Saya bukan pecinta novel-novel yang ditulis oleh Andrea Hirata. Berita tentangnya pernah saya dengar beberapa tahun silam, Ia adalah seorang Novelis terkenal dan berpengaruh. Ia berpengaruh karena novel karyanya dibaca banyak orang, dan dibawa sampai ke layar lebar. Tidak hanya itu, novelnya memberi energi positif untuk banyak orang, terutama untuk anak-anak muda yang sedang berjuang dengan hidupnya.
Para pecina Andrea Hirata akan segera mem-bully saya ketika membaca tulisan pengantar di atas. Jelas.
Bab pertama dalam buku yang berjudul Ayah, karya Andrea Hirata (Selanjutnya disebut penulis) berjudul, “Purnama Kedua Belas”. Judul bab ini, jauh sekali rasanya dari judul buku yang diberi label, “Ayah”. Dalam bab pertama, penulis memaparkan malah soal patah hati, rasa tidak bersemangat, duka, rindu, kasih tak sampai, putus, sakit hati dengan latar belakang yang cukup suram. Rasanya ingin sekali berhenti di bab pertama ini. Tapi, bab pertama ini menghadiahkan saya satu pertanyaan, “Di mana si “Ayah” yang dimaksud oleh penulis ?” Pertanyaan ini rasanya cukup untuk membuat keingintahuan menuntun kaki saya menuju bab-bab selanjutnya dari buku ini.
Purnama kedua belas dalam bab satu buku, bukan berarti adalah purnama yang muncul pada bulan kedua belas dalam penanggalan romawi. Pada tahun 2018, bulan purnama kedua belas terbit di ufuk timur pada bulan November malah. Jadi, jelas purnama keduabelas ini bukan berhubungan dengan bulan dalam penanggalan romawi. Dalam salah satu wawancaranya, penulis memberikan gambaran bahwa purnama kedua belas ini adalah tulisan di makam yang ada di Belitung sana. Tulisan di makam ini menjadi inspirasi besar dibalik kisah mengenai “Ayah”.
Penulis menggambarkan soal purnama yang menghiasi malam Sabari, seorang tokoh yang dimunculkan di awal buku ini. Purnama dalam mitos-mitos selalu dihubungkan dengan keadaan reflektif dan menyendiri untuk menemukan makna, tapi bisa juga berarti keadaan yang dapat membuat orang-orang menjadi gila, melakukan banyak kejahatan, bahkan bertemu muka dengan krisis yang besar. Keadaan ini nampak satu jalan dengan apa yang ditonjolkan oleh penulis terhadap tokoh Sabari.
Sabari, dalam bab pertama juga mengingatkan saya pada topik mengenai kesetiaan. Dalam malamnya yang berpurnama, Ia merenungkan soal kesetiaan, soal jalinan hubungan yang sudah kandas dan pupus. Ia membuat saya mengingat bahwa setelah sebuah hubungan berakhir, yang tersisa adalah mereka yang tetap setia dan percaya bahwa tidak terjadi sesuatu antara mereka yang menjalin hubungan. Mereka ini, mungkin dipaksa untuk setia dan tidak diberikan pilihan untuk memilih harus seperti apa.
Abu Meong, kucing Sabari memberi warna tersendiri yang unik pada kisah mengenai Sabari. Jika Sabari adalah gambaran seseorang yang penuh dengan kabut gelap, maka Abu Meong adalah kebalikannya. Ia seolah menjadi simbol kebalikan Sabari, saling bertolak belakang tapi saling melengkapi. Mengingat hal ini, saya jadi berpikir mengenai hidup manusia itu sendiri. Dalam hidup, manusia selalu dihadapkan dengan banyak kontradiksi, banyak sekali kekacauan yang saling bertubrukan ke sana dan kemari. Tapi, manusia tetap bisa hidup dari kontradiksi, ketidakteraturan dan perbedaan ini. Manusia bahkan bisa hidup karena ketidakteraturan ini. Bagi saya, kesadaran ini sangatlah unik.
Secara personal, saya sangat menyukai gaya bahasa seorang Andrea Hirata. Saya suka pilihan katanya yang sangat cantik dan seriously indah. Penulis tidak hanya menyajikan cerita yang siap untuk disantap oleh para pembaca, tapi Ia menyajikan cerita yang dibalut oleh beragam pernak-pernik bahasa. Kepiawaiannya dalam merangkai kata-kata membuat Ia memang sangat berbeda dengan penulis-penulis lainnya. Sampai sini, saya paham mengapa penulis menjadi idola banyak orang. Saya pun paham mengapa tulisannya menjadi panutan dalam menulis novel yang berkelas.
Selanjutnya, memahami apa yang dirasakan oleh Sabari dalam bab satu ini terasa mudah. Tentu mudah bagi mereka yang pernah merasakan ditinggalkan dan menderita karena kejadian ini. Setelah sebuah hubungan berakhir, yang tersisa adalah kenangan. Kenangan ini bisa membahagiakan, dan bisa juga menyedihkan. Jika kenangan ini menyedihkan, pasti akan memberi luka. Sabari mengalami kedua pengalaman ini, sedih dan bahagia. Sedihnya Ia bahkan digambarkan seperti ingin menjadi gila. Ya, apa yang kita harapkan dari orang yang sedang kasmaran dan harapannya tidak tercapai ?. Merana. Sabari merana karena Marlena, lalu kisah ini berlanjut ke bab kedua.
