Baik, saya akan sedikit bercerita di sini. Pembukaannya, untuk mengetik ini, saya benar-benar butuh waktu 168 jam supaya bisa menuntaskan tugas kelima saya dengan pengumpulan paling lambat 10 November 2019. Sukses betul saya membuat diri kalang-kabut akibat dikejar waktu.
Berbicara mengenai pahlawan. Menurut saya, pahlawan adalah seseorang yang bisa menjadi pejuang. Baik bagi dirinya sendiri maupun oranglain. Saya pikir semua manusia di bumi adalah seorang pahlawan teruntuk dirinya. Yang terus berjuang walau menahan segala kesakitan, tak berhenti meski lelah rasanya sudah mendera sekujur tubuh, dan masih begitu banyak perjuangan-perjuangan untuk diri sendiri yang perlu diusahakan sampai deru akhirnya terenggut maut.
Saya berpikir ulang mengenai keputusan saya memilih banyak orang di sekitar untuk saya jadikan pusat dari tulisan ini. Dan setelah mempertimbangkannya beberapa kali, saya akhirnya menjatuhkan pilihan benar-benar pada seluruhnya sebab mereka memiliki arah tuju yang sama di cerita ini.
Pagi itu, sakitnya saya mengharuskan Bapak yang sedang menjaga Ibu di rumah sakit untuk pamit pulang. Beberapa kali saya mengeluhkan gejala yang sama pada apa yang Ibu alami, tapi Bapak hanya berniat membawa saya ke klinik BPJS- nya. Tidak masalah bagi saya sebenarnya, asal nyeri pada perut berkurang dan berangsur membaik.
Setelah saya memasuki ruangan Dokter bersama Bapak, Bapak menggenggam secarik kertas berisikan beberapa nama obat yang perlu ditebus di apotek klinik. Bapak melangkah mendahului saya dan tubuhnya kembali menemani saya yang sedang dalam keadaan sangat lemas di kursi tunggu. Kepala saya begitu pusing saat itu, napas saya begitu sesak, dititik ini biasanya saya selalu teringat perihal kematian yang ternyata begitu dekat jaraknya dengan saya.
Saya beberapa kali menarik napas panjang-panjang dan membuangnya perlahan. Berulang kali saya lakukan sampai Bapak akhirnya sadar akan gerakan saya. Pandangan saya juga semakin lama mengabur, teriakan dari seorang Ibu yang entah sedang dimana posisinya mengantarkan Bapak pada kebingungan. Lantas seorang lelaki dewasa datang menghampiri.
“Pak, naik mobil saya aja, Pak. Saya antar ke rumah sakit.” suara itu saya tangkap secara jelas ketika pandangan dan napas saya sangat tidak stabil.
Bapak saya dengan sigap memapah saya, walau berulang kali mengucapkan rasa tak enaknya melalui pertanyaan, “Enggak apa-apa, Pak?” yang langsung ditepis oleh senyuman dari Sang Empunya mobil.
Saya segera dibawa ke rumah sakit. Dilarikan ke UGD dengan Bapak yang benar-benar terlihat lelah. Lelaki dewasa yang membantu saya saat itu juga sudah pergi, diiringi rasa terima kasih dari Bapak dan saya yang mengucapkannya dalam-dalam dalam diam.
Saat itu juga Bapak resah. Harus menyiapkan banyak kertas untuk saya, tapi motor tertinggal di klinik, jarak dari rumah sakit ke klinik pun terbilang jauh jika hanya dijangkau dengan langkah kaki. Belum lagi Ibu sendiri di kamar inapnya dan dua adik saya yang belum sepenuhnya terurus ketika Bapak pulang tadi.
Namun Bapak akhirnya mengungkapkan, “Bapak pulang dulu, ya? Mau ambil motor terus pulang dulu. Tadi Ibu nitip bawain ini-itu, belum kebawa.” Airmata ingin menggenang, tapi berusaha kutepis dengan sebuah anggukkan kepada Bapak sebagai jawaban.
Lalu hari-hari selanjutnya penuh dengan Bapak yang lebih terlihat lelah daripada hari biasanya, obat-obatan, dan cek darah menjelang subuh. Terlalu membosankan, sampai saya merasa jika saya butuh tawa Si Bungsu dan berbagi cerita pada Adik Pertama. Bapak juga sempat mengadu kalau Si Bungsu sakit.
Sedih rasanya. Bapak pasti lelah sekali. Tapi beliau tetap tersenyum, sesekali berujar kepada saya agar lebih rajin lagi meminum air putih. Biar cepat pulang, itu katanya. Ah, iya. Saya rindu dua adik saya.
Dari sekian banyak hari terlewati, cerita-cerita perihal kebaikan tetangga di sekitar juga saya dengar dari mulut Bapak. Bapak bercerita, katanya, pagi-pagi Pak RT menyambangi rumah untuk menjaga Si Bungsu yang terus-terusan merengek. Lalu ada seorang Ibu yang mendapat panggilan Tante membawakan sebungkus nugget agar Adik Pertama tidak bingung ketika Si Bungsu mengeluh lapar. Dan ada begitu banyak kebaikan-kebaikan yang melingkupi keluarga kami saat itu.
Tugas manusia di bumi seperti itu, kan? Menyebar kebaikan kepada orang sekitar. Mengemban amanah yang sudah ia perbincangkan dan setujui dengan Tuhan nya sebelum tubuhnya tiba di bumi. Semua manusia adalah pahlawan, entah hanya untuk dirinya sendiri ataupun oranglain. Pahlawan yang selalu ada pada waktu dua empat per tujuh.