Menjelang petang, di sebuah lapangan, masih terdengar riuh riang anak kecil sedang bermain. Mereka abai pada celoteh langit yang sudah berwarna kemerahan.
Di tengah gaduh mereka lari kesana-kemari, dua anak perempuan terlihat hanya duduk diam beralaskan sandal yang mereka pakai. Yang dibicarakan tidak jauh dari kuda poni dan negeri awan. Imajinasi yang mengundang tawa jika terdengar oleh orang-orang yang sudah tumbuh besar.
Entah angin mana yang membawa mereka terlarut pada sebuah perbincangan yang cukup mendalam, tawa anak seusianya yang lain sungguh tidak mengurangi sedikitpun raut wajah yang menyimpan setumpuk beban.
“Kau sudah menyelesaikan tugas menggambarmu?”
Yang diberikan pertanyaan hanya menggeleng. Membuat temannya memprotes tindakan itu. Hari sebentar lagi malam, sedangkan setelah itu masih ada jadwal untuk mengaji di surau. Lumayan jauh dari rumah mereka berdiam, tapi bagaimana bisa bintang kelas ini melewatkan pemikirannya mengenai konsekuensi yang selama ini dianggap sebagai teman? Ya, anak yang satu itu memang sebegitu takutnya dengan hukuman, dengan angka tidak sempurna pada kertas ujian, juga pada tugas-tugas yang kosong tidak sempat diselesaikan.
“Kau kan tahu, Lin, aku tidak bisa menggambar sepertimu.”
Yang dipanggil Lin; Alin, hanya diam. Matanya beberapa kali mengikuti kemana kerikil kecil yang temannya lempar itu jatuh mendarat. Sampai ia akhirnya mengatakan,
“Kena, malam tadi aku tidur pukul dua belas kurang sedikit.”
Keana yang memang lebih akrab dengan sebutan Kena menatap Alin penuh tanya, mengapa selarut itu?
Alih-alih menjawab tatapan penasaran tadi, Alin malah mengajukan pertanyaan pada Keana, “Kau tidur pukul berapa?”
“Sehabis pulang dari surau, aku langsung tidur, Lin. Mengantuk.” jawabnya, sedikit terkekeh.
Alin juga ikut tertawa, sebentar, lalu kali ini gilirannya yang melemparkan kerikil di sebelah lurus jauh ke depan. Ia tidak peduli jika batu kecil itu akan mengenai kepala siapa saja yang ada di sana.
“Semalam aku juga mengantuk, Kena. Tapi tidak bisa tidur, lebih tepatnya tidak boleh tidur.”
Dengan cepat Keana memotong ucapan Alin, “Siapa yang melarangmu, Lin?”
“Aku.”
Alin berhasil membuat Keana kebingungan. Maksudnya bagaimana sih ini?
“Aku harus belajar untuk ulangan matematika tadi. Kalau tidak, mana bisa pecah telur.”
Beberapa saat hening. Keana yang menunggu, dan Alin yang membutuhkan sedikit jeda untuk melanjutkan kalimatnya sama-sama mengerti akan hal itu.
“Seperti yang kamu tahu, aku hanya dapat nilai 55. Masih kurang lima angka untuk bisa lolos dari perbaikan. Tapi itu sudah cukup memuaskan untukku. Coba lihat, kamu tidak perlu susah payah menahan kantuk untuk sama-sama kekurangan lima angka. Meskipun jelas ada yang membedakan, limamu itu untuk mencapai kesempurnaan. 95 tanpa belajar, itu keren sekali loh.” Alin menatap Keana meyakinkan, bahwa apa yang baru saja ia katakan memang benar adanya.
“Aku tidak menyesal belajar sampai larut malam hanya untuk suatu hasil yang tidak memuaskan. Beberapa hal memang dirasa mengecewakan. Tapi, apa gunanya menangisi segala keterbatasan yang dimiliki? Apa yang harus dilakukan selain menerima dan tetap melakukan yang terbaik, yang kita mampu, yang kita bisa?”
Keana mematung, ia tidak memiliki jawaban atas pertanyaan Alin.
“Tidak ada, Keana . Hanya itu. Hanya ikhlas menerima yang sudah seharusnya diterima, dengan tetap menjadi yang terbaik dari yang kita punya. Tidak perlu merasa kecil melihat orang-orang tumbuh besar dengan kemampuannya! Setidaknya kita juga sedang tumbuh, meskipun sedikit lebih lambat. Meskipun memang membutuhkan waktu yang lebih banyak.”
Kedua gadis kecil yang sama-sama duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar itu kembali larut dalam pikirannya sendiri-sendiri. Pemikiran yang bisa dibilang terlalu matang untuk dimiliki keduanya, memang begitu mengesankan.
“Aku mau pulang. Mandi dan menemuimu lagi di surau. Besok, saat gambarmu kurang lima angka untuk sempurna, gambarku akan lebih lima angka dari batas minimal. Itu hanya perkiraanku saja, soalnya bisa jadi lebih besar. Dahhh, Alin!”
Keana bergegas pergi, berlari tanpa alas kaki. Sandal jepitnya kini beralih fungsi, melindungi telapak tangan entah dari benda macam apa yang akan melukai.
Sedang Alin memandang Keana sambil memamerkan gigi, ada-ada saja kelakuan kawannya ini.
Orang-orang tidak bisa menjadi peran utama dalam panggung kehidupan. Yang hebat, yang mampu melakukan apa saja sehingga begitu dielu-elukan.
Kalau tidak mau menerima kenyataan, silahkan saja hidup sendirian.
cerita yang bagus, meski masih ada tipo
hehe
LikeLike