Hujan akan Turun Sebentar Lagi

layang

Hujan akan turun sebentar lagi. Mungkin saja. Udara terasa basah.  Seperti ada tiada rerintik yang hinggap di rambut kepala.  Langkahku tetap seperti biasa. Sebelum hujan benar biarlah tetap begini. Melangkah pelan namun tidak terlalu pelan. Juga tak perlu tergesa. Sehamparan hanyalah rerumputan yang kering di sana sini. Ada sisa jerami yang jauh lebih mengering. Galengan tak lagi berbentuk. Remuk, bahkan ada yang runtuh di beberapa sisi yang agak tinggi. Mungkin ujung kemarau belum terbasuh. Jalan ini sudah sangat lama tidak kulewati. Bahkan kukira telah mati. Tak kusangka jalan setapak yang masih berarti.

Jalan setapak pilihan para pejalan kaki. Pilihan tercepat bagiku yang waktu itu anak sekolah di lain kecamatan, meski masih terhitung tetangga desa. Kurang lebih dua kilometer jauhnya. Pilihan tercepat para bakul sampai ke pasar. Bukan karena tak ada jalan yang lebar. Sekali lagi ini pilihan tercepat menuju tujuan. Jalan raya haruslah lewat melingkar. Mungkin dua kali lipat lebih lama. Meski resikonya aku harus jalan sendirian atau sesekali dengan satu dua orang teman. Dari tetangga kampung  sebelah selatan. Nasib sekolah negeri justru tak punya teman.

Dan jalan itu tidak bisa kulewati jika musim tanam padi sedang bertandang. Bukan karena lebatnya rerumputan, tapi karena pematang sedang dirapikan, ditebalkan, ditambal dengan lumpur. Sedikit diperlebar. Memperbaiki yang hancur. Mengganti yang runtuh.

Ada sisa pangkal jerami yang mengering. Beberapa akarnya nyembul. Tak kutemukan tonggak sisa pohon turi, yang selalu lebat di musim hujan. Mengingatkanku saat menggiring ternak sapi menelateni petak sawah yang sedang kerontang. Menjumput rumput kering kecoklatan yang tak seberapa. Bersabar di bawah terik demi hewan peliharaan terpenuhi kebutuhan. Yang tidak bisa kulakukan dengan memenuhi keranjang untuk dibawa pulang. Jika dipaksakan kalah dengan derasnya keringat dan deraan lelah. Pun mata susah menemukan remah-remah rumput dalam terpaan terik. Rumput terlalu lembut untuk tangan-tangan manusia.

Menggembala sapi tidak sendirian. Lebih banyak kawan yang menggiring kambing ke petak yang sama. Ternak dibiarkan mencari makan hingga jelang petang. Kemudian digiring pulang ke kandang. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tidak ada yang merenggut tanaman, karena tidak ada yang bisa direnggut. Pemilik sawah juga sedang jengah. Tak hendak menghardik sesiapa atau apapun yang masuk ke sawah. Toh tidak ada sesuatu yang perlu dipertahankan. Rumput gajah yang biasanya dipupuk pun tinggal remah-remah. Semua sama-sama maklum. Saat sawah jadi ladang penggembalaan seperti tak bertuan.

Kuhela nafas dalam.

Sejauh mata memandang hanyalah sepi. Kerontangnya masih sama. Bahkan batu besar di tepi sungai itu masih ada. Mungkin tak ada yang mau menjamahnya, makin lumutan saja. Tak ada lagi kambing atau sapi yang digiring. Hanya terngiang lenguhan sapi di kejauhan entah di mana. Mungkin di dalam hatiku, bukan pada pendengaran. Terngiang bukan terdengar. Tak ada lagi anak gembala. Pangkal batang padi tetap merana. Tak ada lagi dua gawang…

Dua gawang yang biasa kami dirikan. Panenan terakhir di awal kemarau kami sambut dengan kegembiraan. Beberapa batang bambu kami rangkai. Menyerupai gawang sungguhan, tentu dengan ukuran yang kita sesuaikan. Kita siapkan sepasang. Satu petak sawah yang lebar dan agak tinggi kami pilih. Yang lebih tinggi dipilih agar mudah memantau hewan gembalaan.

Kadang beberapa anak kota kecamatan yang tak kenal bagaimana menggembala kambing datang bertandang. Membawa bola mengajak tanding persahabatan.  Mungkin bosan dengan lapangan kecamatan yang luas, atau ingin menjajal permainan anak-anak kampung yang memanfaatkan apa saja bisa jadi lapangan.

Sialnya kami tak pernah permisi, gawang kami dirikan begitu saja, sawah dijadikan lapangan. Untungnya tak pernah ada yang mempermasalahkan. Kata orang-orang bekas lapangan anak-anak bermain bola tendang akan menyumbang kesuburan. Entah bagaimana ilmu pengetahuan menjelaskan kebenaran atau ketidakbenarannya. Yang penting kami riang dalam kemarau berkepanjangan.

Riang?

Ada sesak di dada kalau mengingatnya kembali. Jauh sebelum aku menjadi penggembala, jauh sebelum aku mengenal sawah ini bisa dijadikan lapangan bola. Musim yang sama, suasana senja yang sama. Semburat awan yang tak jauh beda. Saat itu derai membasah tak dapat dicegah. Bahkan sampai tergugu.  Pecah tercekam rasa khawatir. Ditinggal sendirian tanpa kata. Tetiba datang orang lain yang menggoda, mengintimidasi, maka tumpahlah derai itu.

Gilanya lagi, bukan bertanggung jawab membujukku untuk tenang. Malah menghilang entah ke mana. Kakak lelakiku lari mengejar layang-layang, adiknya sesenggukan ditakut-takuti temannya.

Sekali lagi kuhisap udara sekuat-kuatnya.

Di sudut sana perbatasan sawah dan kampung. Pohon munggur milik paman, yang kini tinggal kenangan. Milik paman adalah pohon munggur terakhir di kampung. Kami biasa mengumpulkan biji munggur untuk digoreng.  Sebelumnya dikupas kulitnya dikumpulkan bijinya. Bekal nonton wayang. Atau kalau tidak biasanya ada juga di pagelaran wayang yang jual munggur goreng. Siap santap, sambil nonton.

Hujan akan turun sebentar lagi. Mungkin saja. Kupercepat langkah. Agar segera sampai rumah.

************

( Ini tulisan yang cukup lama tersimpan, dan belum juga selesai. Maka dengan adanya ketik ke10, kunyatakan selesai. Kupilih sudut pandang orang pertama tunggal).

galengan: terasering, sengkedan

menelateni : dengan sabar

Advertisement

4 thoughts on “Hujan akan Turun Sebentar Lagi

  1. Wah, Cikgu banget ini. Sama seperti puisi-puisinya yang banyak menyinggung alam dan pedesaan. Seperti kebawa jalan-jalan di sawah. Jadi ingat masa kecil.

    Liked by 1 person

  2. Wuih, keren. Sudah langsung tuntas KETIK#10.

    Membaca pos ini seolah-olah aku sedang menjadi penggembala juga.

    Btw, ada kata ‘dimana’ dan ‘kemana’ yang mesti disunting.

    👍

    Like

Comments are closed.