Buya Hamka: Pahlawan Pemenang Perang Pemikiran

November telah tiba. Inilah saat dimana kita secara khusyuk mengingat jasa-jasa para pahlawan bangsa. Mari kembali sejenak sekira 74 tahun lalu. Dimana pada 10 November 1945, arek-arek Surabaya dipimpin oleh Bung Tomo menggelorakan suara anti penjajahan, diselingi takbir yang bergemuruh. Semboyannnya singkat namun mampu menggairahkan semangat juang rakyat: merdeka atau mati.


Kini, masihkah tersisa semangat itu?

Semangat yang melekat dalam jiwa pemuda-pemudi kita di tengah gempuran dahsyat globalisasi dan era revolusi industri 4.0. Penulis meyakini bahwa semangat itu masih ada, tentu diwujudkan dengan cara yang berbeda. Bila dahulu kita melawan penjajah dengan mengangkat bambu runcing, sekarang adalah eranya perang pemikiran yang diwujudkan dalam ide, gagasan, hingga tulisan-tulisan. Seperti yang dikatakan Sayyid Qutb: satu peluru hanya mampu menembus satu kepala, namun satu tulisan mampu menembus ribuan hingga jutaan kepala. Lihat, betapa dahsyatnya sebuah tulisan.


Oleh karena itu, dalam rangka memperingati hari pahlawan, menarik bila penulis mengusung pahlawan di bidang literasi atau tulisan. Sehingga dengan penuh penghormatan penulis ingin mengingat kembali jasa dan karya yang telah diberikan oleh Buya Hamka.


Buya Hamka atau Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amarullah adalah sosok ulama, aktivis, politisi, jurnalis, editor, dan sastrawan. Ia merupakan sosok cendekiawan Indonesia yang memiliki berbagai macam pemikiran yang sangat membangun baik dalam bidang ilmu pengetahuan, sastra, budaya, filsafat, tasawuf, sejarah, sosiologi dan politik baik Islam maupun barat. Ketekunan Hamka untuk terlibat dalam berbagai aspek kelimuan, membuktikan bahwa Hamka merupakan sosok yang sangat cerdas dan penuh inspiratif dalam berbagai disiplin keilmuan. Pemikirannya sangat konsisten terhadap berbagai persoalan yang dihadapi umat Islam yang bukan hanya berkisar pada persoalan-persoalan keagamaan, akan tetapi juga menyangkut persoalan sosial kemasyarakatan dan sastra. Pemikiran-pemikirannya telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi pengembangan intelektual umat Islam. Hamka merupakan sosok ulama yang dengan gigih berupaya mengubah pola hidup umat yang tradisonal menjadi terarah pada proses modernisasi intelektual

Buya Hamka lahir di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, pada 17 Februari 1908. Nama Hamka melekat setelah ia naik haji ke Mekah pada tahun 1927. Beliau merupakan putra seorang tokoh ulama pembaharu dari Minangkabau, Doktor Haji Abdul Karim Amrullah atau Haji Rosul, yang merupakan seorang ulama terkenal dan seorang pelopor gerakan pembaruan/modernis dalam Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau. Sementara ibunya bernama Siti Shafiyah Tanjung binti Haji Zakaria yang berasal dari keluarga bangsawan. Abdul Malik Karim Amrullah diberi sebutan Buya, yaitu panggilan untuk orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati.

Bila dikaji, Buya Hamka telah menulis sekitar 78 buku. Dan buku yang paling menarik perhatian penulis berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wick yang juga telah difilmkan dengan judul yang sama. Di film tersebut dikisahkan tentang seorang pemuda miskin yang mencintai seorang gadis, namun gadis tersebut lebih memilih laki-laki lain yang berkedudukan dan berharta. Sang pemuda bernama Zainuddin tak patah arang, ia merantau ke Jakarta dan membuktikan diri pada sang wanita, Hayati, bahwa ia mampu mewujudkan mimpinya menjadi seorang penulis terkenal.


Agar lebih menarik, penulis akan menuliskan dialog Zainuddin dalam salah satu scene yang terjadi dalam film tersebut:


“Ya.. Demikianlah perempuan, ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil dan dia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya”


“Lupakah kau siapakah diantara kita yang kejam? Bukankah kau yang telah berjanji ketika saya diusir oleh ninik mamakmu karena saya asalnya tidak tentu orang hina dina tidak tulen Minangkabau. Ketika itu kau antarkan saya kesimpang jalan, kau berjanji akan menunggu kedatanganku berapapun lamanya. Tapi kemudian kau berpaling ke yang lebih gagah, kaya raya, berbangsa, beradat, berlembaga, berketurunan. Kau kawin dengan dia. Kau sendiri yang bilang padaku bahwa perkawinan itu bukan paksaan orang lain tetapi pilihan hati kau sendiri, hampir saya mati menanggung cinta, Hayati”


Tulisan Buya Hamka selalu dipenuhi akan makna yang mendalam tentang kehidupan. Dari cuplikan dialog di atas, rasanya cukup bersinambungan dengan tulisan Buya Hamka yang lain:


“Cinta Bukan mengajar kita lemah, tetapi membangkitkan kekuatan. Cinta bukan mengajar kita menghinakan diri, tetapi menghembuskan kegagahan. Cinta bukan melemahkan semangat, tetapi membangkitkan semangat.”


Bahwa kisah cinta yang dialami Zainuddin, pula bisa dicontoh oleh anak muda sekarang. Dimana ia harus punya keteguhan, dan pemicu untuk bangkit dari kegagalan. Sebab pemuda yang berhasil adalah pemuda yang semangat juangnya lebih besar dari kegagalannya.


Seperti ungkapan Sayyid Qutb di awal, karya-karya Buya Hamka telah menembus jutaan kepala dan menginspirasi kita semua. Meski Buya kini telah tiada, namanya senantiasa diingat dan karyanya takkan pernah lekang oleh waktu.


Begitulah pahlawan, ia bisa mewujud dalam segala bentuk. Buya Hamka dengan segala tulisan-tulisannya, telah menghidupkan mimpi-mimpi para pemuda melalui menulis. Agar era perang pemikiran yang tidak sejalan dengan agama, budaya, moral dan adat nusantara dapat dimenangkan oleh kita, pemuda Indonesia.

Advertisement

2 thoughts on “Buya Hamka: Pahlawan Pemenang Perang Pemikiran

  1. “Ya.. Demikianlah perempuan, ia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil dan dia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya.”
    Ini adalah qoute keren.
    Mantap!

    Like

Comments are closed.