus Andrea, rasanya kalau dinilai pun pasti hasilnya jauh sekali dari standar
LikeLiked by 2 people
Baik, siap😊
LikeLiked by 1 person
Mending tak tinggal tidur. Kata ‘tak’ itu tidak asing bagi orang Jawa. Tak tinggal sik yo? Tak antemi kowe. Tak pek bojo. Hehehehe.
Kalau aku paham Devi, entah kalau orang Sumatra atau orang Kalimantan.
😀
Btw, Izmi beruntung punya guru yang mengerti dan memiliki sudut pandang yang pas dalam mendidik muridnya.
Nice post.
LikeLike
Terima kasih, kak. Haha, lain kali akan aku kasih artinya.😊
LikeLike