Bab dua diberi judul, Radio. Mengulang cerita di sini tentu akan menjadi sangat tidak menarik. Saya beri pembaca dan teman-teman sekalian untuk memasuki gerbang ke dua. Lihat apa yang kembali di sajikan oleh penulis di sana. Apakah tokoh “Ayah” sudah muncul? ataukah masih soal Sabari dan hatinya yang merana?.
Ayo baca buku dan selesaikan setiap bab dalam buku ini.
Aku memahami purnama kedua belas sebagai bulan purnama yang muncul di tanggal dua belas setiap bulannya pada penangglan kalender bulan, atau Qomariyah, juga kalender Jawa. Dimana bulannya sudah bulat penuh dan terang cuma tidak semerah tanggal 14.
LikeLiked by 1 person
ternyata ada beberapa penafsiran yang tentang purnama kedua belas, sampai disini di group ini sudah ada 3 pemahaman yang berbeda. berdasarkan sudut pandang yang berbeda
LikeLiked by 1 person
Betul sekali ini, Pak. Saya juga sampai kaget, ternyata sampai lebih dari dua pengertian. Bagus banget!
LikeLiked by 1 person
Wah, ini adalah informasi yang bagus, Kak. Terima kasih sudah berbagi.
Informasi ini bisa menjadi pelajaran baru bagi saya, dan ternyata arti “Purnama kedua belas” ini macam-macam ya wkwkwk
LikeLike
Menurutku, sebenarnya tidak ada tafsir mendua mengenai purnama dua belas ini ketika membaca dengan teleskop yang lebih jauh dalam bab ini, terlebih lagi setelah membaca keseluruhan buku ini. Apalagi ketika membaca semua karya-karya Pak Cik, menurutku tak ada tafsir mendua. Tetapi menurutku saja sih.
LikeLiked by 1 person
Ia, Kak. Tulisan ini hanya untuk bab pertama dalam buku Ayah. Jadi, masih sangat terbatas saja. Saya pun berpikir kurang lebih demikian, “tidak ada tafsir yang mendua”, karena penulis pasti hanya memiliki satu arti/tafsiran ketika Ia mengerjakan buku ini. Tapi, ya mungkin yang tidak bisa di-handle penulis adalah tafsir yang dilakukan oleh para pembaca, yang pasti memiliki sudut pandang yang berbeda.
Mungkin sih hahaha
LikeLike
Dear Ayu
Nice review tentang Purnam Kedua Belas.
Aku tertarik kalimat ini, “Purnama dalam mitos-mitos selalu dihubungkan dengan keadaan reflektif dan menyendiri untuk menemukan makna, tapi bisa juga berarti keadaan yang dapat membuat orang-orang menjadi gila, melakukan banyak kejahatan, bahkan bertemu muka dengan krisis yang besar.“
Mungkin itu juga alasan kenapa dalam film mitologi ada werewolf yang berubah saat terkena sinar bulan purnama. hehe..
Sabari memang tidak jadi serigala jejadian tetapi dia berubah gila karena cinta.
Btw ada beberapa koreksi ya :
1. Tidak hanya itu, Novelnya memberi (huruf N pada kata ‘Novelnya’ ubah menjadi huruf kecil)
2. Para pecina (pecinta)
3. Dalam Bab pertama (huruf B pada kata ‘Bab’ ubah menjadi huruf kecil)
4. Dimana si “Ayah” yang dimaksud oleh penulis ?” (‘di mana’ ditulisnua dipisah dan hapus satu spasi antara penulis dan tanda tanya)
5. Pada tahun 2018, Bulan purnama (gunakan huruf b kecil pada ‘bulan’)
6. jelas purnama keduabelas (beri spasi jadi ‘kedua belas’
7. Dalam salah satu wawancaranya, Penulis memberikan (p kecil)
8. saya sangat menyukai gaya Bahasa (b kecil)
9. beragam pernak-pernik Bahasa (b kecil)
10. Apakah tokoh “Ayah” sudah muncul?ataukah (beri spasi setelah tanda tanya dan hurf setelahnya jadi kapital)
LikeLiked by 1 person
Terima Kasih, Kak.
Wah, saya suka buanget dengan koreksinya, langsung diperbaiki nih! Terima kasih banyak, Kak.
LikeLike
Purnama dua belas seperti metafora sebuah penantian dan kesetiaan Sabari. Di samping makna verbalnya sebagai malam menjelang puncak purnama di tanggal 15 berdasarkan kalender hitungan bulan. Mungkin ini menjadi salah satu kekuatan novel AH ini. Untaian kalimat2 puitisnya mampu menghadirkan ragam penafsiran dan imajinasi pembacanya. Dan penafsiran bukan lagi tentang salah benar, tetapi menjadi nilai lebih pada novel ini.
LikeLiked by 1 person
Agree.
LikeLiked by 1 person
Wah, terpukau saya membacanya Mas, keren sekali!
Betul, saya sangat terkagum-kagum dengan gaya bahasanya. Benar-benar di atas rata-rata, dan kekuatan risetnya itu lo!
Pantas saja, penulis AH ini menjadi salah satu penulis besar Indonesia.
LikeLiked by 1 person