Mbah Lurah Pahlawan Kami

agriculture arable clouds cornfield
Photo by Pixabay on Pexels.com

Kami biasa memanggilnya mbah lurah. Entah siapa yang memulai. Kami hanyalah generasi akhir yang memanggilnya demikian. Ngikut saja kakak-kakak kami mengucapkan. Secara formal pun kami tidak tahu, karena penggantinya tak mau dipanggil pak lurah, maunya disebut bapak kepala desa.

Kisah ini pun sebenarnya agak remang bagiku. Yang teringat jelas saat masih kanak-kanak, setiap lebaran berombongan sowan. Sekedar salim dan mencicipi hidangan. Bahagianya kami, meskipun pasti mbah lurah tak lagi ingat siapa kami. Tapi wajahnya selalu cerah, meski keriput makin merebut sebagian besar wajahnya.

Kemudian setelah beliau ke alam baka, baru kutahu ceritanya. Pidato heroik saat pelantikan sangat bermakna bagi kami yang anak pas-pasan. Tanah kami kering, singkong yang tumbuh paling utama. Musim tanam padi selalu disela kemarau.

Jika tak tahu kisahnya tentu akan keheranan. Bagaimana bisa kampung dengan minim pendapatan dapat meningkatkan pendidikan. Jangan tanya berapa puluh guru disumbangkan, ada pada setiap level pendidikan. Termasuk mengabdi di perguruan tinggi dan juga TNI Angkatan darat serta kepolisian. Belum buruh yang merantau. Juga termasuk pakdeku yang bersedia transmigrasi demi kenyamanan persaudaraan. Meninggalkan adik-adiknya, yang adalah ibuku, bibiku, dan pakdeku yang satu lagi. Bahkan putra mbah lurah telah jadi profesor di ibu kota. Bukti nyata dari pidatonya langsung dicontohkan. Bukan upaya pencitraan.

Semuanya kutahu setelah kuliah. Tak ada cerita dari mulut ke mulut, tapi masyarakat taat melaksanakan. Saat mengenal internet, kesaksian itu ternyata telah dipublikasikan.

Pemerintahan Soekarno setelah menyatakan kemerdekaannya berbenah sampai ke tingkat desa. Salah satunya menetapkan satuan desa harus ada yang memimpin sebagai wakil yang bisa bersama-sama rakyat secara langsung. Maka dipilihlah Mbah Wirosuharjo untuk jadi pemimpin kami. Dan sejak saat itulah resmi dipanggil pak lurah. (kami memanggilnya mbah karena sudah beda generasi, tidak mengalami masa kepemimpinan beliau).

Sebagian besar penduduk kami bermata pencarian sebagai petani. Lahan pertanian dominan palawija terutama ubi kayu. Bahan baku untuk membuat gaplek dijadikan thiwul. Sawah yang ada terbagi murni tadah hujan dan semi irigasi. Saluran irigasi dan bendungannya dibangun semasa penjajahan Belanda. Disinilah uniknya kampung kami. Secara ekonomi bisa dibilang kurang akan tetapi banyak menghasilkan tenaga terdidik, ada guru SD, guru SMP, guru SMA, dosen, TNI AD, polisi. Sekolah yang paling banyak diminati adalah SPG/PGA (sekarang sudah tidak ada). Padahal hanya SD/MI saja yang ada di kampung kami. SMP dan SMA harus menempuh jalan kaki atau naik sepeda lebih dari 2 km (saya termasuk generasi terakhir yang jalan kaki). Untuk SPG sebagian besar harus ditinggal di kota sebagai anak kost.

Sebagian besar alumni SPG PGA menjadi guru SD atau MI. Sebagian lainnya memilih melanjutkan IKIP terutama ke Semarang, ada juga ke Solo dan kemudian mengabdi sebagai guru SMP atau SMA. Beberapa di antaranya kembali mengabdi di almamaternya sebagai dosen.

Bagaimana prestasi luar biasa itu bisa dibangun?

Di sini lah peran mbah lurah yang sangat menentukan. Dalam pidato pengukuhannya beliau membuat pernyataan yang luar biasa pada jamannya. Beliau menyampaikan :

“Para warga supaya menahan diri dari mengeluarkan dana yang besar untuk hajatan dan keperluan seremonial lain. Sebaliknya, supaya menabung untuk pembiayaan pendidikan anak-anaknya.”

Itu merupakan salah satu alasan penjelas, mengapa desa yang “miskin” ini mampu melahirkan ratusan orang sarjana. Beliau adalah pahlawan desa kami yang memperjuangkan pendidikan melebihi kebutuhan yang lain. Beliau langsung memberikan contoh dengan menyekolahkan anak kandungnya sampai menjadi profesor di ibu kota.

Padahal sangat umum terjadi di jawa untuk nanggap wayang kulit semalam suntuk untuk suatu hajatan. Di beberapa tempat itu menunjukkan kelas sosial. Di desa kami semua itu dipangkas habis, tidak boleh ada yang melakukannya. Baru ada pentas wayang kulit setelah beliau ke alam baka. Dan kondisi masyarakat rata-rata sudah melek pendidikan.

Advertisement

6 thoughts on “Mbah Lurah Pahlawan Kami

Comments are closed.